Teman
saya, Sri Eka Fidianingsih pindah ke SD yang sama dengan saya saat kelas dua.
Kami belum bisa akrab saat itu, saya terlalu pendiam dan Sri terlalu lincah
dengan kesusahannya beradaptasi dengan berbagai aturan.
Sri
sendiri berasal dari panti asuhan yang satu yayasan dengan SD tempat kami
sekolah. Belakangan, ketika kami akrab, saya mengetahui bahwa dia punya lima
saudara lain dalam keluarganya. Saat saya pergi ke pernikahnnya pada tahun
2015, dia malah bercerita bahwa ibunya memiliki seorang anak lagi yang saya
lupa diceritakannya lahir pada tahun berapa. Jadi, mereka tujuh bersaudara!
Bu Nurul, wali kelas kami di kelas dua, berusaha memberi ketegasan sekaligus
membela Sri. Sri ditekankan untuk mau menulis di dalam garis buku sekaligus
guru-guru lain memberinya cap nakal. Sri berhasil, dia kemudian mulai menulis
sesuai aturan dan berhasil memahami aturan-aturan lainnya.
Waktu
kelas tiga, kami mulai dekat. Desi, teman sekelas kami mengenang Sri sebagai
satu-satunya anak panti yang berani melawan ketika diintimidasi teman-teman
yang lain. Desi mengenang bagaimana Sri membela sebuah kursi, yang memang
terlebih dahulu dia tempati waktu semester baru. Kursi itu hendak direbut
seorang teman lain di kelas. Anak panti selain Sri, tentu akan langsung pergi
ketika orang lain meminta kursinya. Kecuali Sri, anak panti lain memang merasa
lebih rendah.
Di
mushola, saya duduk tidak pernah jauh dari Sri. Di depan kami, duduk salah
seorang anak pindahan baru yang selalu masuk tiga besar, sebut saja Arini dan
Laura, siswi paling cantik dan berasal dari keluarga kaya. Laura kelihatan
senang bersama Arini sejak kedatangannya yang pertama. Laura memang begitu pada
siapa saja yang pintar secara akademis atau sama-sama berasal dari keluarga kaya.
Menurut mama saya, Laura cuma korban cara pandang orang tuanya. Saat itu, dia
juga berusaha menarik saya dalam persahabatan dengannya karena prestasi
akademik saya.
Arini
begitu saja mau dekat-dekat dengan Laura. Mereka hampir selalu bersama.
Awalnya, Laura yang memang mencari Arini, namun Arini tidak pernah menolak
bahkan mereka kemudian saling mencari pada akhirnya. Saya sendiri, entah kenapa
tidak pernah terlalu nyaman berdekatan dengan dua teman sekelas ini.
Laura
memang senang mengejek Sri. Sri saat itu masih lebih cepat marah dan bertindak.
Saat di mushola, Laura memelesetkan nama Sri dengan nada kebencian, bukan
bercanda seperti Fadil, Nuzul dan sebagian teman-teman lain yang memang senang
saling goda. Sri juga tidak pernah serius pada teman-teman yang menggodanya.
Dia biasanya hanya balas menjahili, dia tahu beda benci dan bercanda, semua
tahu itu. Arini yang ada di sebelahnya juga memelesetkan nama Sri dengan wajah
sinis yang aneh.
Saya
saat itu terlalu pendiam untuk turut membela Sri. Kami sering bersama untuk
membeli es wawan di seberang sekolah, yang harganya tidak seberapa dan
membaginya jadi dua. Bahkan, pada tahun-tahun berikutnya di akhir kelas enam,
Sri yang membantu saya yang kebingungan saat menstruasi pertama, dia mengantar
saya ke rumah nenek saya dan membantu menjelaskan apa yang tidak saya pahami.
Ketika
Laura mulai diam, Arini justru terus-terusan mengejek Sri. Arini yang
sehari-harinya kelihatan lembut dan pendiam. Arini yang dipuja guru-guru
sebagai si anak baru yang cerdas dan berprestasi juga tidak neko-neko dalam
versi mereka.
Sri
mendelik, dia maju dan menampar Arini. Arini menangis dengan dramatis. Idola
para guru yang kelihatan sangat pendiam di antara teman-teman lainnya itu seolah
dianiaya!
Anak-anak
dari kelas tiga hingga enam, selalu berkumpul di mushola pada jam tersebut
untuk sholat berjamaah. Laura memeluk Arini seperti sepenuh hati, seperti
sahabat sejati dan turut prihatin. Laura bilang,”Sri tiba-tiba menampar Arini!”
Dalam
hati, saya menjerit! Laura jahat! Dia jahat! Bagaimana dia bisa begitu sedang
dia tahu, Arini ada di sebelahnya dan memerolok Sri?!
Semua
orang mendelik pada Sri. Sri yang dianggap kumuh, nakal dan anak panti. Sri
yang dicap nakal sejak kelas dua, padahal dia sendiri tidak pernah saya lihat
terlebih dahulu memerlakukan buruk seseorang tanpa sebab, sejak kepindahannya.
Saat
itu kali pertama saya bisa bicara sedikit keras. Ucapan paling keras yang saya
rasa pernah lakukan selama delapan tahun hidup. Saya ngotot Arini mengejek Sri.
Tapi semua orang seperti tidak memerhatikan saya. Mereka menghakimi Sri dan dia
yang sesungguhnya punya suara keras untuk membela diri malah diam.
Suara
saya kemudian hilang bersama suara Laura yang lebih keras. Dia tetap ngotot
jika Sri memang tiba-tiba jahat pada Arini. Arini yang terkenal baik hingga
anak-anak kelas enam pun mengaguminya, sebagian guru yang membawa cerita soal
Arini kemana-mana seperti cap nakal pada Sri yang juga mereka bawa kemana-mana.
Saya
merasa asing dengan kebohongan yang saat itu dilakukan Laura. Bagi saya, itu
cukup rumit untuk dimengerti. Saya baru kali pertama melihat kebohongan yang
seperti itu. Mungkin Sri juga begitu.
Semua
orang merutuk Sri dan tangisan Arini makin keras. Laura terus menerus
mengatakan Sri tiba-tiba menampar Arini… tiba-tiba menampar Arini… tiba-tiba
menampar Arini… saya tidak lagi mengerti bagaimana harus bersuara. Hanya saja,
dalam hati saya selalu bilang.”Bukan Sri yang anak nakal…”
No comments:
Post a Comment