Sumber: Gugel |
Ada darah yang pelan-pelan merekah tepat di antara kedua mata saya. Rekahnya tentu karena perempuan muda di hadapan saya itu, membaca asma-asma gusti pengeran. Sebentar kemudian, perempuan itu mendekat beberapa senti dari wajah saya dan dia tanya,”Seandainya saya sengsara, kamu sedih atau bahagia?”
Belakang leher saya meremang, dingin berganti panas dan panas berganti dingin. Ada tubuh lain yang melesak masuk, membikin saya ingin menjawab, senang saja tuh kalau kamu sengsara...
Sekali lagi, perempuan itu menyebut asma-asmanya gusti. Allah hyang maha agung... Allah hyang maha rohim... Allah hyang maha adil...
Ganti jantung saya yang meremang. Dingin berganti panas dan panas berganti dingin. Hingga debaran berdetak kian kencang dan yakin saya, perempuan itu pula mendengarnya. Ada sesuatu yang jauh lebih kecil dan letaknya juga dalam dada, berdenyut nyeri. Belakangan saya mengenalinya sebagai nurani. Di dalam sana, ada sesuatu yang menjerit dan berkata, saya tentu sedih ketika kamu sengsara...
Perempuan itu lama-lama menatap kedua mata saya, cukup dekat andai saya bisa menyambar bibirnya. Namun badan ini justru gemetaran dan ada kaca tebal tidak terlihat yang membuat mata begitu pedih ketika menatap wajahnya. Jadilah saya bicara sambil menunduk dan menoleh ke arah lain ketika perempuan itu terus memandanfi muka saya. Dan lagi, si tubuh lain suaranya jauh lebih keras ketimbang sesuatu yang sangat kecil dan namanya nurani itu.
Maka lusa atau keesokan harinya, saya berencana mencegat perempuan itu dan menjagalnya hingga mati...
No comments:
Post a Comment