“Aku
khawatir dengan pilihan jalanmu.”
“Aku
sudah paham risikonya, pun Merekaku.”
“Aku
khawatir…”
“Buat
apa? Kamu tidak pernah terlalu paham soal apa yang aku kemukakan.”
“Niat
kita serupa baiknya, tapi caramu berbahaya.”
“Aku
mau merubah sistem.”
“Karena
kamu kecewa pada peradaban; katamu waktu itu.”
“Betul.
Jadi aku mau merubah sistem.”
“Dengan
perang, satu waktu kamu memang bakal berhasil merubah sistem. Tapi, di satu
waktu yang lain, yang kamu bangun bakal dikudeta.”
“Bukan
masalah. Memang akan terus seperti itu.”
“Tapi
kamu tidak akan pernah tahu, yang melakukan kudeta itu bakal membawa sistem
yang lebih baik atau tidak.”
“Bagaimana
dengan kamu? Kamu punya cara buat melaksanakan niatmu?”
“Tentu,
dengan cinta dan hati. Dengan itu seseorang bakal berubah. Makin banyak
jumlahnya, berubahlah sebuah sistem.”
“Caramu
tidak visioner!”
“Caramu
bakal membuat kamu dan Merekamu berdarah!”
Kami
berhenti berucap sambil mengatur napas. Saya tidak pernah kekurangan keberanian
buat memandangi matanya yang polos tapi kelewat galak itu. Dia balas memandangi
saya, namun dari tatapan matanya, dia seperti berkata,”Saya dan kamu sudah
selesai.”
No comments:
Post a Comment