“Kamu
suka sastra juga?” Tebak Sonja saat melihat Maria, teman sekelasnya itu membaca
bukunya si penulis X.
“Ya…
saya suka… suka sekali. Kamu juga?” Maria balik bertanya.
“Ya…
saya pun. Wah… senang bisa sekelas dengan kamu. Mulai sekarang kalau ada acara
sastra, kita berangkat bareng bagaimana?”
“Tentu.
Saya akan sangat senang sekali. Oh, iya… namamu… Sonja, kan? Kita satu
rombongan juga waktu Ospek.”
Semenjak
saat itu, Sonja dan Maria terlihat selalu besama-sama hampir setiap hari.
***
“Mar…
kamu fotokan saya dengan penulis X, ya? Nanti kita cegat depan pintu begitu.”
Bisik Sonja selama workshop berlangsung.
“Oke,
Nja… seperti biasanya akan saya fotokan.”
“Saya
ingin sekali jadi penulis seperti si X itu.”
“Pun
saya, Nja…”
***
Puluhan
workshop dan talkshow berbayar maupaun tidak, dilewati Sonja dan Maria
bersama-sama. Sonja tetap pada hobinya, berfoto dengan penulis ternama yang
jadi pemateri, kemudian mengunggahnya ke sosial media. Maria tetap dengan telaten
menuruti permintaan Sonja, menjadi tukang foto di tengah orang-orang yang
saling berdesakan.
Obrolan
mereka pun tetap sama, punya mimpi jadi penulis seperti si X, si Y, si A dan
lainnya. Hingga pada satu titik, Maria mulai bertanya-tanya. Mengapa dia tidak
mulai menulis saja? Mengapa dia melewatkan banyak waktu untuk workshop,
talkshow dan kemudian workshop lagi dan talkshow lagi?
Maka,
Maria berhenti. Dia tetap mengikuti workshop dan talkshow, namun makin
berkurang intensitasnya. Sonja tetap dalam euforianya, berfoto dengan para
penulis ternama. Dia juga tetap dalam utopianya, jadi penulis ternama suatu
saat nanti. Hingga, Sonja tidak lagi sadar, Maria sudah tidak pernah lagi ada
di sampingnya pada workshop mana pun.
***
“Maria!
Kamu apa kabar? Sudah tiga tahun sejak sidang skripsi, kita tidak pernah jumpa
sama sekali. Masih suka sastra?” Perempuan yang menepuk pundak Maria dengan
keras itu, ternyata adalah Sonja.
“Nja!
Ya… sudah lama sekali. Aku masih suka dengan sastra. Sesekali mencoba menulis.
Kamu masih rajin ikut workhop dan talkshow agaknya, ya?”
“Ya…
kamu ingat cita-citaku, kan? Cita-citaku masih tetap sama. Eh, omong-omong
nanti tolong fotokan aku dengan mbak C ini, ya? Penulis muda yang lagi naik
daun dia. Aku punya semua bukunya.” Tunjuk Sonja pada C yang tengah mengoceh di
depan panggung.
Maria
mengangguk, kemudian tersenyum tipis.
Setelah
acara usai, Sonja berniat mendesak kerumunan dan berfoto dengan C. Namun, C
justru menghampiri kursi tempat Sonja duduk.
“Kamu
sudah lama di sini, Mar?” Sapa C pada Maria yang duduk semeja dengan Sonja.
“Saya
telat 15 menit, Mbak.”
“Kawanmu?”
tanya C sambil menunjuk Sonja.
“Ya…
dia punya cita jadi penulis seperti mbak.”
“Oh,
tidak usah jauh-jauh. Buku temanmu, si Maria ini, ludes terjual dalam tiga
minggu. Terbitan indie, 150 eksemplar. Itu bukan perkara mudah, selama bertahun-tahun,
Maria sudah belajar menulis dan menggaet pembaca sedemikian rupa.” Jelas C
sambil memandangi Sonja.
“Oh,
indie?” sorot mata Sonja nampak tidak terlalu antusias.
Maria
buru-buru mengeluarkan kamera ponselnya.”Sonja ingin foto dengan mbak C,
bukan?”
Sorot
mata Sonja berubah antusias.
“Doakan
saya jadi penulis besar seperti mbak C, ya?” ucap Sonja entah pada siapa, di
tengah sesi foto.
***
Maria
memandangi kronologi sosial media Sonja. Isinya tetap sama, foto-foto Sonja dengan penulis ternama dalam workshop dan talkshow. Foto-foto itu makin banyak
saja tiap harinya. Satu yang berubah, likes dan komentar berisi pujian yang
disadari Maria, ternyata bertambah makin banyak sejak kali pertama mereka pergi
workshop dan talkshow bersama.
No comments:
Post a Comment