Tuesday, December 1, 2020

Imanen

Sumber: Instagram xiuros._.f


Dua tahun ini saya sakit, hampir mati dan... Justru setelahnya lebih sering tertawa bersama-sama Tuhan. Bagaimana bisa disebut tertawa bersama? Karena saya jadi mencapai kesadaran-kesadaran baru soal Tuhan yang kontradiktif dan suka bercanda.

Di tahun pertama, saya marah melihat kematian sendiri yang begitu diusahakan. Apa salah saya? Kenapa bisa kematian ini begitu diharapkannya? Hingga pemikiran tadi, masih bertambah dengan... Apa saya yang salah tapi nggak mau sadar hingga upakara kematian ini baginya dirasa adil?

Pertanyaan-pertanyaan di paragraf kedua tadi ternyata lenyap di tahun kedua. Di tahun ini pula, saya memahami bagaimanapun sebuah kematian diupakara, takdir Tuhan masih luar biasa besarnya.

Kita, manusia, memang kerap narsis saja. Menjegal karir orang lain dan berhasil, kemudian merasa... Ah, itu karena aku yang cerdik sampai berhasil menjegal. Membunuh orang lain dan berhasil, kemudian merasa... Ah, itu karena aku yang kuat sampai berhasil membunuh.

Padahal kena jegal hingga kematian adalah keniscayaan. Semua orang pasti pernah atau akan merasakannya. Lalu bagaimana dengan diri kita yang narsis tadi? Ada perasaan gede rasa bahwa kita, manusia, adalah penyebab segala sesuatu bisa terjadi.

Yang membedakan kena jegal dan kematian sesungguhnya hanya cara-caranya saja. Cara adalah alat, jadi siapa si pemilik alat? Gitu kok gede rasa amat, sudah merasa jadi tokoh utama. Padahal ya... Hanya alat.

Demikian yang saya pelajari selama dua tahun pertapaan ini. Sesuatu yang mulanya saya tangisi karena masih memiliki perasaan kehilangan, perasaan ada sesuatu yang direnggut. Perasaan kehilangan, perasaan ada sesuatu yang direnggut, bukankah itu hanya dialami oleh kita yang merasa memiliki?

Hal ini pun membuat saya mereka ulang pemaknaan ‘siapa diri saya?’ dan lebih jauh ‘apa yang sesungguhnya saya miliki di dunia ini?' Yang kemudian membawa saya pada keadaan ikatan-less. Sesuatu yang mengejutkan dan salah dua teman yang nyambung dengan keadaan saya ini adalah mbak Siti Nurvianti dan suaminya, mas Lukman.

Perkenalan saya dengan mbak Vian 2015 lalu dan pernikahannya dengan mas Lukman jelas bukan kebetulan. Perjalanan spiritual mereka sudah ugal-ugalan sehingga ketika adiknya ini mengalami kegilaan dalam perjalanan itu, merekalah yang bisa memberi pemahaman.

Kondisi ikatan-less ini pun membuat saya bertanya-tanya... Mengapa kita lahir dan mati sendirian, namun sepanjang hidup sangat ribut dengan ikatan? Kok mirip lirik lagunya Blackpink Lovesick Girls ya? Begini bunyinya... But we were born to be alone, but why we still looking for love. Yang ketika lagu ini rilis, teman saya Noval langsung mengirim pesan berbunyi,”Lagu iki awakmu banget awokokok...”

Orang tua saya menangis karena saya hampir mati. Diusahakannya saya berobat kesana dan kesini supaya bertahan hidup. Teman-teman saya mengutuk kesakitan-kesakitan itu dan mengusahakan pula bagimanapun saya mesti hidup.

Apa yang sebetulnya orang tua dan teman-teman saya cari? Apakah itu adalah usaha untuk lari dari kehancuran akibat kehilangan? Tapi bagaimana jika yang demikian disebut cinta? Apa sebetulnya yang disebut cinta?

Sedang di waktu yang lain lagi, ibu saya dan seorang tetangga yang juga ibu-ibu, menangisi kematian Opet. Opet adalah kucing oranye milik keluarga kami yang juga senang berkunjung ke rumah keluarga si tetangga tadi. Tangisan demikian ternyata adalah tangisan kehilangan, tangisan bahwa tidak ada lagi cinta yang bisa diisi jika Opet tidak ada.

Jika ada kehilangan, bukankah ada perasaan memiliki? Jika yang dimiliki itu hilang, bukankah perasaan memiliki itu jadi luka? Jadi apa itu cinta?

Kemarin saya baru saja tertawa-tawa soal bagaimana Tuhan membuat kita lahir sendirian, mati sendirian, namun sepanjang hidup mesti ribut dengan ikatan. Oke, sudah berapa kali saya mengulang kalimat ini kecuali bagian tertawa-tawanya?

Orang tua siswa melabrak guru karena tidak terima anaknya dicubit...

Seorang kakak, meninju muka teman adiknya karena tidak terima adiknya itu dirisak...

Kita menyumbang uang lewat internet untuk seseorang yang sakit dan tidak kita kenal di dunia nyata...

Apa yang terbesit dalam otak teman-teman ketika saya tanya, kenapa? Kenapa bisa ada tiga kejadian di atas?

Tidak terima?

Tidak adil?

Kasihan?

Cin... Ta...?

Tidak terima, tidak adil dan kasihan kepada siapa sesungguhnya? Lalu apa itu cinta?

Bukankah ada bagian dari diri orang tua yang melabrak itu terluka, sehingga ia melabrak guru anaknya? Bukankah ada sesuatu dalam diri kakak itu yang luka, membuat dirinya meninju teman adiknya yang merisak? Bukankah ada bagian dari diri kita yang terluka, sehingga menyumbang kepada orang asing yang sakit lewat internet?

Dan kita ternyata... Senantiasa hancur oleh karena kehilangan. Jadi upaya-upaya yang mengarah pada kehilangan tadi, berusaha betul kita libas supaya tidak terjadi.

Guru itu mencubit anak kita...

Adik kita dirisak temannya...

Orang sakit di internet tidak punya biaya...

Bagaimana kalau mereka luka kemudian mati? Ada sesuatu dalam diri kita yang turut merasa hancur. Perasaaan kehilangan... Senantiasa menghancurkan...

Bagaimana dengan seorang penguasa yang tidak mau kehilangan wilayahnya?

Bagaimana dengan pemangku kebijakan yang tidak mau kehilangan duitnya?

Bagaimana dengan seorang warga yang tidak mau kehilangan rumah yang menahun ia tinggali?

Bagaimana dengan orang-orang yang takut hutan gundul karena tidak mau kehilangan oksigen?

Jadi apa itu cinta?

Bukankah hal-hal yang saya sebut di atas tadi menimbulkan masalah antar sesama manusia? Kenapa manusia harus hidup dengan keterikatan? Kenapa manusia harus hancur ketika kehilangan? Apa yang Tuhan mau, dengan membiarkan manusia memiliki keterikatan dan rasa hancur akibat kehilangan?

Kehilangan dan kematian adalah keniscayaan. Namun kita, manusia, meski sudah mengetahui hal yang demikian masih juga histeris ketika mendapatinya.

Bayangkan ketika dunia ini dipenuhi manusia-manusia yang tidak berusaha mengingkari kehilangan dan kematian...

Orang tua yang diam saja melihat anaknya dicubit guru.

Kakak yang diam saja melihat adiknya dirisak.

Kita yang diam saja melihat seseorang di internet sakit dan butuh biaya.

Penguasa yang diam saja kehilangan wilayahnya.

Pemangku kebijakan yang diam saja kehilangan duitnya.

Seorang warga yang diam saja kehilangan rumahnya.

Orang-orang yang diam saja kehilangan oksigen karena hutan gundul.

Akankah dunia damai ketika semuanya diam? Apakah dunia akan damai tanpa rasa takut dan kehancuran setelah kehilangan? Jadi apa itu cinta?

Kehancuran atas kehilanganlah yang selama ini membuat dunia ini terus bergerak. Memilikinya adalah anugrah. Tuhan membuat hidup setiap orang berdetak dengan cara demikian.

Jika ada orang-orang yang mencapai kesadaran soal candaan Tuhan satu ini, itu pun untuk penyeimbang saja. Itu pun bahaya sekali jika orang-orang tadi tidak mencapainya dengan kesiapan, karena jelas dirinya kemudian akan kebingungan dan merasa hidupnya tidak ada alasan lagi buat berdetak.

Namun... Sebuah ikatan, rasa hancur akibat kehilangan adalah juga soal perjalanan yang lain. Sesuatu yang orang-orang dengan ikatan-less belum tentu bisa merasakannya kembali. Ada keberanian yang sangat dibutuhkan untuk menjalani jalur yang satu ini.

Orang-orang dengan ikatan-less cukup jauh dari perasaan hancur akibat kehilangan dan sejak awal sudah mengembalikannya kepada Tuhan. Ikatan-less itu semacam perintang yang hilang dari jalan jenis orang ini sehingga lebih cepat kembali pada Tuhan. Sedang orang-orang dengan ikatan dan perasaan hancur atas kehilangan, jalannya akan lebih pelik untuk kembali pada Tuhan. 

Ada yang menimpakan ikatan dan perasaan hancur atas kehilangan itu pada dirinya sendiri, kalaupun bangkit juga dengan kakinya sendiri. Ada juga yang menimpakan rasa sedih, takut, dan hancurnya pada pada orang lain, kalaupun bangkit mesti dengan menginjak kepala yang lain. Jadi apa itu cinta?

Untuk mengalami ikatan-less, kamu nggak harus mengalami hal-hal semacam pernah mati suri. Ikatan-less pula bukan sebuah pencapaian. Adapun saya ada di sini hanya sebagai penyeimbang, menyampaikan segala yang saya sudah utarakan di atas, hari ini, tahun ini. Jadi jika hari ini, kamu hancur karena kehilangan, perasaanmu itu valid.

Melewati perjalanan spiritual yang ugal-ugalan, justru membuat saya memahami, perasaan hancur karena kehilangan bukan hal yang remeh. Itu semua adalah perasaan berulang yang mesti dialami sepanjang hidup. Justru saya salut, kepada teman-teman yang  berani menikah, memiliki pasangan dan anak dengan kejelasan bahwa kelak di depan sana pasti ada kehilangan dan kematian, ada perasaan yang hancur setelahnya.

Lantas setelah perasaan hancur, apakah selama itu kita bisa berdiri tanpa menginjak kepala orang lain? Apakah selama itu, kita bisa berdiri dengan menginjak kepala orang lain? Kepada Tuhan akahkah kita kembali? Itulah cinta, selebihnya Tuhan ingin kita tertawa bersama... Lalu di dalam jiwa kita hanya ada satu kalimat menggema... Sangkan paraning dumadi...

No comments: