Tuesday, February 28, 2017

Penyedap Rasa

Sumber: Gugel

Menurut cerita dari nenek, kaki-kakiku yang mengecil adalah akibat dari penyedap rasa. Benda itu kecil dan halus, berwarna putih atau kuning dan bungkusnya bergambar kambing atau daging.
Masih menurut nenek, sejak kedatangan penyedap rasa, ibuku mulai menjadi gila dan kakak-kakakku mulai kesusahan menghapal bahasa asing atau mengerjakan operasi hitung. Aku masih termasuk yang beruntung, kaki-kakiku memang mengecil, tapi aku masih bisa menghapal bahasa asing atau oprasi hitung dengan sangat baik. 
“Aku selamat, karena tubuh tuaku bisa menjadi alasan. Kubilang pada mereka, aku bahkan sudah tidak berani makan garam. Aku hanya boleh makan sayur yang dikukus, bahkan tanpa bumbu. Maka, aku selamat…” ucap nenek.
Sebuah kontes memasak menghadirkan penyedap-penyedap itu kali pertama di televisi. Seorang ibu yang tinggal beda provinsi denganku, memenangi kontes itu pertama kali. Setelah menang, ibu tersebut mendapat beasiswa penuh untuk ketiga putranya bersekolah, dia kemudian justru menentang kontes memasak yang justru berlangsung terus menerus menahun kemudian. Barangkali, dia memang hanya mengincar beasiswa buat putra-putranya itu...[1]
“Orang-orang mulai merasakan lebih kuatnya rasa makanan dari penyedap itu. Televisi terus menayangkan mereka. Mereka bukan garam apalagi saripati daging. Hanya serbuk-serbuk kecil yang mulai membuat para ibu keguguran dan para ilmuwan ditembak mati setelah membeberkan hasil penelitian mereka.”
Belum genap setahun, ibu berhenti menyusuiku. Masih menurut nenek, para tetangga bahkan ayahku sendiri mengejek masakan ibu yang tidak ideal, tanpa penyedap setelah aku lahir dan kaki-kakiku tidak sempurna. Setiap tahun, kontes memasak yang disponsori produk penyedap itu diadakan dan setiap tahun itu pula, para ibu berlomba membuat rasa masakan mereka sesuai standar dalam kontes memasak itu.
Sebentar kemudian, ibu masuk ke dalam kamar dengan wajah tegang. Di tangannya ada sebuah mangkuk berisi sup. Nenek memundurkan kursi rodanya, makin menjauh dari kasur tempatku duduk.
“Kamu mesti makan, Saratini! Kamu tidak boleh lagi memuntahkannya!” jerit ibu.
Tangan ibu mulai menyuapkan sup itu dalam mulutku, hingga aku hampir tidak sempat mengunyahnya. Dua kakakku juga turut mengintil di belakang punggung ibu. Air liur menetes terus menerus dari sudut bibir mereka. Tatapan mereka kosong, beda betul dari sepuluh tahun lalu, di mana aku kali pertama bisa mengingat wajah mereka di usia tiga tahun.
“Bagus, Saratini. Bagus…” ibu tersenyum puas ketika mangkuk sup di tangannya tandas. Sebentar kemudian, dia pergi keluar kamar diikuti kedua kakakku.
Rasa mual mulai merambat dalam perutku. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak pernah bisa menerima sup dengan penyedap rasa itu dalam perutku.
Televisi yang diletakkan beberapa kaki dari kasur, menayangkan sebuah iklan kontes kecantikan. Sketsa seorang perempuan bertubuh sangat kurus terpajang di dalam sana. Rambutnya panjang, kulitnya pun putih. Produk handuk yang membuat kontes itu. Masih menurut iklan, handuk-handuk itu katanya dapat memutihkan kulit dan menguruskan tubuh.
Tubuhku gemetaran, nenek mulai mendekatkan kembali kursi rodanya pada kasurku. Seperti aku, badannya juga nampak gemetaran melihat iklan di televisi.
Apakah setelah kontes kecantikan dengan standar yang telah dibuat itu, semua orang akan ketakutan jika tidak identik dengan standar yang ditentukan? Apa ini akan serupa dengan kontes memasak itu? Beberapa saat kemudian, perutku makin mual dan isi perutku semuanya keluar. Apa ibu akan kembali marah?




[1] Oleh sebab, kisah perempuan pemenang pertama sebuah kontes kecantikan yang diadakan produk baju renang.

No comments: