Wednesday, March 1, 2017

Sri Bukan Anak Nakal! Tapi Laura…


Teman saya, Sri Eka Fidianingsih pindah ke SD yang sama dengan saya saat kelas dua. Kami belum bisa akrab saat itu, saya terlalu pendiam dan Sri terlalu lincah dengan kesusahannya beradaptasi dengan berbagai aturan.
Sri sendiri berasal dari panti asuhan yang satu yayasan dengan SD tempat kami sekolah. Belakangan, ketika kami akrab, saya mengetahui bahwa dia punya lima saudara lain dalam keluarganya. Saat saya pergi ke pernikahnnya pada tahun 2015, dia malah bercerita bahwa ibunya memiliki seorang anak lagi yang saya lupa diceritakannya lahir pada tahun berapa. Jadi, mereka tujuh bersaudara!
Bu Nurul, wali kelas kami di kelas dua, berusaha memberi ketegasan sekaligus membela Sri. Sri ditekankan untuk mau menulis di dalam garis buku sekaligus guru-guru lain memberinya cap nakal. Sri berhasil, dia kemudian mulai menulis sesuai aturan dan berhasil memahami aturan-aturan lainnya.
Waktu kelas tiga, kami mulai dekat. Desi, teman sekelas kami mengenang Sri sebagai satu-satunya anak panti yang berani melawan ketika diintimidasi teman-teman yang lain. Desi mengenang bagaimana Sri membela sebuah kursi, yang memang terlebih dahulu dia tempati waktu semester baru. Kursi itu hendak direbut seorang teman lain di kelas. Anak panti selain Sri, tentu akan langsung pergi ketika orang lain meminta kursinya. Kecuali Sri, anak panti lain memang merasa lebih rendah.
Di mushola, saya duduk tidak pernah jauh dari Sri. Di depan kami, duduk salah seorang anak pindahan baru yang selalu masuk tiga besar, sebut saja Arini dan Laura, siswi paling cantik dan berasal dari keluarga kaya. Laura kelihatan senang bersama Arini sejak kedatangannya yang pertama. Laura memang begitu pada siapa saja yang pintar secara akademis atau sama-sama berasal dari keluarga kaya. Menurut mama saya, Laura cuma korban cara pandang orang tuanya. Saat itu, dia juga berusaha menarik saya dalam persahabatan dengannya karena prestasi akademik saya.
Arini begitu saja mau dekat-dekat dengan Laura. Mereka hampir selalu bersama. Awalnya, Laura yang memang mencari Arini, namun Arini tidak pernah menolak bahkan mereka kemudian saling mencari pada akhirnya. Saya sendiri, entah kenapa tidak pernah terlalu nyaman berdekatan dengan dua teman sekelas ini.
Laura memang senang mengejek Sri. Sri saat itu masih lebih cepat marah dan bertindak. Saat di mushola, Laura memelesetkan nama Sri dengan nada kebencian, bukan bercanda seperti Fadil, Nuzul dan sebagian teman-teman lain yang memang senang saling goda. Sri juga tidak pernah serius pada teman-teman yang menggodanya. Dia biasanya hanya balas menjahili, dia tahu beda benci dan bercanda, semua tahu itu. Arini yang ada di sebelahnya juga memelesetkan nama Sri dengan wajah sinis yang aneh.
Saya saat itu terlalu pendiam untuk turut membela Sri. Kami sering bersama untuk membeli es wawan di seberang sekolah, yang harganya tidak seberapa dan membaginya jadi dua. Bahkan, pada tahun-tahun berikutnya di akhir kelas enam, Sri yang membantu saya yang kebingungan saat menstruasi pertama, dia mengantar saya ke rumah nenek saya dan membantu menjelaskan apa yang tidak saya pahami.
Ketika Laura mulai diam, Arini justru terus-terusan mengejek Sri. Arini yang sehari-harinya kelihatan lembut dan pendiam. Arini yang dipuja guru-guru sebagai si anak baru yang cerdas dan berprestasi juga tidak neko-neko dalam versi mereka.
Sri mendelik, dia maju dan menampar Arini. Arini menangis dengan dramatis. Idola para guru yang kelihatan sangat pendiam di antara teman-teman lainnya itu seolah dianiaya!
Anak-anak dari kelas tiga hingga enam, selalu berkumpul di mushola pada jam tersebut untuk sholat berjamaah. Laura memeluk Arini seperti sepenuh hati, seperti sahabat sejati dan turut prihatin. Laura bilang,”Sri tiba-tiba menampar Arini!”
Dalam hati, saya menjerit! Laura jahat! Dia jahat! Bagaimana dia bisa begitu sedang dia tahu, Arini ada di sebelahnya dan memerolok Sri?!
Semua orang mendelik pada Sri. Sri yang dianggap kumuh, nakal dan anak panti. Sri yang dicap nakal sejak kelas dua, padahal dia sendiri tidak pernah saya lihat terlebih dahulu memerlakukan buruk seseorang tanpa sebab, sejak kepindahannya.
Saat itu kali pertama saya bisa bicara sedikit keras. Ucapan paling keras yang saya rasa pernah lakukan selama delapan tahun hidup. Saya ngotot Arini mengejek Sri. Tapi semua orang seperti tidak memerhatikan saya. Mereka menghakimi Sri dan dia yang sesungguhnya punya suara keras untuk membela diri malah diam.
Suara saya kemudian hilang bersama suara Laura yang lebih keras. Dia tetap ngotot jika Sri memang tiba-tiba jahat pada Arini. Arini yang terkenal baik hingga anak-anak kelas enam pun mengaguminya, sebagian guru yang membawa cerita soal Arini kemana-mana seperti cap nakal pada Sri yang juga mereka bawa kemana-mana.
Saya merasa asing dengan kebohongan yang saat itu dilakukan Laura. Bagi saya, itu cukup rumit untuk dimengerti. Saya baru kali pertama melihat kebohongan yang seperti itu. Mungkin Sri juga begitu.
Semua orang merutuk Sri dan tangisan Arini makin keras. Laura terus menerus mengatakan Sri tiba-tiba menampar Arini… tiba-tiba menampar Arini… tiba-tiba menampar Arini… saya tidak lagi mengerti bagaimana harus bersuara. Hanya saja, dalam hati saya selalu bilang.”Bukan Sri yang anak nakal…”

No comments: