Sumber: Gugel |
Usianya tujuh tahun dan itu kali pertama ia membaca tanpa mengeja. Sialnya, rasa kantuk membuatnya tertidur di atas buku bahasa daerah yang esok bakal dibahas di hari pertamanya sekolah. Esoknya, ketika masuk dalam kelas, semua ocehan bu guru seperti bisa ia tebak. Ya, ocehan itu ternyata persis isi buku yang gagal dibacanya semalam. Dia terhenyak. Bagaimana bisa?
Esoknya, ia coba berhadapan dengan buku yang berbeda. Ditempelkannya pipi kiri di atas buku matematika itu, namun tidak ada perubahan berarti ia rasakan dalam tubuh atau perubahan pengetahuannya. Lantas ia coba menyentuh buku itu dengan tangan, layaknya kemarin bersama buku bahasa daerah yang gagal dibacanya. Tiga detik... Lima detik... Lima belas detik... Ada sengatan listrik yang mendedas halus dalam darah dan nadinya. Lantas coba ia kerjakan soal-soal yang ada di halaman belakang tanpa menyontek materi yang ada di depan. Ia bisa...
Hingga tahun-tahun berikutnya, ia isi dengan hanya menyentuh buku-buku. Orang-orang mengatainya jenius buku. Namun lama-lama, limpahan informasi dari sekali ia menyentuh buku, seperti menjejal keterlaluan dalam kepalanya. Otaknya sering berbisik-bisik sendiri dan matanya susah sekali terpejam. Bahkan dalam pejam matanya pun, otaknya itu tetap berbisik-bisik. Lantas di usianya yang belum genap 12, ia berhenti menyentuh buku-buku. Sarung tangan menjadi perantaranya menyentuh mereka semua. Dengan demikian, informasi-informasi itu bisa ditolaknya masuk dan ia bisa membaca mana saja yang betul ia ingin.
Ada debaran yang belum pernah ia rasakan kemudian. Debaran dari rasa penasaran, soal isi halaman berikutnya dari buku-buku yang tengah dibacanya itu...
No comments:
Post a Comment