Sunday, May 8, 2016

Memerbaiki Negara Versi Ayah (Tafsiri dan Saya)


Bulan lalu, Tafsiri datang ke rumah saya (baca juga; Patah Hati). Kepulangannya dari Jogja kali itu ternyata bikin kami buka-bukaan soal ayah masing-masing.
Kami mula-mula mengenang bagaimana obrolan kami di masa akhir sekolah. Dia di sekolah unggulan berbasis agama, sedang saya di sekolah kejuruan yang identik dengan karakter siswa-siswinya yang macam rupa.
Di masa-masa itu, kami sibuk membicarakan negara dan kesalahan-kesalahan pemangku jabatan. Kami waktu itu belum genap tujuh belas. Kami garang, lugu, lucu dan menggemaskan.
Sebab-sebab demikian ini yang bikin kami makin dekat bersahabat. Lucu memang, isi telepon dan percakapan kami dalam SMS pun menyoal semua itu. Kemlinthi[1] barangkali kata orang jawa…
Saya ingat, bagaimana Tafsiri sering bergesekan pendapat dengan saya soal jalur yang bakal dipilih. Iya… betul… kami waktu itu sudah sok memimpikan jalur yang kata kami jalur perjuangan.
Tafsiri benar-benar membela mimpinya di dunia politik. Sedang saya benar-benar membela mimpi saya di dunia seni dan sosial pendidikan. Kucluk![2]
Pertemuan kembali kami yang bulan lalu itu, nyatanya cukup lucu. Obrolan kami tidak jarang menyenggol soal betapa kementhusnya kami di masa-masa akhir sekolah.
Tafsiri yang sedang menyelesaikan pendidikannya di jurusan filsafat, sekarang lebih memilih srawung [3] dengan masyarakat sekitar tempatnya ngekost. Saya akui, semuanya kelihatan jelas dari kematangannya yang sudah berlipat-lipat. Mimpinya jadi politisi kelihatan sudah jauh juga darinya. Dia sudah memilih belajar hidup dari hidup itu sendiri. Halah… saya jadi sok berfilsafat juga kan…
Mirip sepertinya, saya sudah sangat lama tidak bahas soal negara dan isme-isme. Urip[4] ternyata tidak sesempit menyalahkan negara dan tebalnya sekadar ratuan lembar seperti buku-buku soal isme-isme.
“Ayahku dulu hobi mengajak bicara aku soal negara dan dunia politik. Untuk merubah kesalahan-kesalahan dan kekurangan dari negara, masuk dunia politik jadi caranya.” Salah satu ucapan Tafsiri di tengah percakapan kami.
Saya tergelak. Kami tergelak. Pun mama dan ayah yang sedang mencuri dengar.
Oh… jadi dulu Tafsiri sedang memerjuangkan ide milik ayahnya. Mirip ayah saya, ayahnya memang cuma pekerja kasar kecil yang punya banyak kosakata soal isu-isu kenegaraan. Belum jelas luka apa yang dialami ayah Tafsiri di masa dulu. Bisa jadi serupa dengan ayah saya yang cukup alergi dengan dunia birokrasi. Di masa terdahulu, ayah pernah masuk di dunia tersebut dan mengalami hal menyakitkan hingga akhirnya memutuskan buat menepi saja.
Birokrasi sering juga lebur dengan dunia politik dalam versi ayah. Sejak kecil, saya diarahkan ayah untuk berkesenian saja meski tanpa ucapan. Di usia PAUD, saya sudah diajaknya pergi ke pameran lukisan DKM (Dewan Kesenian Malang). Bukan cuma lukisan, saya juga diajaknya melihat latihan menari yang pada saat itu masih ramai.
Pameran karikatur yang bertema kritik-kritik sosial, juga jadi sasaran ayah ketika mengajak pergi keluar rumah. Saya masih sekolah dasar dan diam-diam sudah diberi pemahaman soal jalur lain memerbaiki negara, seni dan pendidikan. Ayah juga sangat mendukung kegemaran saya di dunia menggambar dan anime. Bahkan saya sudah mimpi bisa berpromosi soal budaya Indonesia lewat anime di usia sembilan tahun.
Ah… lucu memang, pada kenyataannya saya dan Tafsiri sedang dalam bayangan mimpi ayah masing-masing yang belum tuntas di masa dulu. Dan bagaimana ibu-ibu kami tahu-tahu menghadapi mimpi kami yang mendadak jadi demikian…




[1] Sok pintar
[2] Goblok dalam istilah selengehan
[3] Berbaur
[4] Hidup

3 comments:

Anonymous said...

Ironi masa lalu yg bikin anomali kesudahannya.. Wkwk

Einid Shandy said...

Ayah suka diam2 menyelipkan mimpi2nya yg belum kesampaian. :)

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Anonim: Kasih nama dongs... komentarnya. Mugo iki kowe yo, Cak... lek aku ndak salah orang sih kwkwkwkw.

Nenek: Thanks udah berkunjung, Nek :D ati-ati kalau pilih suami, Nek kwkwkwkw.