Sumber: Gugel |
Belajar
tanpa beban ambisi orang tua.
Ngobrol
dengan senior saya, mbak Puput di FB perkara sekolah hari ini, bikin saya ingat
bagaimana awalnya saya berangkat dari rumah bukan dalam keadaan benci
matematika. Dan bagaimana ketika pulang, saya kok ya jadi alergi segala macam
rumus dan hitung menghitung, kecuali hitungan uang hutangnya kamu.
Ini
sungguhan. Mama rajin melatih saya baca dan hitung di rumah. Tidak ada paksaan
atau ambisi. Saya melakukan semuanya dengan santai bahkan saya berangkat dari
rumah tanpa paham takaran nilai prestasi. Saya masuk TK langsung nol besar
memang ceritanya. Barangkali, diterima karena baca dan hitung memang sudah
bisa, tidak jadi beban guru. Mama yang sebenarnya agak berat membayar uang
sekolah pada masa itu, sebenarnya cuma mencari ijazah buat saya.
Selama
TK, mama tidak pernah menanggapi berlebihan jika saya baik dalam akademis. Saya
kebetulan suka menulis dan membaca, kalau dipikir-pikir sekarang, TK saya dulu
berat juga cara belajarnya. Kami yang anak TK diberi PR dan ada ulangan
matematika. Saya selalu bisa menulis dengan baik di papan tulis kelas, mama
membantu saya mengerjakan PR dan nilai ulangan matematika saya 100. Tanpa tahu
batas-batas angka prestasi itu mesti segini dan segitu, saya ternyata jadi
menikmati belajar dan mengerjakan tugas-tugas memang.
Saya
ingat bagaimana ulangan matematika yang dapat nilai 100 itu, dibagikan saat
makan bersama hari Jumat. Teman-teman banyak yang mendapat nilai di bawah 65.
Kertas ulangan saya yang ketahuan dapat seratus, akhirnya jadi pusat perhatian
teman-teman. Lucunya, saya tidak paham, mengapa saya jadi pusat perhatian? Dan ketika
pulang, mama juga tidak mengatakan apa-apa. Mama baru menanggapi dengan semangat,
ketika saya cerita soal teman yang bolo-boloan alias suka berkelompok dan
mengucilkan yang lain, atau kenyataan soal guru di kelas saya yang suka
menggebrak pintu saat mengajar. Selain relasi-relasi macam ini, lagi-lagi saya
bilang, mama saya tidak pernah menanggapi berlebihan, apalagi soal akademis.
Pada
semester pertama di kelas satu, nilai saya didominasi angka 8 dan 9, termasuk
matematika. Itupun, saya ada di peringkat tiga, masih kalah dengan teman baik
saya Alwan Tafsiri Al-Izza, si jenius yang baru lulus jurusan filsafat tahun
ini.
Waktu
itu, mama mengambil rapor saya dengan gembira. Seperti biasa, tidak berlebihan
juga gembiranya. Kemudian, saya diajaknya naik becak untuk pergi kerumah nenek
saya yang tidak jauh dari SD.
Mama
mengabarkan bahwa saya dapat peringkat 3 pada nenek. Nenek saya senang, matanya
berbinar. Dan hingga saat itu, saya masih tidak paham mengapa semua orang
senang. Mama tidak pernah mengartikan angka-angka itu pada saya, apalagi nenek
yang lebih senang mengajak saya membaca surat-surat pendek atau nama-nama
presiden, hingga saya hapal dengan sendirinya. Jaman itu, saya belum kenal
gugel. Saya begitu menganggap pengetahuan nenek itu luar biasa mengagumkan.
Sumber: Gugel |
Trauma
dengan sempoa.
Hingga
saat kelas 2. Sempoa jadi sesuatu yang hits. Hampir semua sekolah merasa
prestise dengan mewajibkan siswanya belajar sempoa, dengan biaya tambahan
tentunya. Kecuali teman-teman saya yang dari panti, semua anak mengikuti sempoa,
saya termasuk. Sayangnya, mulai pada level mental aritmatika, saya mulai
kesusahan. Pada level ini, siswa tidak lagi boleh memegang alat hitung mereka.
Alat hitung hanya boleh dalam bayangan siswa, dengan tangan yang bergerak-gerak
seolah seperti alat itu ada di sana.
Sebelum merasa kesusahan, saya mulai memahami bahwa patokan baik buruk adalah angka.
Buku-buku latihan sempoa yang membuat saya berpikir begitu. Tanda silang dan
total skor di buku itu, masih terekam dalam ingatan saya. Belum lagi, pujian
dari para guru untuk Dita, adik kelas saya yang masih kelas 1 tapi jenius sempoa,
hingga ketika kelas sempoa, Dita disatukan dengan anak kelas 2.
Alat
sempoa yang berwarna oranye, juga bukunya yang dilengkapi gambar, lama-lama
jadi menakutkan bagi saya. Ditambah, saya pernah sebangku dengan Dita saat
kelas sempoa dan nilai saya jauh di bawah Dita. Bukan salah Dita jika dia
memandang saya remeh. Pujian orang dewasa pada Dita, membuatnya punya patokan
sendiri bagaimana hebat itu dinilai.
Makin
menakutkan, ketika guru yang saya tidak tahu siapa, menurunkan saya di kelas 1
khusus untuk kelas sempoa. Saya merasa malu. Dita si jenius sempoa, naik di
kelas 2 sedang saya malah mesti turun kelas. Pada awal kelas, saya terus
berusaha mengikuti kelas dengan baik. Hingga kembali pada level mental
aritmatika, saya hanya bertahan beberapa kali pertemuan sebelum kembali lagi
keteteran.
Saya
kemudian tidak ingat, bagaimana orang tua saya tahu bahwa saya tertekan dengan
sempoa. Kemudian, saya diberitahu mama bahwa saya tidak perlu mengikuti sempoa
lagi. Sepertinya ayah dan mama saya mengajak bicara para guru, agar mengijinkan
saya tidak mengikuti sempoa yang kalau tidak salah, waktu itu sifatnya semi
wajib. Saya merasa lega… gadis kecil bertubuh sangat pendek yang gambar karyanya
direkomendasikan bu Nurul, untuk jadi contoh anak kelas 5 ini, tidak perlu lagi
ikut sempoa yang menakutkan itu.
Hingga
naik kelas 3, nilai matematika saya masih pada kisaran angka 8. Mulai kelas 4,
nilai saya merosot di kisaran angka 4 dan terus merosot. Saya bahkan lulus UN
hanya dengan nilai 5 untuk pelajaran matematika saat SD. Dan UN SMP, saya lulus
degan nilai 4 dan kembali 5 ketika SMK.
Sumber: Gugel |
Masalah
cara belajar, atau memang kurang cerdas dan pemalas?
Jika
dipikir-pikir kembali, sempoa bukan satu-satunya sebab. Sebab lain otak saya
kemudian bebal untuk matematika adalah, ketika mama saya berhenti mengajari
matematika saat kami pindah ke rumah yang lebih jauh dari sekolah dan tempat
kerjanya. Mama agaknya merasa lelah dengan jarak yang rumah yang baru.
Saya
sendiri, tidak mengerti bagaimana cara mengatakan padanya, bahwa saya lebih
senang belajar di rumah. Dan bagaimana nilai-nilai cemerlang saya yang dulu,
bukan hanya matematika juga merosot berbarengan dengan mama yang tidak lagi
seintens dulu membacakan buku pelajaran buat saya. Betul, saya memang lebih cepat
menyerap pelajaran dengan mendengar, saya juga punya interpretasi lebih dengan
bagan dan gambar. Mama sendiri punya cara khusus untuk merangkum buku pelajaran
jadi mudah dimengerti. Saya mendengarkannya seperti mendengar dongengya setiap
malam saat TK, soal kancil yang malam ini mencuri timun dan malam besok mencuri
sate donat. Bahkan, Mr. A pernah memuji saya
yang bisa menulis ulang buku pelajaran agama dengan begitu lancar. Hai, Mr... ini bukan karena anda. Ini karena mama saya
membacakan buku itu di rumah dan merangkumnya sehingga mudah dimengerti.
Ternyata,
seorang anak pun punya cara belajar yang berbeda-beda. Memang susah bagi guru
untuk menyesuaikan cara belajar anak satu per satu. Saya sendiri merasakan,
bagaimana terbantu dan lebih menikmatinya saya ketika belajar dengan cara mama
di rumah. Dan tidak semua anak, mampu menemukan cara belajarnya sendiri sejak
awal. Saya kembali mendapat nilai 8 dan 9 ketika kelas 10, dengan cara belajar
yang mulai bisa saya temukan sendiri. Ternyata, tidak semua nilai akademis yang
rendah dari seorang anak, adalah akibat dirinya yang punya kecerdasan kurang
atau malas bukan?
No comments:
Post a Comment