Sumber: Gugel |
Agustus 2020
lalu, Gofar Hilman menjadi olok-olok di Twitter setelah mempromosikan UU Cipta
Kerja. Ada yang mengolok idealisme yang selama ini ia tunjukkan hancur setelah
butuh uang, hingga mengolok ideologi punk yang katanya ia usung. Gofar Hilman
pun memohon maaf dan mengaku tawaran tersebut ia terima murni karena
ketidaktelitian.
Apa saya
ikut mengolok Gofar Hilman? Ya, gimana ya. Mau mengolok sungkan juga karena faktanya,
pernah juga saya nggak teliti menyeleksi sebuah tawaran.
Jadi seorang
teman mengajak saya mengisi acara di Malang kota 2019 lalu. Temanya soal
perempuan, dua pengisi acara yang lain pun tenaga profesional yang tidak tergabung
dalam organisasi berbau politik mana pun. Satu orang model sekaligus make up
artis, sedang satu lagi personal trainer sekaligus pakar public
speaking. Si personal trainer ini lebih dahulu saya ketahui sepak
terjangnya, posisi kampus kami juga dekat.
Sosial media
komunitas tersebut kemudian mengikuti akun saya dan jumlahnya dua; pertama,
markas komunitas dan kedua, komunitas itu sendiri. Ketika saya klik akun sosial
media mereka ya... memang komunitas tersebut sering mengadakan acara
pengembangan diri dan markasnya di sebuah tempat makan cepat saji. Dari
dokumentasinya pun, personal trainer yang sudah lebih dahulu saya
ketahui sepak terjangnya itu ternyata sering mengisi acara di sana.
Tapi ketika
poster sudah perjalanan dibuat, teman saya yang menawari itu WA lagi. Isinya
ternyata laporan keuangan komunitas tersebut dan sebuah pesan permintaan maaf
jika lokasi acara komunitas itu ternyata milik orang partai. Teman saya ini
memeringkatkan kalau mungkin di sana bakal ada bau-bau kegiatan politiknya.
Tapi ya sudah deh, saya sudah terlanjur mengiyakan dan memang berniat cari
pengalaman baru apapun bentuknya itu.
Mau tahu isi
laporan keuangannya? Yang paling saya ingat sih, setiap pemateri mendapat
alokasi seratus lima puluh ribu untuk souvenir. Lalu peserta dikenakan tiket
dua puluh ribu per orang. Pokoknya total biaya dari pengadaan acara itu sampai
jutaan.
Singkat
cerita, acara berlangsung. Ternyata pemilik markas dan komunitas adalah
perempuan berusia lima puluhan, sebaya ibu saya. Malam itu, ia memakai dress
putih, celana tiga per empat dan sepatu kets sewarna, kostum yang seolah
menegaskan, ini lho saya yang paling ngerti milenial. Sempat juga ia
turut berbicara di akhir acara, meski nggak ada ucapannya yang ada bau-bau
partai. Saat itu dia hanya mengulas materi acara dari awal hingga akhir.
Ya, usai
acara juga si ibu partai ini tanya nama pengguna sosial media para pemateri dan
mengikuti akun kami. Sesama pemateri pun saling bertukar nama pengguna dan
mengikuti sosial media masing-masing.
Eh, lha tapi
ternyata kami dapatnya ucapan terimakasih dan menu makanan paling murah di
lokasi acara yang tempat makan cepat saji itu. Nggak ada sertifikat, uang
transport apalagi. Sudah begitu, sehari setelah acara, ada teman dari Gusdurian
WA saya. Anak ini dikenal suka bisnis memang, jadi jika ada seminar-seminar
dari lembaga tertentu begitu dia seksi cari-cari peserta. Jadi, nggak heran
lingkaran pertemanan si teman ini sampai ke orang-orang parpol juga.
Yang bikin
nggak nyaman itu ya, foto kami mengisi acara ternyata dipakai dan disebar untuk
kampanye kemana-mana dan teman saya ini yang bilang. Tjuy, bayangkan... Kamu mula-mula
mengira hendak mengisi acara di komunitas belajar biasa, kemudian justru tahu
isi laporan keuangannya, tapi datang hanya diberi menu termurah lalu fotomu
disebar untuk pencalonan ibu tersebut jadi caleg. Partainya? Ternyata betulan
partai yang konsepnya ‘anak muda’ banget itu.
Bahkan anak
HMJ kampus dan unit aktivitas lebih menghargai tenaga manusia meski nggak punya
dana. Mereka dengan terus terang akan bilang tema dan sasaran acaranya apa dan
siapa. Mereka pula yang terang-terangan bilang nggak ada dana untuk transport
tapi masih berusaha memberi hidangan terbaik dalam bentuk kue dan minuman, juga
sertifikat yang dibingkai cantik. Bukan soal harganya ya tjuy, tapi kejujuran
dan menghargai tenaga sesama manusia itu lho.
Saya masih
bersyukur, oleh si pembuat poster yang entah siapa itu nama saya hanya ditulis
blogger dan satu lagi predikat, pokoknya bukan Gusdurian. Lha, kalau ditulis
Gusdurian ya menangis dong saya. Gusdurian nggak boleh ikut politik praktis.
Ya, memang saya nggak ikut, tapi mengisi acara yang ternyata ditujukan untuk
politik praktis kan jadinya saudaraan.
Lalu kabar
baiknya, ibu tersebut gagal di pencalegan. Di Instagramnya, beliau mengunggah
foto surat pengunduran dirinya dengan caption yang intinya marah karena
partai sudah nggak bisa mewadahi idealismenya. Hehe... Iya, idealismenya.
Setelahnya, saya
putuskan unfollow dua akun komunitasnya. Selanjutnya, agaknya saya juga bakal
unfollow akun ibu tersebut. Seram juga soalnya, jika terus berhubungan
dengan orang-orang yang mau keuntungan sebanyak mungkin dengan modal sedikit
mungkin, nggak jujur pula.
Khawatirnya juga, kejadian saya mengira komunitas tersebut kredibel gara-gara melihat si anak kampus sebelah terlihat bergiat di sana, terjadi juga pada teman-teman yang lain. Bisa jadi teman-teman mengira komunitas tersebut kredibel karena melihat profil saya yang selama ini hanya dekat dengan komunitas non profit kok ternyata pernah mengisi acara di sana, bahkan saling follow juga.
Ya gimana
ya, mau hujat Gofar Hilman juga saya sendiri punya dosa. Bedanya, bung Gofar
sejak awal kesepakatannya kegiatan bisnis, sedang saya dan teman-teman yang
terjebak komunitas ibu partai tersebut kesepakatannya kegiatan sosial. Tapi
tidak ada salahnya juga sama-sama lebih teliti di hari berikutnya.
Doa saya hingga
hari ini hanya satu, semoga ibu tersebut bisa menemukan partai baru yang sesuai
dengan idealismenya.
Ehe.
*Ditulis bulan September 2020, lalu lupa upload.
Jadi mikir untuk mulai foto dengan orang-orang lintas parpol lalu diunggah di tulisan ini buat koleksi. Bolehlah ini jadi capaian hidup.
Catatan:
Beberapa waktu setelah tulisan ini diunggah, salah satu publik figur yang disebut dalam tulisan ini viral di Twitter sebagai pelaku kekerasan seksual. Tulisan ini tidak akan dihapus karena sebagai pengingat.
No comments:
Post a Comment