Saturday, February 1, 2020

Profesi Tak Diwariskan dan Mengapa Rian Firmasnyah (Tidak) Mesti Menjadikannya Sebuah Buku

Depan buku. Sumber: Dokumentasi pribadi

Secara personal, Rian Firmansyah memang memiliki pesona. Pesonanya bisa menjerat orang buat sukarela bekerja dengan atau tanpa dibayar. Bahkan tanpa diajak pun, seseorang bisa menyerahkan diri begitu saja buat bekerja bersamanya, bergabung bersamanya. Maka buku ini, saya garis bawahi sebagai karya kolaborasi yang selain hasil kreasi, juga tercipta karena pesona personal seorang Rian. Karena ya, dalam buku ini, terdapat dua orang ilustrator dan seorang tukang kaver yang bergabung dengan sepenuhnya kerelaan hati*. Tidak lupa, pesona ini pula, yang secara alami membentuk pasar pembaca Rian. Jika tidak betul-betul butuh membaca karyanya, seseorang masih punya alasan membeli buku ini karena sosok Rian yang membekas.

Meski memiliki judul Profesi Tak Diwariskan (selanjutnya disebut PTD) yang memberi kesan buku ini sebagai kumpulan esai, nyatanya ada sajian cepen dan puisi yang dibuat berselang-seling di dalamnya. Sebagian tulisan, pernah saya baca di blog Rian memang, karena saya memang mengikuti blognya. Dan cukup membuat mata gatal, ketika Rian ternyata kadung mencetak buku ini dengan hampir seluruh tulisan di dalamnya yang berantakan soal pemenggalan kalimat. Padahal, pada tahun 2018 saya sudah pernah berkomentar di blognya mengenai pemenggalan kalimat ini.

Melalui buku ini, agaknya Rian coba melakukan lompatan soal hobinya menulis. Niatnya hanya mencetak dan bukan memakai kata ‘beli’ melainkan ‘barter karya’, begitu kata Rian. Memerkenalkan karya, dua kata ini saya kira cocok buat menggambarkan mengapa PTD sampai dicetak. Hingga saya ingat, semenjak 2014, saya melakukan pula hal rupa yang bedanya, dicetak sangat terbatas dan dijilid sederhana. Cetakannya juga tidak saya jual, melainkan dibagikan pada beberapa teman saja. Meski pada tahun-tahun berikutnya, biaya cetak yang mahal membuat saya membagikan tulisan dalam bentuk e-book dan berlangsung hingga 2019 lalu.

Langkah Rian strategis memang. Jika blog walking tidak sempat dilakukan di tengah rutinitas kerjanya, maka mencetak dan menyebarkannya bisa menjadi langkah lain untuk mendapat apresiasi, entah dari kawan sendiri maupun pembaca baru. Apresiasi ini bisa dalam bentuk pujian maupun kritik.
Lembar pertama buku. Sumber: Dokumentasi pribadi
Lepas dari konsep yang menarik, bagaimana dengan kualitas tulisan Rian? Selain pemenggalan kalimat dan banyak teknik dasar yang mesti Rian benahi, perkara cara menulis dan cara menganalisa agaknya juga mesti menjadi PR buat Rian. Mari kita bahas satu per satu mulai dari ejaan…

Dalam tulisan Honor, halaman 74, ‘diantara’ semestinya ditulis ‘di antara’. Namun perkara preposisi ‘di’, Rian hampir sangat sedikit melakukan kesalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan, ini murni kecerobohan dan bukannya karena Rian belum mengerti preposisi ‘di’. Kemudian dalam tulisan Isyarat Bunga, halaman 110, terdapat paragraf,‘Pagi harinya, tepat pukul 6.30 WIB. Bersama para peserta dan panitia. Kita sepakat senam pagi bersama. Untuk mengawali kegiatan di hari kedua “Youth Camp” itu.’ Penggunaan sudut pandang ‘saya’ sepanjang tulisan, membuat kata ‘kita’, semestinya diganti menjadi ‘kami’.

Dalam Isyarat Bunga, penulisan judul Youth Camp, dapat pula ditulis tanpa tanda kutip. Jika memang ditujukan menandai judul acara yang tengah diceritakan, penggunaan huruf kapital di awal kata sudah cukup. Bagaimana dengan pemenggalan kalimat? Paragraf ini adalah contoh dari masalah pemenggalan kalimat Rian sepanjang buku dan berulang. Pemenggalan yang tidak tepat, berakibat kalimat jadi nampak tertatih. Pemenggalan yang lebih tepat dapat dilakukan seperti ini,‘Pagi harinya, tepat pukul 6.30 WIB. Bersama para peserta dan panitia, kami sepakat senam pagi bersama untuk mengawali kegiatan di hari kedua “Youth Camp” itu.’

Tidak saya bedah semua ya. Karena ini tugas Rian untuk kembali mengoreksi karya perdananya ini. Apalagi, saya sudah mengingatkannya jauh-jauh hari via blog. Yakin saya, pembaca yang lain pun bisa menemukan masukan serupa. Dan lagi, predikat penulis yang secara umum disemat orang-orang kepada siapa saja yang berani meluncurkan buku, mestinya menjadikan Rian makin semangat menerima semua saran juga menerapkannya.

Oke deh, saya beri bonus dalam tulisan Marah, halaman 153. begini isi paragrafnya,’Ialah Bambang AW. Begitu sapaan akrabnya. Ia dikenal sebagai pelukis, penulis dan dosen tamu di beberapa universitas di Kota Malang. Pria berwajah tenang dan teduh. Pria yang kerap mengenakan sarung motif batik saat santai di rumah itu. Telah mengajakan pada saya, jika pentingnya mengendalikan amarah. Ia mengelola amarah jadi sebuah karya, berhulu rasa melaju ke hilir cipta.’ Sudah menemukan bagaimana semestinya? Coba bandingkan dengan paragraf berikut,’Ialah Bambang AW, begitu sapaan akrabnya. Ia dikenal sebagai pelukis, penulis dan dosen tamu di beberapa universitas di Kota Malang. Pria berwajah tenang dan teduh yang kerap mengenakan sarung motif batik saat santai di rumah itu, telah mengajarkan pada saya, tentang pentingnya mengendalikan amarah. Ia mengelola amarah jadi sebuah karya, berhulu rasa, melaju ke hilir cipta.’


Ilustrasi oleh Domesia. Sumber: Dokumentasi pribadi
Perkara ejaan saya temukan kembali dalam Munir, halaman 192. Terdapat kalimat,’Tetapi aktivis HAM di Indonesia dan mereka yang pernah dibantu oleh Munir, siapa saja mereka? Iya, mereka yang tertindas oleh oleh hukum dan kekuasaan.' Menemukan sesuatu? Betul, Rian menulis huruf kecil setelah tanda tanya. Hal ini berulang di banyak tulisan. Saya tidak tahu apakah memang hal ini dibuat menjadi ciri khas seperti judul satu kata dalam banyak tulisannya. Karena dalam banyak tulisan lain seperti Kado, halaman 120 terdapat kalimat, ‘Apakah semakin banyak OTT dari KPK? Entahlah’ Dan ya, di sana Rian menulis huruf kapital setelah tanda tanya.

Lepas dari kaidah menulis dasar, bagaimana dengan cara menulis Rian dalam buku ini? Kabar baiknya, beberapa tulisan memiliki paket lengkap, yaitu layak jual dan bagus. Beberapa dan tidak banyak…

Jadi mari membahas mulai dari Amy Chua dan Hawkins. Dua tulisan ini mewakili Rian yang gemar menulis hasil pembacaannya atas buku dengan tema tokoh. Layak jual? Tidak. Cukilan buku tidak membawa kebaruan pada pembaca. Bisa jadi, pembaca malah lebih tahu atas kisah para tokoh tersebut dari hasil pembacaannya sendiri. Tulisan jenis ini, patut Rian lanjutkan sebagai bentuk mengabadikan hasil pembacaan, tapi hanya untuk di blog, semoga tidak lagi untuk dijual.

Bagaimana menyiasati hasil pembacaan agar layak jual? Bentuknya dapat diubah menjadi resensi yang lebih analitis. Analitis bukan berarti Rian mesti memaksa memakai teori. Karena kesederhanaan sudah jadi mereknya Rian, memahami hubungan sebab akibat atau menghubungkan isi buku dengan dunia nyata, sudah cukup.

Puisinya bagaimana? Pertama, saya tidak bisa bikin puisi dan hanya bisa membedakan baik dan kurang baiknya. Intinya, puisi-puisi dalam buku Rian bukannya baik atau kurang baik namun… biasa saja. Bagi yang lebih memahami soal puisi, boleh ini dibahas lebih jauh agar jadi masukan untuk karya-karya Rian berikutnya.


Ilustrasi oleh Unartifisial. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Cerpen? Hanya ada satu cerpen yang mewakili merek sederhananya Rian dan cukup mengena, judulnya Indoktrinasi Pak Lurah. Jika dibanding cerpen-cerpen lain dalam PTD, Indoktrinasi Pak Lurah memiliki paket lengkap; kesederhanaan, penokohan kuat, jalan cerita yang runut, kejutan dan nilai moral. Formasi paket lengkap ini agaknya memang hal-hal yang ingin dicapai Rian dan terlihat dari pola-pola cerpennya yang lain, meski ya, hanya pada satu cerpen saja nilai-nilai tadi ternyata bisa dicapai.

Esainya? Sebagai bocoran, buku ini lebih banyak memuat esai. Format esai Rian kebanyakan digugah oleh hasil pembacaannya terhadap buku, lantas dihubungkannya dengan kejadian di sekitarnya. Menarik? Ya. Format demikian bisa membawa kebaruan pada pembaca. Ketika buku yang serupa bisa dibaca oleh siapa saja dan bisa jadi, pembaca lain malah lebih menguasai isi buku tersebut ketimbang si penulis esai, namun keberadaan pengalaman nyata, membuat kebaruan pengetahuan bagi pembaca. Meski sayangnya, Rian sendiri agaknya belum mantap dengan format seperti ini.

Dalam esai berjudul Honor misalnya, Rian lebih banyak memamerkan pengetahuannya akan buku bacaan. Sempat memang ia coba menghubungkan dengan pengalaman nyata, namun pada akhirnya, ia tetap lebih banyak memamerkan pengetahuannya akan buku. Padahal, bahasan mengenai guru honorer dalam esai ini sesungguhnya menarik. Rian memang cukup apik dalam penggalian tema. Tapi pada akhirnya, pengalaman nyata yang semestinya lebih membawa kebaruan pengetahuan, justru hanya ada 15% dalam keseluruhan tulisan. Format tulisan semacam Honor ini, juga terulang dalam banyak esai lain dalam PTD, Summerhill School salah satunya.

Dalam satu esai, apabila seorang tidak benar-benar memiliki bacaan sangat luas, satu atau dua kutipan dari buku saja sebenarnya sudah cukup. Kemudian porsi lainnya diisi apa? Pengalaman nyata yang berkaitan dengan kutipan buku. Pengalaman ini tidak melulu harus dialami sendiri, bisa juga dari pengalaman orang lain, hasil membaca blog orang atau pemberitaan dari media massa yang porsinya belum masif.

Rian mesti menghentikan keraguannya dalam menulis esai. Sekali lagi, kesederhanaan adalah mereknya. Tanpa setumpuk bahan bacaan yang orang lain bisa jadi ternyata lebih tahu, esai karyanya akan tetap bisa mendalam. Bahkan saya justru melihat Sarehan, sebagai salah satu dari tidak banyak tulisan bagus dalam PTDnya Rian ini. Meski ya, relatif untuk tulisan satu ini bisa disebut layak jual.

Bagaimana Sarehan bisa disebut bagus? Tidak ada penyebutan hasil pembacaan buku atau artikel dalam tulisan ini yang sepertinya malah membuat Rian lebih menikmai proses menulisnya. Kisahnya yang sangat dekat dengan sisi personal Rian justru menyentuh ketika dibalut penyampaian yang sederhana, tanpa istilah sukar. Meski Sarehan, minus dalam penulisan dialog langsung yang dicetak miring dan juga diulang Rian dalam tulisan-tulisannya yang lain. Mau dibilang cara menulis dialog macam ini sebagai ciri khas? Lagi-lagi dalam banyak tulisan yang lain lagi, dialog langsung ditulis tegak oleh Rian. Namun lebih dari semua itu, persoalan kesepian ternyata tetap bisa mendalam dalam Sarehan, meski tanpa kutipan berat dari buku atau tokoh. Layaknya, Rian menggali lagi tema dan cara menulisnya yang serupa Sarehan.


Belakang buku. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Berikutnya Inlander, Masakan dan Isyarat Bunga. Ketiganya hampir bisa disebut layak jual, selain bagus. Inlander menyajikan hasil pembacaan buku dan kenyataan yang cukup seimbang. Esai ini menyajikan pembacaan buku dan kenyataan dengan berselang-seling. Rian tidak hanya menyajikan pengalamannya sendiri, namun juga teman sekitarnya. Serupa dengan Sarehan, Rian layak menggali lagi gaya menulisnya yang serupa Inlander ini. Selain sajian pembacaan yang lengkap, tulisan ini juga menunjukkan analisa hubungan sebab dan akibat yang apik. Dan lagi, analisa ini ditulis di akhir esai, menjadi pungkasan yang membuat esai jadi lebih tajam.

Masakan menjadi tulisan cukup apik berikutnya. Hasil pembacaan Rian akan teks dan pengalaman nyata disajikan lengkap. Meski sayangnya, hasil pembacaan teks lebih dominan disajikan. Bagi seseorang yang lebih menguasai tema dari hasil pembacaan teks yang disajikan Rian, tentu tidak akan merasa sayang apabila langsung saja lompat halaman. 

Terakhir, Isyarat Bunga. Serupa Sarehan, tulisan ini menyajikan pengalaman nyata Rian. Tidak ada hasil pembacaan buku disisipkan di sana. Hubungan sebab dan akibat disajikan menarik dan pembaca, sekalipun lebih menguasai tema inklusi seperti yang diangkat dalam tulisan ini secara teori, yakin saya tidak akan rela lompat halaman karena pengalaman nyata yang disajikan Rian belum tentu dialami pula oleh pembaca. Dari pembahasan singkat ketiga tulisan yang pikir saya cukup apik ini, Rian semestinya mulai bisa mantap membawa karakter menulisnya ke arah mana.


Samping buku. Sumber: Dokumentasi pribadi
Semoga dengan upayanya memerkenalkan karya dalam bentuk buku ini, Rian bertemu banyak pengalaman dari kritik dan saran yang masuk. Semoga juga, ia menemukan teman-teman baru di luar mereka yang menganggap karyanya tanpa cela. Semua ini, mesti bakal berrguna bagi berkembangnya karya Rian selanjutnya.

PTD, menunjukkan keingintahuan besar Rian terhadap banyak sekali bidang, dari pendidikan, seni hingga sastra. Mengenai keluasan rasa ingin tahunya ini, Rian punya sikap cerdik untuk membaca buku yang mana dan mengunjungi teman atau tokoh siapa untuk belajar. Rian ini juga sangat peka untuk menyeleksi bacaan mana yang bermanfaat dan teman mana yang bermanfaat, eh. Sebelum saya mengakhiri resensi ini, ijinkan saya mengatakan bahwa… karya perdana Rian ini cukup tahu diri untuk tidak berISBN.

Judul : Profesi Tak Diwariskan (Kumpulan Catatan)
Penulis : Rian Firmansyah
Ilustrator sampul: Unartifisial dan Domesia
Rancang sampul : Riza Ilmana
Jenis kaver : Kaver keras
Jumlah halaman : 266
Cetakan : 2019
ISBN : -

Catatan: 
*Mengenai konsep dan ilustrasi yang menarik, akan saya bahas dalam tulisan lain. Perkara konsep ini, membuat saya berani merekomendasikan Unartifisial, Domesia dan Riza untuk kerja bareng secara profesional dengan kalian. Mereka dibayar secara profesional oleh Rian.

*Edit Jumat, 30 Februari 2021
Ada nama yang terlanjur saya sebut dalam tulisan, ternyata tidak memiliki perspektif korban ketika ada kasus kekerasan seksual (KS). 

Untukmu yang terlanjur melihat nama tersebut di sini dan terpantik, saya mohon maaf. Namun tulisan ini tidak akan dihapus karena sebagai pengingat. Akan tetapi dengan ini, saya menyatakan selanjutnya tidak akan mendukung karya yang bersangkutan dalam bentuk apapun.

2 comments:

Layu Arum said...

Ini rian yang.....itu ya

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Iya, Rian sing itu, Af. Tapi aku lupa apa kalian sudah pernah jumpa.