Karina
pulang larut hari ini. Di antar pria yang kiranya seusia dia, sembilan belas
tahun. Ia tiba depan rumah dengan jaket sangat tebal. Di lambaikan tangan kanan
Karina manakala pria itu beranjak menjauh bersama motornya dari tempat Karina
berdiri.
Sesegera
mungkin Karina merogohi saku jaket tebalnya untuk mencari kunci dengan helm
hitam yang tetap menggagah di kepalanya. Bertemu kunci yang ia cari, Karina
memasukkan anak kunci ke lubang kunci pintu ruang tamu, ia masuk ke dalam rumah.
Tak
tahu Karina, dua pasang mata intai dia dari rumah di ujung gang. Dua pasang
mata itulah yang saling berbisik, membekap mulutku, menarik tubuhku kemudian
memasukkan aku di antara ketiak mereka biar berhenti aku meronta.
Pagi
hari, di keluarkannya aku dari ketiak mereka. Tubuhku sudah lemas. Aku di
dudukkan di pinggiran kasur. Mereka menjambaki rambutku, mengaitkan pita- pita
kawat di seluruh kepalaku. Di bedaki mukaku dengan bedak sangat putih hingga
tak tampak muka asliku. Tak lupa, mereka oles perona bibir merah darah
bersamaan pula dengan perona pipi warna oranye menyala. Mereka tersenyum-
senyum tak tahan rasanya mereka mengarak aku keliling kampung depan orang-
orang.
Berdua
mereka meninggalkan aku di pinggiran kasur. Tak lama, mereka kembali lagi. Di
copotinya seluruh pakaianku. Telanjang aku dengan riasan tebal di muka. Aku diam
di
pinggiran kasur. Ingin menangis. Tapi sayang aku seperti tak punya anugrah
bisa keluarkan air mata.
Mataku
yang terasa tebal akibat bedak yang menindih seluruh mukaku membuatku baru
sadar bahwa dua orang itu adalah dua wanita bertubuh tambun dengan baju terusan
panjang sekenanya. Satu seperti ibu muda, satu lagi nenek tua.
Ibu
muda keluar dengan menggelung rambut panjang berminyaknya ke belakang. Kasar ia
gesekkan anak kunci pada lubang kunci ruang depan. Ia keluar sambil menenteng
dompet yang besarnya tiga kepalan tangannya.
Tangan
keriput nenek tua mendorong tubuh kurusku menyusul langkah si ibu muda. Aku
besusaha meraih tangan ibu tua kemudian menggigitnya, tapi jitakan berkali-
kali di kepalaku bikin aku menyerah juga.
Riuh
suara terkikik sejumlah ibu yang mengerumuni gerobak sayur depan rumah para
penyiksaku. Badan kecilku yang sawo matang, di bawa ibu tua ke atas gerobak
sayur. Tak indah muka dan badanku di pandang barangkali waktu itu. Kulit
tubuhku yang warna sawo matang mesti di adu dengan riasan warna putih di
mukaku.
“Karina
pulang larut sekali semalam. Dia di antar pria ,” ibu muda mengawali
percakapan.
“Ah
masa?. Aku kira dia gadis pendiam yang tidak neko- neko ,” ibu berambut sebahu
menyahut sambil jari- jarinya memasukkan kepingan kerupuk ke dalam kantong
kresek.
“Ah,
bu RT ini. Saya dan anak saya lihat sendiri malam itu lewat jendela kamar ,”
ibu tua mencubit pahaku manakala aku hendak buka mulut. Aku diam menahan sesak
di dada.
“Diam-
diam bikin hanyut itu si Karina ,” ibu berkerudung merah jambu seperti
mengamini arah pembicaraan ibu tua dan putrinya.
“Sopan
sih. Tapi ya, luarnya saja tuh sepertinya. Hahaha ,” Ibu berambut keriting panjang
menambahkan pewarna kelopak mata warna hijau tua di mukaku.
“Ah,
saya sih belum percaya. Bisa saja Karina pulang malam karena suatu alasan,
bukan karena dia macam- macam ,” wanita yang di panggil- panggil bu RT
menghapus perona mata itu di mukaku. Aku tersenyum padanya. Dia penyelamat atas
rasa maluku.
“Yah.
Ada benarnya juga. Karina begitu sopan, dia jarang keluar rumah kecuali
keperluan mendesak ,” ibu kerudung merah jambu melepas satu kawat di rambutku.
“Mereka
kelihatan mesra sekali malam itu. Apa itu bukan tanda? ,” ibu tua mengoles
perona kelopak mata warna oranye kali ini. Aku menjerit. Di jitaknya kepalaku
dua kali.
Sibuk
ibu muda, ibu tua dan ibu- ibu lainnya memilah ikan dan sayur yang bakal di
bayar. Aku kedinginan dan telanjang, di lupakan begitu saja di atas gerobak.
Lama.
Para ibu itu melenggang pergi satu- satu termasuk dua penyiksaku itu. Kakiku
hendak turun dari gerobak. Belum sampai, tangan bu RT menyambar lenganku.
Lembut, dia gandeng aku sambil tangannya yang lain menenteng belanjaan.
Sampai
di rumah. Aku di dudukkan bu RT di kursi ruang tamu. Ia meninggalkan aku agak
lama di ruang tamu. Bau masakan tercium dari tempatku duduk. Bau masakan itu
tetap mengepul ketika bu RT membawa kapas dan air di tangannya menuju ruang
tamu.
“Tega
sekali mereka ngomong macam- macam soal Karina. Benar atau tidak asal Karina
tak sampai racuni otak anak- anak mereka, apa urusan mereka? ,” ucapnya sambil
mengusapkan kapas basah di pipiku yang penuh riasan.
Separuh
mukaku terbebas dari riasan tapi bu RT buru- buru pergi ke pintu depan untuk
menyahuti tamu yang datang. Siapa yang datang? Nyoya Laras yang datang.
“Kurang
berapa kali cicilan baju muslim saya bu? ,” Nyonya Laras duduk di kursi ruang
tamu tanpa di persilahkan.
“Kurang
dua kali bu ,” bu RT buru- buru menyusul Nyoya Laras yang duduk.
Nyonya
laras mengeluarkan lembaran- lembaran uang kemudian segera pamit dan keluar
rumah. Ia membawa aku. Lenganku di cengkeram kasar.
Baru
tiga langkah meninggalkan pintu, Nyonya Laras mengoles bedak putih tebal lagi
di separuh wajahku yang tadinya sudah di bersihkan oleh bu RT. Nyonya Laras
juga balik badan menghampiri bu RT yang baru saja hendak menutup pintu.
“Bu,
benar ya?. Si Karina anak bu Joko itu sekarang mulai neko- neko? ,”.
“Ah.
Saya tidak berani komentar Bu Laras ,” bu RT tersenyum lembut di sambut raut
sebal dari Nyonya Laras. Nyonya Laras menarik aku. Ini awal siksaan berat yang
baru.
Nyonya
Laras membawa aku ke sebuah warung. Di dudukkannya aku di etalase toko.
“Beli
apa Nyah? ,” sapa pria paruh baya dari balik etalase.
“Telur
seperempat kilo Mas Kri ,”
“Eh,
Nyah. Sudah dengar soal Karina?. Anak bu Joko yang kuliah di kampus X itu loh..
,” laki- laki yang namanya mas Kri itu mulai mengambil satu telur dari bawah
meja.
“Dia
mesra sekali dengan pria yang mengantar pulang larut malam itu ,”
“Hah?
Mesra bagaimana toh Nyah? ”
Nyonya
Laras menebalkan perona oranye di pipi kananku.
“Tahulah
anak muda sekarang, gandeng tangan sudah jadi hal biasa ,”
“Wah,
hati- hati kebablasan tuh. Malah waktu berboncengan, si Karina juga mrangkul
perut pemuda itu erat- erat ,” yang di balik etalase mengambil pemberat untuk
menimbang telur. Setelahnya, dia oleskan perona oranye di pipi kiriku.
Aku
ingin teriak sekerasnya, tapi serak suaraku. Tidaaaaak! Tidaaaaak! Bukan
begitu! Bukan begitu Karina! Yang kalian ceritakan itu bukan Karina. Mereka
terkekeh- kekeh seperti telinga mereka sudah di sumpali kain- kain beludru biar tak dengar apa ucapku.
Di
bawanya kantong kresek isi telur itu oleh Nyonya Laras. Aku di campakkan
bersama pria paruh baya di balik etalase.
Badanku
di junjung tinggi- tinggi. Mas Kri pria itu di panggil. Ia begitu senang
melihat tubuhku di genggamnya.
“Telur
seperempat kilo Mas Kri ,” suara nenek berambut tipis membuyarkan rasa senang
Mas Kri.
“Iya
Mbah.. ,” Mas Kri dengan senyum terlebar mulai memindahakan telur ke timbangan.
“Mbah
sudah dengar kalau Karina sekarang neko- neko? ,” Mas Kri tangannya tetap sibuk
memindahkan telur ke timbangan.
“Tahu
dari mana Mas? ,”
“Dari
orang- orang. Siang malam, tidak kenal waktu, Karina berbocengan dengan seorang
pemuda. Di rangkul mesra perut pemuda itu tiap mereka berboncengan ,” mas Kri
menebalkan perona bibirku dengan warna merah.
Nenek
yang ada di depan mas Kri cuma tersenyum tipis.
“Berapa
mas Kri? ,”
“Biasanya
lah.. ,” Mas Kri ketus.
Nenek
itu mengeluarkan lembaran uang di dompetnya. Di hapusnya sedikit perona di pipi
kiriku. Ia pergi dengan menenteng kantong kresek isi telur.
Aku
bersorak. Tak ada cerita lagi soal Karina. Cerita itu berhenti pada Mas Kri
yang mendengus sebal memandang Nenek pembeli telurnya barusan mulai berjalan
meninggalkan halaman warung. Aku terbahak keras. Mas Kri menjitaki kepalaku.
Di
campakkannya aku di atas etalase toko. Nelangsa aku sendirian disana, mau turun
pun tempat ini tingginya minta ampun buatku. Tubuhku yang telanjang aku
rapatkan dengan tangan. Tak tahu aku apa yang hendak terjadi setelah ini. Tebal
tipisnya riasanku pun aku tak tahu bakal kapan terjadi. Yang aku tahu, Karina
bukan apa yang mereka kata.
Lalu
aku?. Aku lah kabar burung yang dirias tebal biar Karina tampak menarik diceritakan.
Punya daya apa aku?.
TAMAT
No comments:
Post a Comment