Sumber: Gugel |
Dimuat dan dapat dibaca di Empuan.id
Ruang perawatan bayi selalu berisik ketika lewat tengah malam. Sayangnya, orang-orang tidak pernah mendengar setiap bisik dan jeritan yang saling balas dari kami, para bayi dalam kotak-kotak kecil berisi kasur hingga inkubator.
Ruang perawatan bayi selalu berisik ketika lewat tengah malam. Sayangnya, orang-orang tidak pernah mendengar setiap bisik dan jeritan yang saling balas dari kami, para bayi dalam kotak-kotak kecil berisi kasur hingga inkubator.
Hari ini, teman kami Petra kembali setelah sebelumnya diadopsi bos pabrik kretek besar selama sehari. Ya, kami sepakat memanggilnya Petra, setidaknya sampai ibu dan bapak barunya memberi nama lain.
“Mereka baru sadar kaki saya melengkung. Jadi bapak dan ibu baru saya itu, mengembalikan saya kemari. Si Rahmad yang gemuk dan berkaki lurus, menggantikan posisi saya pagi ini.” Ucap Petra datar.
Bagi kami yang tidak berbapak dan beribu, cerita-cerita semacam milik Petra adalah hal biasa. Pernah pula, teman kami Putri dikembalikan ke rumah sakit karena orang tua barunya menyadari, ada selaput putih tipis di mata kirinya. Petra dan Putri adalah cacat. Dan bagaimana jika benar mereka cacat hingga dewasa dan tidak bisa menanggung masa tua bapak dan ibu yang mengadopsi?
Lain Putri, lain pula Kartika. Lahir dengan bobot di atas rata-rata dan kulit merah muda, tiga calon orang tua langsung merubungnya di hari yang sama. Dan lagi, orang tua Kartika meninggalkannya di rumah sakit karena keadaan tidak berpunya dan kelahirannya pun di dalam nikah.
Bagus yang tidak kunjung keluar dari inkubator, hanya mampu berkedip pelan, menanggapi segala obrolan kami yang berisik lewat tengah malam. Ia beda cerita lagi dengan kami semua di sini. Bagus memiliki ayah dan ibu yang memang melahirkannya prematur. Mereka tentu akan segera membawa ia pulang, sekeluarnya dari inkubator. Ayahnya pun kerap memandanginya dari kaca besar yang membatasi ruang kamar. Mata berkaca-kaca ayahnya itu, membuat kami selalu saling berteriak, menyemangati Bagus agar segera sehat dan keluar dari inkubator.
Dan hari itu, pasangan suami istri berpenampilan bersih, mencari anak perempuan buat diadopsi. Ini sudah yang keempat kali, semenjak saya berada dalam ruangan ini. Bersama perawat, pasangan suami istri empat puluhan itu berkeliling dalam kamar. Penampilan saya yang tidak kalah menarik dibanding Kartika, membuat mereka menoleh. Saya diangkat si istri dengan penuh kasih kemudian.
Namun, ketika si suami berbisik pada perawat tentang asal usul saya dan si perawat menjelaskan, si istri memandang dengan kecewa lantas kembali meletakkan saya di atas kasur. Si perawat mengalihkan pilihan pada Putri dan pasangan itu setuju.
Ya, meski cacat. Bayi-bayi yang lahir dari pasangan dalam nikah, jauh lebih diinginkan ketimbang saya. Saya yang lahir dari pasangan di luar nikah. Dan bagaimana jika ketika dewasa, saya kemudian mengulangi lingkaran setan hamil di luar nikah, lantas membikin malu orang tua yang mengadopsi?
No comments:
Post a Comment