Sunday, March 16, 2014

Aspal Merah


Motor biru melaju. Muka si pengemudi merah, berpeluh, kosong matanya. Laju motornya lambat makin melambat. Dua detik kemudian, motor biru itu melintas samping gadis dengan rok panjang hitam dan motor merahnya.
Gadis itu menoleh. Matanya tertuju antara roda depan dan belakang motor biru yang ada di sampingnya. Standar motor itu setengah berdiri, hampir menyentuh aspal. Lama. Motor merah dan biru itu berjalan beriringan. Mata si gads makin lebar mengamati standar motor biru yang makin dekat dengan aspal.
Pikiran si gadis jadi macam- macam. Ia bayangkan standar motor itu benar menyentuh aspal. Pastilah motor sekalian pengemudinya berguling hebat di aspal. Pikiran- pikiran buruk gadis itu terus berguling dalam otaknya. Tapi, tangan kanannya malah memutar gas kearah belakang. Motornya bergerak maju, meninggalkan motor biru dan pengemudinya yang makin jauh tertinggal di belakang punggungnya. 
Motor merah sekalian si gadis hampir menghilang dari garis jalan yang di kiri kanannya berjajar rumah toko. Jauh dari garis jalan itu bukannya membikin pikiran buruk si gadis beranjak pergi. Makin riuh pikirannya dengan bayangan manakala standar motor biru pemuda tadi menggaruk aspal. Pastilah pengemudinya jatuh, terseret, berputar dan terlempar.
Suara klakson motor lain tepat di belakang si gadis memecah lamunannya. Kemudi di tangan kiri dan kanannya mulai meliuk tajam tanpa tentu arah berbarengan dengan
senggolan keras benda berat dari belakang motor sebanyak dua kali. Tubuh dan motor si gadis makin miring ke kanan. Menyentuh aspal. Berputar dua kali. Terlempar kedepan. Kaca helm si gadis terbuka. Matanya terpejam. Dua tanganya masih menempel pada kemudi.
Gelap. Tusukan jarum infus membuat nyeri lengan gadis pengemudi motor merah yang menggaruk aspal siang tadi. Ia membuka mata kirinya pelan- pelan.
“Kamu di Rumah Sakit Umum Mbak... ,” perawat muda menyambut mata si gadis yang baru terbuka. Belum usai perawat bicara, suara kaki yang menerobos selambu hijau penyekat ruangan sudah memecah heningnya suasana.
“Selamat sore. Saya dari Koran X Post. Benar anda saudari Erma? ,” Pria usia 37 tahunan dengan tanda pengenal pers di dadanya terus mengeluarkan kata- kata tanpa perduli napasnya yang tersengal akibat langkahnya yang buru- buru tadi.
Mengangguk sopan. Tak ingin mengganggu, perawat muda keluar dari ruangan bersekat kelambu hijau.
“ Ya. Saya Erma ,” gadis itu mengangguk lemah sambil menahan nyeri pangkal lengannya.
“Boleh saya mengobrol sebentar? ,”
“Oh tentu ,” Erma berusaha menegakkan kepalanya.
“Usia anda? ,”
“19 ,”
“Kuliah? ,”
Ya. Semester 4 pak ,”
“Di? ,”
“Universitas Y ,”
“Bagaimana kejadian yang Mbak alami hingga akhirnya berada disini? ,”
“Ada suara klakson yang sangat memekakan telinga dari belakang motor saya. Agaknya pengemudi yang membunyikan klakson itu hendak beri peringatan pada saya agar segera menghindar oleh karena sesuatu, tapi terlambat. Benda keras menghantam belakang motor saya. Saya miring kekanan dan berputar dua kali kemudian terlempar ,”
Pria itu mengucap terimakasih. Tangan kanannya menyalami Erma. Ia pergi bersama tanda pengenal persnya. Erma memejamkan mata lagi.
Sisi kiri ruangan bersekat itu mendadak riuh. Erma membuka sedikit mata kirinya.
“Motor biru pemuda itu hancur setelah menabrak motor lain yang ada di depannya.
Si pemuda tewas di tempat ,” wanita dengan suara berat menguasai awalan percakapan. Gemerincing mangkuk perak wadah air bersahutan.
“Ya. Motor yang di tabrak pemuda itu langsung rubuh dan menabrak motor lain yang ada di depannya. Begitulah seterusnya. Untunglah korban tewas hanya pemuda itu seorang ,” suara wanita lain menyusul.
“Standar motor biru milik pemuda yang tewas itu belum di lipat waktu kecelakaan beruntun ini terjadi kata polisi ,”
“Mahasiswi yang ada di kamar sebelah itu adalah korban terakhir dari kecelakaan beruntun itu bukan?. Beruntung motor gadis itu tidak menggaruk pengguna jalan lain yang ada di depannya ,” jari si penutur menunjuk kamar bersekat tempat Erma terbaring.
“Ya. Beruntung.. ,”
Erma diam. Dua matanya sekarang melotot. Pemuda yang lupa melipat standar motor birunya itu, sempat melintas samping motor Erma. Tapi dia diam.
“Pembunuh.. ,” bisiknya pelan diikuti teriakan yang tidak jelas apa maknanya hingga mengundang orang di sekitar ruang bersekat itu berdatangan.


TAMAT 

2 comments:

Anonymous said...

Bagus banget cerpennya.
Di bagian ending, si mahasiswi bilang "pembunuh" ke dirinya sendiri bukan? Mungkin karena dia enggan memberi tahu si pemuda kalau standard motornya belum dilipat, padahal dia melihat.. (?)
Hehe

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Ini cerpen mesti diremake. Cerpen lama. Berantakan banget. Thanks Anonim sudah ingatkan saya kalau banyak PR hehe...