Sumber: Gugel |
Satu
waktu saat saya masih maba, saya pergi keluar gedung kuliah lewat tangga.
Hampir sampai di lantai satu, saya
berpapasan dengan seorang kakak tingkat sebut saja mas Iwakura. Mas Iwakura
kelihatan berlari berlawanan arah dengan terburu-buru.
“Ayo…
melok arek-arek, Pop…” [1] kata si mas Iwakura pada saya.
“Ning ndi, Mas?” [2]tanya
saya.
“Demo…”
jawabnya sambil menyeka keringat.
“Ndemo sopo? Aku ora ruh sebab e opo. Lapopo
melu demo?” [3]sahut
saya datar.
“Iki awakmu katae nang ndi?”[4]
“Muleh, Mas…”[5]
“Oh… koen mulihan ancene, Pop...”[6] Mas
Iwakura mulai sengak.
“Babah, Mas…” [7]ucap
saya terakhir, sebelum melewati si mas Iwakura begitu saja.
Saya
memang sedikit gemas melihat mas Iwakura. Sejak kami maba, mas satu itu memang
yang suka teror kami dengan tugas-tugas Ospek. Tugas yang sebenarnya tidak akan
pernah dihargai atau diapresiasi, sekadar ditumpuk untuk menakuti. Terbukti
dari bagaimana Ospek jaman saya dulu, mengharuskan kami para maba membikin
atribut aneh sesuai ketentuan, dengan jumlah yang cukup banyak, ditambah tugas
menulis yang ternyata hanya sekadar ditumpuk.
Pernah
saya sengaja tidak mengumpulkan tugas hari pertama, baru pada hari kedua tugas
itu saya kumpulkan. Tidak ada komplain dari kakak-kakak panitia. Padahal, tugas
hari pertama dan kedua jelas beda tema.
Mas
Iwakura sendiri, adalah oknum mahasiswa himpunan yang memaksakan minatnya pada
adik-adiknya macam saya. Pernah, saya dapat chat FB darinya. Isinya begini…
“Kamu
nggak ikut seleksi himpunan kemarin, Pop?”
“Nggak,
Mas…”
“Oh…
dasar nggak mau berorganisasi.”
Pada
nyatanya, saya lebih memilih jalan-jalan ke UKM bersama teman saya Anny dan
Randi. Kami mencari informasi soal UKM mana yang kami minati. Waktu itu, kami
memapir ke UKM yang menampung minat menulis, kesehatan dan pertunjukan.
Lucunya,
sehari setelah demo, teman saya Fitria Iyudhia Ekawati, alias Iyud,
menceritakan bagaimana suasana demo yang saya menolak ikut sehari sebelum.
“Mak[8]…
aku malu kemarin ikut demo…” kata Iyud.
“Lah…
kenapa?”
“Kamu
tahu nggak? Kami itu demo siapa?”
“Siapa
memangnya?”
“Pak
X, Mak… kamu tahu kan beliau baik banget sama kita waktu ngajar di kelas. Aku
waktu ikutan demo itu sampai tutup mukaku biar beliau nggak tahu.”
“Kamu
tahu sebab demonya itu apa?”
“Kurang
tahu sih…”
“Lah…
kamu ngapain ikut kalau nggak tahu sebabnya?”
“Lah…
aku tiba-tiba diajak kakak-kakak, Mak…” Pungkas Iyud.
Belakangan
saya menang mengetahui bahwa Iyud selanjutnya ikut seleksi anggota himpunan dan
lolos.
Mas
Iwakura, beda lagi dengan mas lain dari anggota himpunan, sebut saja mas Ai.
Mas Ai, justru sangat mendukung saya melalui keterbukaannya mengobrol, meski kami
beda minat, dia di organisasi politik kampus dan saya lebih suka seni
pertunjukan. Begitu pun mbak Bunga Larasati, mbak cantik satu ini juga anggota
himpunan, tapi dia tetap terbuka dan tidak berusaha menanamkan kesuksesan adalah
dengan harus mengikuti organisasi politik kampus. Bahkan mbak Bunga sangat
inovatif ketika menjadi anggota himpunan. Dirinya membuat even berskala
nasional yang justru membahas wirausaha sejak usia muda.
Jadi,
buat adik-adik maba. Kamu tidak perlu menyesuaikan definisi sukses dari
kakak-kakakmu yang kebetulan saja kuliahnya masuk duluan, sehingga seolah lebih
tahu darimu. Kakak-kakak yang baik, justru memberikan pandangan luas tanpa
paksaan seperti mas Ai dan mbak Bunga yang saya ceritakan tadi.
Dan
buat teman-teman yang sekarang sudah jadi kakak, jadi kakak mbok ya [9]yang
ketche macam mbak Bunga dan mas Ai. Jadi kakak-kakak yang berpikiran luas,
jangan karena adik-adikmu tidak seminat denganmu atau arahanmu, kamu jadi minim
apresiasi pada mereka. Nggilani[10]
sekali kalau bisamu cuma begitu.
Semangat
buat kamu semua…
Baca Juga, Mengapa Tidak Perlu Jadi 'Aktivis'?
[1]
Ayo… ikut teman-teman…
[2]
Kemana, Mas?
[3]
Demo ke siapa? Aku nggak tahu sebabnya, ngapain ikut demo?
[4] Ini
kamu mau kemana?
[5]
Pulang, Mas…
[6] Oh…
kamu memang sukanya pulang-pulang melulu, Pop... (nggak punya kegiatan)
[7]
Biarin, Mas…
[8]
Sapaan akrab saya dari teman-teman adalah mak alias emak.
[9] Sebaiknya
ya
[10]
Menjijikkan
No comments:
Post a Comment