Sumber: Prenadamedia Group |
Judul : PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK GIFTED
Penulis : Julia Maria van Tiel
Penerbit : Prenadamedia Group
Edisi : Pertama, September 2019
Tebal : 184 hal
ISBN : 978-602-383-055-8
Untuk memahami masalah sosial emosional anak gifted, kita tidak bisa hanya memahami bagaimana suatu perkembangan sosial emosional anak normal, tetapi justru kita harus memahami bagaimana karakteristik dasar anak gifted, sehingga diharapkan kita mampu mengembangkan anak ke arah yang baik. Mengasuh dan mendidik anak-anak gifted membutuhkan ketrampilan khusus, yang berbeda dengan mengasuh dan mendidik anak-anak non gifted.
Anak-anak gifted meski jumlahnya hanya 2-5 persen tetapi ia merupakan anak dengan potensi luar biasa. Bukan saja dalam bidang sains, tetapi juga seni, budaya, dan kepemimpinan. Mereka adalah produser ide yang sangat berguna demi kemajuan manusia. (Hal X)
***
Bagaimana rasanya ketika membaca cukilan dua paragraf dari buku Perkembangan Sosial Emosional Anak Gifted di atas? Terasa asing ketika kata ‘tidak normal’ bisa bersanding dengan ‘potensi luar biasa’? Ya, anak gifted tergolong anak kebutuhan khusus memang. Istilah kebutuhan khusus sendiri, selama ini lebih akrab dengan anak-anak autis, down syndrom, degradasi mental hingga tuli. Padahal, anak-anak dengan kecerdasan di atas rata-rata juga dapat digolongkan sebagai anak bekebutuhan khusus. Anak-anak ini disebut gifted yang uniknya, bahkan tes IQ tidak melulu bisa mendeteksi kecerdasan mereka.
Sebagai penulis buku, Julia Maria van Tiel sendiri memiliki latar belakang orang tua dengan anak yang merupakan individu gifted. Di antara bacaan mengenai anak gifted yang bisa dibilang tidak sebanyak buku-buku dengan bahasan anak kebutuhan khusus jenis lain di Indonesia, Julia sejak tahun 2000 justru sudah menjadi advokator anak gifted. Perkembangan Sosial Emosional Anak Gifted (selanjutnya disebut PAG) hanyalah salah satu dari sepuluh buku yang pernah ditulisnya. Kesepuluh buku tersebut antara lain membahas anak berkebutuhan khusus seperti disleksia, terlambat bicara, hingga ADHD dan empat di antaranya membicarakan anak gifted secara khusus.
Terdiri dari lima bab, PAG ditulis berselang-seling antara perkembangan anak normal dan anak gifted. Misalnya pada bab tiga, kelekatan pada anak normal dituliskan dalam tiga sub bab, baru setelahnya kelekatan anak gifted dibahas dalam sub bab berikutnya. Dengan demikian, PAG dapat dipahami siapa saja meski belum pernah memelajari psikologi umum maupun khusus sebelumnya.
Pembaca tidak bakal disuguhi definisi tunggal mengenai anak gifted dalam buku ini. Barangkali, definisi tunggal telah dijelaskan Julia melalui beberapa buku tulisannya yang lain. Sedang PAG memang berfokus pada bahasan perkembangan sosial dan emosional. Selain menjelaskan perkembangan sosial emosional anak normal dibanding anak gifted, dalam buku juga dijelaskan contoh-contoh kasus dari teks yang telah diterjemahkan oleh penulis.
Teks yang diterjemahkan oleh penulis dan menjadi contoh kasus, antara lain mengenai daya ingat anak gifted yang luar biasa. Contoh kasus tersebut diambil dari sebuah keluarga yang mengasuh individu gifted di negara lain. Sebelum contoh kasus tersebut dijabarkan, rentang daya ingat anak normal terlebih dahulu disajikan, sehingga pembaca mampu melihat perbedaan perkembangan daya ingat antara anak normal dengan gifted.
Uniknya, beberapa kali dalam buku juga disebutkan, bahwa ciri dan perkembangan anak gifted antara satu dengan lainnya tidak seragam. Keterlambatan bicara bagi individu gifted yang satu, belum tentu terjadi pula pada individu gifted yang lain. Pula ciri konsisten terhadap tugas bisa dimiliki anak gifted yang satu, namun tidak dengan lainnya. Namun daya ingat yang sangat kuat dan detail, ternyata menjadi karakteristik anak-anak ini. Demikian membuat kenangan buruk, bisa menjadi trauma yang lebih pelik dan juga kemarahan-kemarahan mendalam. Daya ingat jangka panjang milik anak-anak gifted ini, ternyata tidak dapat diukur dalam tes IQ. Tes IQ nyatanya hanya dapat mengukur daya ingat jangka pendek. Ilmu psikologi umum pun tidak melulu bisa diterapkan dalam pola pengasuhan anak gifted, meski orang tua disarankan tetap memelajarinya sebelum psikologi khusus.
Reward dan punishment menjadi salah satu contoh psikologi umum yang dijelaskan dalam PAG dan tidak bisa diterapkan terhadap anak gifted. Pola pendidikan hadiah dan hukuman, normalnya mampu memberi pemahaman pada anak tentang nilai mana yang diperbolehkan dan tidak. Namun anak gifted beda soal. Anak-anak ini dengan kecerdasannya yang luar biasa dikenal pula manipulatif, sehingga pola pendidikan hadiah dan hukuman, justru dipergunakan mendapat apapun yang mereka mau dan bukannya sungguh memahami nilai mana yang boleh dan tidak dilakukan.
Tahun 2007, Tessa Kieboom dari Universitas Antwerpen menjelaskan tentang bahwa memberikan pendekan reward and punisment untuk anak gifted justru kontraproduksi dan hanya menimbulkan masalah baru. Anak akan merasa ditidakadili, atau bahkan justru ia tertantang untuk mencoba-coba batas kapan dihukum. Anak gifted adalah anak yang mempunyai motivasi internal, dengan begitu ia tidak akan mau begitu saja mau menerima pendapat orang tua, tidak akan menunjukkan perilaku yang positif di mata orang tuanya. Pada akhirnya hanya akan menjadikan persoalan lebih parah, hubungan orangtua anak menjadi sulit. Orangtua juga sulit mengendalikan perilaku anak. (Hal 136)
Meski mampu dibaca siapa saja meski tanpa latar belakang psikologi, PAG sayangnya memiliki beberapa kekurangan terkait tata bahasa. Halaman 136 misalnya, ‘kontraproduksi’ lebih tepat digantikan ‘kontraproduktif’. Pula terdapat kalimat tidak efektif ‘menjelaskan tentang bahwa’ yang lebih tepat digantikan ‘menjelaskan tentang’ atau ‘menjelaskan bahwa’. Sedang kalimat ‘anak akan merasa tidak ditidakadili’, lebih tepat digantikan ‘anak dapat merasa diperlakukan tidak adil’. Kekurangan dalam tata bahasa, juga terjadi cukup banyak dalam halaman-halaman PAG lainnya.
Lepas dari kekurangan dalam hal penulisan, Julia juga menjelaskan potensi dan risiko seorang anak gifted dengan proporsional. Selama ini, anak gifted lebih banyak diidentikkan dengan anak yang berprestasi di sekolah dan juga sangat bertalenta. Namun ternyata anak gifted tidak melulu berprestasi secara akademis, bahkan banyak yang memiliki masalah prestasi belajar rendah. Penyebab anak-anak berbakat ini bisa memiliki prestasi belajar rendah pun kompleks dan dijabarkan gamblang melalui perbandingan perkembangan anak normal dan gifted, termasuk kelekatan, perkembangan identitas dan pertumbuhan yang tidak singkron. Kritik yang tidak tepat, menjadi salah satu faktor anak gifted justru patah dan memiliki prestasi belajar rendah. Kritik demikian, bisa membuat bekas lebih berat terhadap anak gifted yang memiliki motivasi internal.
Selain secara alami memiliki semangat membela keadilan, kesehatan mental justru menjadi risiko yang dijabarkan Julia dalam diri individu gifted. Seperti dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelumnya, kepemilikan memori jangka panjang menjadi karakteristik anak gifted. Namun memori demikian tidak melulu menguntungkan. Kenangan traumatis yang tidak mampu diatasi anak, bisa muncul menahun berikutnya dan mengakibatkan kemarahan hingga beban pada mental yang berujung gangguan kesehatan mental.
Pola pemikiran yang tidak berurutan, terlalu perfeksionis, perundungan, teman sebaya yang sulit mengikuti lompatan perkembangan kognitif dan orang tua yang rawan memergunakan kekerasan karena anak nampak tidak patuh, juga menjadi faktor-faktor berisiko hingga individu gifted tidak mampu mengembangkan talentanya. Telalu perfeksionis misalnya, dijelaskan memiliki kelebihan di mana seorang anak bisa mengerjakan tugas dengan lebih detail, mendalam dan berbasis esensi. Namun sikap demikian pula memiliki risiko menyulitkan anak dalam pergaulan. Teman sebaya si anak, bisa jadi kurang menyenangi sifat terlalu perfeksionis yang dianggap tidak praktis dan menyulitkan.
Seperti disebut dalam awal tulisan, tes IQ tidak melulu mampu mengukur apakah seseorang merupakan individu gifted. Anak-anak gifted yang terlambat bicara misalnya, akan memiliki permasalahan auditori hingga jika diberi tes IQ, bisa jadi hasilnya di bawah rata-rata. Padahal, anak-anak ini justru unggul dalam pemrosesan visual. Maka PAG menjabarkan Delphi Model yang tidak sekadar melihat anak dengan IQ tinggi sebagai individu gifted. Melalui Delphi Model pula, seorang anak dapat dikatakan gifted bukan karena seluruh aspek perkembangannya menonjol, namun justru ketika perkembangan seorang anak sangat tinggi pada satu faktor dan rendah pada faktor lain. Lagi-lagi perkembangan tidak singkron menjadi kunci dari ciri anak-anak berbakat ini. Demikian membuat anak-anak gifted rawan pula didiagnosa memiliki jenis kebutuhan khusus lain, misalnya ADHD dan autis.
Beberapa kali penulis juga menyatakan bahwa, ia memiliki seorang anak yang merupakan individu gifted dan telah didiagnosa oleh psikolog. Demikian menunjukkan, penentuan seorang individu gifted atau bukan, mesti melalui tangan profesional. Buku-buku memang sangat membantu untuk mengenali ciri atau dapat pula dipergunakan sebagai panduan penanganan pasca seorang anak didiagnosa gifted. Namun sekali lagi, ketika mendapati berbagai ciri kebutuhan khusus pada diri anak, diagnosa mesti dilakukan oleh psikolog.
Melalui PAG, Julia selain membuat istilah gifted lebih mudah dipahami dengan bahasa sehari-hari, juga memberi pesan mengenai penerimaan segala keunikan anak berkebutuhan khusus satu ini kepada para orang tua. Semoga setelahnya, muncul pula Julia Maria van Tiel lainnya yang menulis buku-buku mengenai anak gifted dalam bahasa Indonesia. Demikian akan membuat penanganan anak-anak gifted di Indonesia, kelak lebih mudah diakses, apalagi jika bahasannya sesuai dengan lokalitas. Buku ini adalah sumbangsih besar untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia, khususnya bagi para individu gifted.
No comments:
Post a Comment