Sumber: Gugel |
Di masa itu, ia lagi-lagi menyertai ayahnya mengantar narapidana. Seorang anak lelaki yang usianya sepuluh. Ayahnya terbiasa membawa ia manakala bertugas dan membiarkannya berinteraksi dengan para narapidana yang tengah diantarkan menuju rumah tahanan.
“Ayah menyuruh saya bertanya langsung pada anak itu tentang kasusnya ketika saya penasaran. Bagaimana anak yang sekecil itu bisa jadi narapidana?” ujarnya di depan ratusan pengunjung festival.
Para pengunjung bergemuruh dan saling sahut komentar kemudian, ketika ia bercerita bahwa si anak membunuh seorang lintah darat. Lintah darah itu memukuli neneknya yang berhutang dan sebuah batu dihantamkannya tepat di belakang kepala. Si lintah darat mati, lantas keluarganya menuntut.
Ia bilang, ayahnya berpikiran mengajak si anak makan enak untuk terakhir kalinya. Setidaknya, sebelum makan makanan penjara yang sehari-hari itu. Namun si anak menolak diajak makan. Katanya, dia tidak akan nyaman makan kecuali tahu neneknya juga sudah makan.
“Hukum selalu menuntut bukti dan saksi. Anak itu bersalah karena bukti dan saksi. Tapi ketika kita mengetahui motifnya, demikian membuat kita berpihak bukan?” lanjutnya, disusul tepuk tangan riuh dari para pengunjung.
Tepuk tangan bersahutan makin keras dari sebagian pengunjung, sedang lainnya mulai saling berkomentar, bukannya kasus pembunuhan karena pembelaan diri sebenarnya bisa mendapat keringanan? Bukankah pelaku masih anak-anak? Tapi toh mereka pada akhirnya turut bertepuk tangan juga. Semua terkesima dengan pola pikir yang sungguh menggugah dari ia yang jadi pusat perhatian di atas panggung itu.
Lantas di belahan zona waktu yang lain, dalam detik yang sama. Seorang pria sebaya ia tengah mencekik sang mandor. Mandor itu menolak memberikan gaji dua bulan berikutnya di awal kerja. Sedang si pria sedang terlilit hutang. Seorang lintah darat mengejarnya kemana-mana.
Hampir tiga puluh tahun lalu, mula-mula tangannya merenggut nyawa manusia, seorang lintah darat yang menyiksa neneknya. Sekeluarnya dari penjara, orang-orang menjauhi dia dan para kerabat alergi berat padanya. Pekerjaan kasar yang serabutan hanya mampu memenuhi kebutuhan makannya sehari sekali dan menahun kemudian ia mulai terlilit hutang.
Maka esok hari, ia berencana mencekik pula leher si lintah darat, tidak ada jalan lain. Toh, selama di penjara, ia akan makan lebih teratur dan bebas dari lilitan hutang. Semua bayang rencana itu, berbarengan dengan si mandor yang mulai berteriak dan para kuli juga tukang yang berdatangan. Mereka menarik paksa pria itu dan menyeretnya ke tengah tumpukan besi dan kayu yang terserak. Beramai-ramai pria itu dipukuli.
Tepuk tangan tidak kunjung usai. Sesekali terdengar juga siulan bangga dan meriah dari beberapa orang di barisan belakang. Ia menunduk rendah hati dan tersenyum setulusnya. Sedang pria itu, di belahan zona waktu yang lain tengah meringkuk dan memuntahkan darah berkali-kali. Pikirnya, jika hari itu ia mati tidak mengapa juga. Barangkali di neraka ada nanah mendidih yang mengenyangkan perut dan bisa ia minum tiga kali sehari. Setidaknya, tidak seperti hari-harinya saat ini yang makan sehari sekali saja susahnya setengah mati.
No comments:
Post a Comment