Bulan
lalu, Tafsiri datang ke rumah saya (baca juga; Patah Hati). Kepulangannya dari
Jogja kali itu ternyata bikin kami buka-bukaan soal ayah masing-masing.
Kami
mula-mula mengenang bagaimana obrolan kami di masa akhir sekolah. Dia di
sekolah unggulan berbasis agama, sedang saya di sekolah kejuruan yang identik
dengan karakter siswa-siswinya yang macam rupa.
Di
masa-masa itu, kami sibuk membicarakan negara dan kesalahan-kesalahan pemangku
jabatan. Kami waktu itu belum genap tujuh belas. Kami garang, lugu, lucu dan
menggemaskan.
Sebab-sebab
demikian ini yang bikin kami makin dekat bersahabat. Lucu memang, isi telepon
dan percakapan kami dalam SMS pun menyoal semua itu. Kemlinthi[1]
barangkali kata orang jawa…
Saya
ingat, bagaimana Tafsiri sering bergesekan pendapat dengan saya soal jalur yang
bakal dipilih. Iya… betul… kami waktu itu sudah sok memimpikan jalur yang kata
kami jalur perjuangan.
Tafsiri
benar-benar membela mimpinya di dunia politik. Sedang saya benar-benar membela
mimpi saya di dunia seni dan sosial pendidikan. Kucluk![2]
Pertemuan
kembali kami yang bulan lalu itu, nyatanya cukup lucu. Obrolan kami tidak
jarang menyenggol soal betapa kementhusnya
kami di masa-masa akhir sekolah.
Tafsiri
yang sedang menyelesaikan pendidikannya di jurusan filsafat, sekarang lebih
memilih srawung [3]
dengan masyarakat sekitar tempatnya ngekost.
Saya akui, semuanya kelihatan jelas dari kematangannya yang sudah
berlipat-lipat. Mimpinya jadi politisi kelihatan sudah jauh juga darinya. Dia
sudah memilih belajar hidup dari hidup itu sendiri. Halah… saya jadi sok
berfilsafat juga kan…
Mirip
sepertinya, saya sudah sangat lama tidak bahas soal negara dan isme-isme. Urip[4]
ternyata tidak sesempit menyalahkan negara dan tebalnya sekadar ratuan lembar
seperti buku-buku soal isme-isme.
“Ayahku
dulu hobi mengajak bicara aku soal negara dan dunia politik. Untuk merubah
kesalahan-kesalahan dan kekurangan dari negara, masuk dunia politik jadi
caranya.” Salah satu ucapan Tafsiri di tengah percakapan kami.
Saya
tergelak. Kami tergelak. Pun mama dan ayah yang sedang mencuri dengar.
Oh…
jadi dulu Tafsiri sedang memerjuangkan ide milik ayahnya. Mirip ayah saya,
ayahnya memang cuma pekerja kasar kecil yang punya banyak kosakata soal isu-isu
kenegaraan. Belum jelas luka apa yang dialami ayah Tafsiri di masa dulu. Bisa
jadi serupa dengan ayah saya yang cukup alergi dengan dunia birokrasi. Di masa
terdahulu, ayah pernah masuk di dunia tersebut dan mengalami hal menyakitkan
hingga akhirnya memutuskan buat menepi saja.
Birokrasi
sering juga lebur dengan dunia politik dalam versi ayah. Sejak kecil, saya
diarahkan ayah untuk berkesenian saja meski tanpa ucapan. Di usia PAUD, saya sudah
diajaknya pergi ke pameran lukisan DKM (Dewan Kesenian Malang). Bukan cuma
lukisan, saya juga diajaknya melihat latihan menari yang pada saat itu masih
ramai.
Pameran
karikatur yang bertema kritik-kritik sosial, juga jadi sasaran ayah ketika
mengajak pergi keluar rumah. Saya masih sekolah dasar dan diam-diam sudah
diberi pemahaman soal jalur lain memerbaiki negara, seni dan pendidikan. Ayah
juga sangat mendukung kegemaran saya di dunia menggambar dan anime. Bahkan saya
sudah mimpi bisa berpromosi soal budaya Indonesia lewat anime di usia sembilan
tahun.
Ah…
lucu memang, pada kenyataannya saya dan Tafsiri sedang dalam bayangan mimpi
ayah masing-masing yang belum tuntas di masa dulu. Dan bagaimana ibu-ibu kami
tahu-tahu menghadapi mimpi kami yang mendadak jadi demikian…
3 comments:
Ironi masa lalu yg bikin anomali kesudahannya.. Wkwk
Ayah suka diam2 menyelipkan mimpi2nya yg belum kesampaian. :)
Anonim: Kasih nama dongs... komentarnya. Mugo iki kowe yo, Cak... lek aku ndak salah orang sih kwkwkwkw.
Nenek: Thanks udah berkunjung, Nek :D ati-ati kalau pilih suami, Nek kwkwkwkw.
Post a Comment