Tuesday, May 4, 2021

Begini Rasanya Jadi Pengisi Acara Parpol


Sumber: Gugel


Agustus 2020 lalu, Gofar Hilman menjadi olok-olok di Twitter setelah mempromosikan UU Cipta Kerja. Ada yang mengolok idealisme yang selama ini ia tunjukkan hancur setelah butuh uang, hingga mengolok ideologi punk yang katanya ia usung. Gofar Hilman pun memohon maaf dan mengaku tawaran tersebut ia terima murni karena ketidaktelitian.

Apa saya ikut mengolok Gofar Hilman? Ya, gimana ya. Mau mengolok sungkan juga karena faktanya, pernah juga saya nggak teliti menyeleksi sebuah tawaran.

Jadi seorang teman mengajak saya mengisi acara di Malang kota 2019 lalu. Temanya soal perempuan, dua pengisi acara yang lain pun tenaga profesional yang tidak tergabung dalam organisasi berbau politik mana pun. Satu orang model sekaligus make up artis, sedang satu lagi personal trainer sekaligus pakar public speaking. Si personal trainer ini lebih dahulu saya ketahui sepak terjangnya, posisi kampus kami juga dekat.

Sosial media komunitas tersebut kemudian mengikuti akun saya dan jumlahnya dua; pertama, markas komunitas dan kedua, komunitas itu sendiri. Ketika saya klik akun sosial media mereka ya... memang komunitas tersebut sering mengadakan acara pengembangan diri dan markasnya di sebuah tempat makan cepat saji. Dari dokumentasinya pun, personal trainer yang sudah lebih dahulu saya ketahui sepak terjangnya itu ternyata sering mengisi acara di sana.

Tapi ketika poster sudah perjalanan dibuat, teman saya yang menawari itu WA lagi. Isinya ternyata laporan keuangan komunitas tersebut dan sebuah pesan permintaan maaf jika lokasi acara komunitas itu ternyata milik orang partai. Teman saya ini memeringkatkan kalau mungkin di sana bakal ada bau-bau kegiatan politiknya. Tapi ya sudah deh, saya sudah terlanjur mengiyakan dan memang berniat cari pengalaman baru apapun bentuknya itu.

Mau tahu isi laporan keuangannya? Yang paling saya ingat sih, setiap pemateri mendapat alokasi seratus lima puluh ribu untuk souvenir. Lalu peserta dikenakan tiket dua puluh ribu per orang. Pokoknya total biaya dari pengadaan acara itu sampai jutaan.

Singkat cerita, acara berlangsung. Ternyata pemilik markas dan komunitas adalah perempuan berusia lima puluhan, sebaya ibu saya. Malam itu, ia memakai dress putih, celana tiga per empat dan sepatu kets sewarna, kostum yang seolah menegaskan, ini lho saya yang paling ngerti milenial. Sempat juga ia turut berbicara di akhir acara, meski nggak ada ucapannya yang ada bau-bau partai. Saat itu dia hanya mengulas materi acara dari awal hingga akhir.

Ya, usai acara juga si ibu partai ini tanya nama pengguna sosial media para pemateri dan mengikuti akun kami. Sesama pemateri pun saling bertukar nama pengguna dan mengikuti sosial media masing-masing.

Eh, lha tapi ternyata kami dapatnya ucapan terimakasih dan menu makanan paling murah di lokasi acara yang tempat makan cepat saji itu. Nggak ada sertifikat, uang transport apalagi. Sudah begitu, sehari setelah acara, ada teman dari Gusdurian WA saya. Anak ini dikenal suka bisnis memang, jadi jika ada seminar-seminar dari lembaga tertentu begitu dia seksi cari-cari peserta. Jadi, nggak heran lingkaran pertemanan si teman ini sampai ke orang-orang parpol juga.

Yang bikin nggak nyaman itu ya, foto kami mengisi acara ternyata dipakai dan disebar untuk kampanye kemana-mana dan teman saya ini yang bilang. Tjuy, bayangkan... Kamu mula-mula mengira hendak mengisi acara di komunitas belajar biasa, kemudian justru tahu isi laporan keuangannya, tapi datang hanya diberi menu termurah lalu fotomu disebar untuk pencalonan ibu tersebut jadi caleg. Partainya? Ternyata betulan partai yang konsepnya ‘anak muda’ banget itu.

Bahkan anak HMJ kampus dan unit aktivitas lebih menghargai tenaga manusia meski nggak punya dana. Mereka dengan terus terang akan bilang tema dan sasaran acaranya apa dan siapa. Mereka pula yang terang-terangan bilang nggak ada dana untuk transport tapi masih berusaha memberi hidangan terbaik dalam bentuk kue dan minuman, juga sertifikat yang dibingkai cantik. Bukan soal harganya ya tjuy, tapi kejujuran dan menghargai tenaga sesama manusia itu lho.

Saya masih bersyukur, oleh si pembuat poster yang entah siapa itu nama saya hanya ditulis blogger dan satu lagi predikat, pokoknya bukan Gusdurian. Lha, kalau ditulis Gusdurian ya menangis dong saya. Gusdurian nggak boleh ikut politik praktis. Ya, memang saya nggak ikut, tapi mengisi acara yang ternyata ditujukan untuk politik praktis kan jadinya saudaraan.

Lalu kabar baiknya, ibu tersebut gagal di pencalegan. Di Instagramnya, beliau mengunggah foto surat pengunduran dirinya dengan caption yang intinya marah karena partai sudah nggak bisa mewadahi idealismenya. Hehe... Iya, idealismenya.

Setelahnya, saya putuskan unfollow dua akun komunitasnya. Selanjutnya, agaknya saya juga bakal unfollow akun ibu tersebut. Seram juga soalnya, jika terus berhubungan dengan orang-orang yang mau keuntungan sebanyak mungkin dengan modal sedikit mungkin, nggak jujur pula.

Khawatirnya juga, kejadian saya mengira komunitas tersebut kredibel gara-gara melihat si anak kampus sebelah terlihat bergiat di sana, terjadi juga pada teman-teman yang lain. Bisa jadi teman-teman mengira komunitas tersebut kredibel karena melihat profil saya yang selama ini hanya dekat dengan komunitas non profit kok ternyata pernah mengisi acara di sana, bahkan saling follow juga.

Ya gimana ya, mau hujat Gofar Hilman juga saya sendiri punya dosa. Bedanya, bung Gofar sejak awal kesepakatannya kegiatan bisnis, sedang saya dan teman-teman yang terjebak komunitas ibu partai tersebut kesepakatannya kegiatan sosial. Tapi tidak ada salahnya juga sama-sama lebih teliti di hari berikutnya.

Doa saya hingga hari ini hanya satu, semoga ibu tersebut bisa menemukan partai baru yang sesuai dengan idealismenya.

Ehe.

 

*Ditulis bulan September 2020, lalu lupa upload. 

Jadi mikir untuk mulai foto dengan orang-orang lintas parpol lalu diunggah di tulisan ini buat koleksi. Bolehlah ini jadi capaian hidup.

Catatan: 

Beberapa waktu setelah tulisan ini diunggah, salah satu publik figur yang disebut dalam tulisan ini viral di Twitter sebagai pelaku kekerasan seksual. Tulisan ini tidak akan dihapus karena sebagai pengingat.

No comments: