Dian Purnomo YSTC, tentang proses seleksi
Sumber: @savechildren_id |
Setahun belakangan, saya memang kembali main twitter. Alasan idealisnya sih, trending twitter dan segala cuitan di sana selalu lebih cepat ketimbang berita di media massa. Tapi alasan pragmatisnya ada juga, twitter itu unlimited seumur hidup kalau kita beli paket 3 GB ke atas di IM3. Hiya… promosi sengaja.
Maka pagi itu, saya lihat Ivan Lanin sang suami impian tukang koreksi ejaan, ritwit kiriman dari siapa begitu, pokoknya perempuan. Isinya tentang seleksi menulis dan live in bersama Yayasan Sayangi Tunas Cilik Save The Children dan Tempo Institute. Ya… pokoknya siapapun mbak-mbak yang berbagi informasi itu dan diritwit Ivan Lanin, saya doakan hidupnya barokah, meski saya sungguhan lupa namanya.
Sebelum 13 November 2018, akhirnya saya mengisi formulir yang sayangnya saya lupa ndak screen shoot untuk kenang-kenangan, saking deg-degannya. Sebelum mengisi formulir, saya tentu sudah mencari tahu lebih dahulu mengenai Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC). Sedang untuk Tempo Institute sendiri, saya sudah lama mendengar dan lagi, Tempo itu majalah favoritnya ibu saya.
Persyaratan yang diajukan YSTC dan Tempo tentu saja unik. Peserta harus mengirimkan tautan tulisan atau video yang pernah diunggah sebelum bulan Oktober 2018. Mendadak saya ingat sekitar 200 tulisan yang ada di blog saya sejak 2013 ternyata berguna juga. Saya memahami, agakanya YSTC dan Tempo Instiute menagih konsistensi, meski barangkali bagi calon peserta lain bisa jadi syarat ini ganjil dan menyulitkan.
Sumber: @savechildren_id |
Segera setelah saya mengirimkan tautan tulisan yang salah satunya berjudul Kaos Kaki dari Jenny, berupa cerita keseharian salah satu anak autis kelas inklusi yang ada di SMK saya. Saya juga mengirimkan informasi seleksi ini kepada beberapa teman melalui WA. Tidak lupa juga saya mengunggah posternya di beberapa grup dan story WA. Rata-rata, teman-teman yang saya bagi infonya soal seleksi ini, agak bertanya-tanya soal syarat poin lima. Ya… syarat itu isinya, mengirimkan maksimum 3 link tulisan tentang isu-isu sosial yang diposting sebelum Oktober 2018. Hingga teman dari salah satu grup langsung WA saya, untuk bertanya apa syarat yang satu itu ndak salah tulis. Lha… kan saya bukan panitianya hiks. Bahkan ternyata, seleksi sudah dimulai semenjak calon peserta membaca persayaratannya di poster. Dan lagi, ketika saya selesai mengisi formulir itu… saya sudah jadi pendaftar yang ke 70 sekian hari itu.
Pada 16 November 2018, sore hari ketika saya masih berada di Biara Karmel Regina Apostolorum, Kota Batu. Mbak Dina yang memerkenalkan diri sebagai tim dari YSTC menelepon. Untuk wawancara terkait acara live in, begitu kata mbak Dina mengawali telepon. Buru-buru saya olah kata apapun yang pikir saya paling sopan, agar mbak Dina berkenan menelepon kembali ketika acara yang sedang saya jalani selesai. Waktu itu, memang masih ada acara diskusi bersama Gusdurian Batu di dalam biara, dalam rangka hari toleransi internasional. Saya memahami, kesempatan wawancara ini tidak semua orang bisa dapat dan lagi, orang lembaga seperti YSTC tentu sangat sibuk hingga beberapa menit pun pasti berharga. Kami pun bersepakat untuk melalukan wawancara setidaknya pukul tujuh atau delapan.
Setelah acara selesai, saya justru mengejar mas Haris yang berjalan menuju parkiran. Mas Haris El Mahdi ini rekan saya satu komunitas, sekaligus koordinator Gusdurian Batu. Dia satu-satunya orang yang saya beritahu sejak awal, kalau saya mengikuti seleksi Youth Live In Ideal. Saya langsung bercerita pada mas Haris, bahwa ada orang YSTC menelepon saya untuk wawancara. Sama seperti ucapan saya di WA di hari sebelumnya pada mas Haris, saya bilang sepertinya tidak mungkin lolos, pesertanya sangat banyak. Tapi saya bilang juga, setidaknya saya masih ada pengalamaan wawancara, toh tidak semua orang diwawancara tentunya. Setidaknya ya… saya masih dapat kepastian ketimbang begitu banyak peserta lain, yang bahkan tidak dapat kesempatan wawancara.
Mbak Dina pun kembali mengirim WA kepada saya, isinya bahwa yang menelepon saya selanjutnya bukan dia lagi, tapi tim YSTC juga yang bernama Ria. Wawancara pun berlangsung bersama Ria, yang berikutnya ternyata juga menemani para peserta selama Youth Live In Ideal. Saya minta maaf pada Ria karena sempat menolak telepon mbak Dina, selama masih berada di dalam biara. Wawancara ternyata berlangsung tidak sampai dua puluh menit dan Ria lebih banyak bertanya apa kegiatan saya saat ini dan kiranya saya memiliki halangan untuk hadir dalam serangkaian acara yang 6 hari penuh itu. Tidak lupa, saya bertanya kapan pengumuman peserta lolos akan dirilis. Pertanyaan yang mestinya tidak saya tanyakan karena sudah tertera jelas di poster. Itu semua saking groginya saya dapat wawancara via telepon. Tapi Ria dengan ramah masih bersedia menjawab dan bahkan menawarkan pada saya, inginnya saya bertanya soal apa lagi.
Sayangnya, dua hari kemudian ponsel saya memorinya terlalu penuh menjelang pengumuman. Jadilah notifikasi dari akun instagram YSTC tidak masuk. Justru yang masuk adalah komentar dari adik tingkat saya satu fakultas, Dinda. Dinda mengucapkan selamat dan menyebut saya dalam komentar di bawah poster yang berisi nama-nama peserta yang lolos.
Sumber: @savechildren_id |
Puja kerang ajaib! Saya betul-betul tidak sabar menanti untuk sampai di Bandung. Hingga beberapa hari berikutnya, grup WA berisi para panitia dan peserta pun dibentuk. Saya juga mendapat telepon soal jadwal kereta dan stasiun yang terdekat dari rumah saya. Transportasi dan akomadasi, semuanya betul-betul ditanggung oleh YSTC bersama Tempo Institute.
Pelajaran pertama yang saya dapat justru ketika hari pertama para peserta mengobrol dan berkumpul, usai sampai di penginapan Bumi Makmur yang terletak di Lembang. Para peserta berkumpul di kamar 3211, dimana saya sekamar dengan Opi, salah satu peserta asal Jogja dengan penampilan khas; rambut sambungnya berbentuk gimbal.
Setelah bicara berbagai hal, mbak Dian mulai menceritakan bagaimana 3 orang panitia mesti menelepon 40 orang kandidat peserta yang lolos untuk wawancara. Total calon peserta sendiri ada 120 orang ternyata. Sayangnya, ada salah seorang peserta yang justru dengan nada remeh, memertanyakan apa proses wawancara terebut masih lama. Oh, tentu peserta itu tidak lolos. Mbak Dian bahkan sampai bertanya pada teman-teman satu timnya, barangkali mereka yang justru menelepon si calon peserta tadi di waktu yang tidak tepat. Padahal, tulisan si peserta tadi justru sesungguhnya dijagokan oleh mbak Dian.
Saya tentu tersentak. Meski banyak juga hal dalam diri saya yang mesti diperbaiki, saya merasa cara peserta tadi menaggapi wawancara via telepon, lumayan melukai dan kurang beretika. Banyak sekali calon peserta di luar sana yang bahkan kesempatan wawancara pun mereka tidak dapat. Dan lagi, para panitia tentu sibuk sekali. Manusia yang diurus bukan cuma engkau seorang.
Hingga jelang tidur, kata-kata mbak Dian terus terngiang di kuping saya dan bahkan sempat saya ceritakan ulang di story WA. Oh, jadi selain kemampuan, attitude juga penting ya.
Nilai moral dari tulisan ini, jika kamu laki-laki, jangan koreksi ejaan saya, ketimbang saya menjadikanmu suami impian. Eh, apa sih…
Mbak Dian bersama seluruh peserta di kamar 3211. Sumber: Dokumentasi Pribadi |
#YouthLiveIn
2 comments:
Ya Tuhan, muka saya harus yang itu banget ya, yang dipasang? Ada lho yang agak lebih menjual lho..
Nice posting btw, kakaakkk
Salam kenal, Kak Poppy! Siapa bilang Kakak tak bisa menulis puisi? Setelah usai membaca Menikam Sebab dan artikel ini, saya yakin Kakak mampu mengaggit puisi. Kalimat kakak berima dan penuturan kakak pun rapi. Cocoklah untuk berpuisi.
Btw, moral story dari adalah Attitide Determines Altitude!
Sukses dan sehat selalu ya, Kak.
Post a Comment