Benderang. Kami di hempas
lembut dari langit terang menuju bola tanah raksasa warna biru. Dua tanganku
meremas erat tangan sesamaku di kanan dan kiri seperti takut kalau- kalau guncangan
yang menyakitkan muncul. Nyatanya, cuma hentakan seperti kaki anak- anak yang
muncul dua atau empat kali dalam perjalanan kami.
Cahaya putih tersaji
makin mendekat depan muka kami. Nyalanya membuat mata kami berair hingga semua
dari kami memaksa diri menutup mata.
Waktu bangun, tangan
empuk yang sangat lembut memeluk kami semua. Kuputar kepalaku kesekitar.
Disekitar cuma ada bau air dan batu. Tangan yang menyambut sejak kedatangan
makin erat memeluk kami. Kami merasa damai.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
Damai nyatanya tak cukup
lama hinggap. Aku melihat seperempat dari rombongan kami menghilang dibalik jantung
pemilik tangan empuk nan lembut yang menyambut kami tadi. Makin erat dua
tanganku menggenggam tangan sesamaku yang ada di kiri dan kanan. Nyala sinar di
sekitar makin redup.
Jantung itulah rumah kami.
Gelap. Aku membuka mata.
Selebarnya. Sekuatnya. Namun tetap gelap.
Berusaha kugerakkan dua
tanganku. Aku melihat sisi kiri dan kanan. Dua sesama yang sejak keberangkatan kugenggam
erat tanganya sudah tidak ada. Mereka
hilang. Satu tangan lain yang hangatnya
tidak melebihi hangatnya tangan pertama yang menyambut kami sudah membawa
mereka kebalik jantungnya. Tangan itu sibuk menggores sesuatu pada daun- daun.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
Jantung
dan daun- daun itulah rumah kami.
Aku merasa sendirian.
Mengapa aku di tinggalkan?.
Melayang aku dibawa
angin. Sisa rombongan yang lain ternyata juga banyak yang melayang di udara.
Mereka ke utara, barat, dan selatan. Sedangkan aku melayang tanpa mauku sendiri
kearah timur.
Sepanjang jalan, aku
melihat banyak sesamaku di rengkuh tangan- tangan hangat meski tak sehangat
tangan pertama dan kedua yang menyambut kami datang awal tadi. Sesamaku hilang
di balik jantung tangan- tangan cukup hangat yang meraih mereka sepanjang jalan
kami melayang. Tangan- tangan itu tampak sibuk menggores sesuatu di daun, batu
dan batang kayu.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
Jantung,
daun, batu dan batang kayu itulah rumah kami.
Rombongan kami makin
sedikit. Kami melintasi laut. Tak ada tangan sejauh ini. Ingin rasanya aku
berjalan semauku mencari tangan yang mau merengkuh aku. Sayang, lumpuh kakiku.
Cuma angin yang bisa di andalkan menggulir perjalananku biar tetap maju
kedepan.
Tiba kami di pinggiran
pasir yang berair. Rombongan kami berkurang lagi. Lebih banyak tangan meraih
sesamaku yang kemudian memasukkan mereka ke dalam jantungnya. Tangan ini tak
lebih hangat dari tangan mereka yang sibuk menggores sesuatu di daun, batu dan batang
kayu sebelum kami melintasi laut. Tangan- tangan ini sibuk menggores sesuatu di
atas lembaran tipis kulit kayu warna coklat.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
Jantung
dan lembaran tipis kulit kayu warna coklat itulah rumah kami.
Lagi. Tak ada tangan yang
mau meraih aku. Angin membawa kami yang
tersisa membumbung lebih tinggi
melewati daun- daun pohon kelapa. Daun, dahan dan kepala hitam semut- semut
menunduk teduh memandang kami lewat.
Angin lebih keras membawa
kami. Aku sampai tidak lagi bisa melihat sekeliling karena yang terlihat cuma
kilat putih dan bau debu bercampur angin.
Kami menabrak dinding
kayu. Keras, dingin dan kusam.
Rombongan kami berkurang
lagi. Tangan- tangan yang lebih banyak jumlahnya dari yang menggores sesuatu di
lembaran kulit kayu mulai meraih sesamaku yang tersisa satu- satu ke permukaan
jantung mereka. Tangan- tangan itu hambar. Tidak dingin, tidak panas dan tidak
hangat. Dengan menyeret kaki, aku berusaha menarik salah satu tangan yang
barangkali mau meraih aku bila tahu aku tengah sendirian. Tapi angin menjauhkan
aku dari dinding kayu itu. Dari jauh aku
melihat tangan- tangan yang barusan menangkap sesamaku sibuk menggores sesuatu
di atas lembaran putih bernama kertas.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
Permukaan
jantung dan lembaran putih bernama kertas itulah rumah kami.
Kami melayang lagi. Angin
menampar tubuh kami ke atas sebuah kubah. Lantunan kalimat indah mengalir dari
puncak kubah. Tak asing kata- kata itu bagi kami. Kalimat itu sering kami
dengar hingga hafal bahkan sebelum kami di hempas ke dalam bola tanah raksasa
warna biru ini. Kalimat indah pujian untuk Tuhan.
Tangan- tangan muncul. Jauh
lebih banyak dari tangan yang meraih sesamaku di dinding kayu. Tangan- tangan
itu panas, di raihnya sesamaku ke permukaan jantung mereka. Tubuhku tak
tersentuh mereka namun kulitku rasanya seperti terbakar.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
Sesamaku yang tertangkap
melotot menahan panas. Aku maupun mereka
seperti hendak teriak. Namun, ketika
aku merogoh rongga mulutku, barulah aku sadar bahwa kami tidak punya daging lentur
yang namanya lidah.
Angin datang lagi. Badanku
melayang lagi. Kali ini bersama daun kering, debu, dan kotoran hewan.
Dari jauh. Aku melihat
tangan- tangan panas tadi menggores sesuatu diatas kertas putih. Bukan dengan
tangan mereka. Tapi, menggunakan mesin besar bersuara keras yang membuat
kertas- kertas itu dalam goresan serupa.
Permukaan jantung dan kertas- kertas dalam goresan yang sama itulah
rumah kami.
Aku
dan sisa rombongan melayang lagi. Lama. Kami menabrak sebuah dinding kaca.
Besar, tinggi, bagian teratasnya hilang ditimbun awan.
Suara gaduh mendadak
menggaruki kupingku. Tangan- tangan yang jauh lebih panas adanya daripada yang
ada di kubah menarik badan sesamaku.
“Kitab suci! ,”
“Ayat suci! ,”
“Demi Tuhan ,”
“Menangkanlah aku!,”
jerit pemilik tangan- tangan panas itu berulang- ulang.
Kasar. Leher sesamaku di
cengkeram. Mereka di lempar ke meja-meja bundar dan kursi- kursi besar berbantal.
Ini kali pertama aku
benar- benar tak berharap ada yang meraihku. Tangan- tangan yang saat ini gaduh
menyeret kasar badan sesamaku adalah siksa. Aku tahu.
Nyatanya. Satu tangan panas
ternyata meraih badanku. Kulit mukaku mengelupas. Leherku berdarah- darah. Di
lemparnya aku ke meja besar berbentuk lingkaran.
Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
“Emas! ,”
“Bunuh hak! ,”
“Emas! ,”
“Bunuh hak! ,”
“Kitab suci .”
“Ayat suci ,”
“Demi Tuhan! ,”
“Menangkanlah aku! ,” Lenganku
jadi biru. Dicengkeram oleh dia si peraihku. Dia teriak soal dunia, aku, Tuhan
dan kemenangannya. Aku di dorong tepat ke muka pemilik tangan yang lain.
Pemilik muka yang lain
meneriakkan hal yang serupa. Sesamaku yang ditangkap olehnya dilempar balik tepat
ke muka peraihku.
Terus begitu. Dijadikan
kami senjata untuk saling lempar antar muka.
Kami tak punya lidah.
Hati kami yang teriak sebut- sebut nama Tuhan.
Tuhan kami..
Tuhan
kami..
Dihempas
kami.
Dilempar
kami.
Dibuat
kami berdarah- darah.
Tak
diberi kami barang sebuah rumah.
Mereka
sebut kami.
Mereka
sebut kitabMu.
Mereka
sebut asmaMu.
Demi
mereka menang.
Beri
ampun mereka Tuhan..
TAMAT
No comments:
Post a Comment