Sumber: Seni Mencintai halaman 68 |
Waktu
kecil, kita dijejali bahwa cinta bentuknya pasti lelaki dan perempuan,
berlarian di taman, berciuman, lalu menikah dan bahagia selamanya.
Waktu
remaja, kita bilang ciye pada siapapun lelaki dan perempuan yang nampak duduk
berdua saja, seolah sudah pasti mereka sepasang kekasih.
Waktu
dewasa, kita mengasihani orang-orang yang usianya 25 tahun atau lebih tapi
tidak kunjung menikah, seolah mereka tidak buru-buru menjemput yang namanya
bahagia.
Erich
Fromm bilang, objek cinta ada lima; cinta diri, cinta keibuan, cinta Tuhan,
cinta persaudaraan dan cinta erotis.
Tiga
paragraf pertama tadi, objek cinta erotis, yang eksklusif antara dua orang
saja. Barangkali ada yang menyebutnya pacaran, ada juga yang menyebutnya
pernikahan.
Dan
ini kisahnya A, dia suka bidang bahasa namun mengiyakan saja ketika keluarga
menyuruhnya masuk ekonomi. Bidang bahasa hanya membawanya jadi guru, begitu
nasihat yang ia terima.
Ia
pilih tidak ngotot masuk bahasa, tidak juga mencari seberapa besar potensinya
di sana dan peluang apa yang bisa diciptakan sendiri.
Hari-harinya
berat karena jurusan ekonomi membuatnya banyak berhitung. Hitung-hitungan
ternyata tidak seringan bahasa dalam kepalanya.
Lalu
A masuk english club. Dengan cepat ia didapuk jadi pemateri karena kemampuannya
dianggap lebih. Kemudian ia merasa bosan, tidak ada lagi jenjang kemana pun
setelah jadi pemateri.
Teman-teman
menyarankannya ikut MUN. Tapi ketika ia coba masuk, hal yang dipelajari katanya
terlalu luas, jadi dia mundur. Tidak ada english club, tidak ada MUN, lalu ia
bertemu kekasih yang tumpuan objek cintanya sama.
Bagi
A, bertukar kata cinta tidak serepot memberi argumentasi pada keluarga soal
lebih suka bidang bahasa, tidak juga serepot pindah dari english club ke MUN.
Hanya ada mereka, tanpa pertanyaan siapa diri, siapa Tuhan. Tanpa keluarga,
teman, hobi, komunitas dan tujuan hidup.
Ketika
mereka sibuk hanya berdua saja, ada teman-teman kita yang lain, sibuk mencoba
satu UKM ke UKM lain di kampus, mencari mana yang paling pas. Ada juga yang
belajar membaca kitab, mulai bertanya apa benar ingin menganut agama yang
tertera di KTP. Ada juga yang membawa kotak di perempatan, menyanyi dan orasi
untuk korban bencana alam.
Kemudian
kekasih A pergi, dengan lelaki lain yang punya objek cinta erotis yang ia cari;
pernikahan. Pacaran tidak lagi membuatnya aman ternyata.
A
seperti dirampas sayapnya. Ia baru sadar tumpuannya hanya si kekasih. Ia tidak
kenal siapa dirinya, apa yang ia ingin dalam hidup, hal apa yang bisa
dikembangkan dalam karirnya.
Pergi
kerja pagi, pulang petang, tanpa ada lagi si kekasih, satu-satunya orang yang
bisa diajak mengobrol. Tidur di kostan di akhir pekan, tanpa hobi yang menanti.
Ia juga baru sadar, tidak satu pun tetangga kost dikenalnya.
Tuhan
bahkan terkekeh melihatnya menangis sesak sambil berkata,”Ngobrol denganku kan
sebenarnya bisa...”
No comments:
Post a Comment