![]() |
| Sumber: Gugel |
“Si X aslinya lolos lho, cuman karena teman-teman editor mengamati dia defensif tiap terima kritik, nggak jadi lolos...” pungkas seorang teman, nyaris mengakhiri percakapan.
X yang dimaksud saya tahu tulisannya bagus. Perkara kaidah berbahasa? Oh, ya dilibas dong oleh dia. Ditambah lagi, si X ini bimbing banget pada siapapun yang belajar menulis dan nggak pakai pelit-pelit.
Ada perasaan kecewa yang sulit digambarkan ketika saya dengar dia gagal lolos kompetisi di salah satu penerbit mayor tersebut karena alasan yang diceritakan si teman tadi. Saat itu, yang saya tahu X menanggapi kritik dengan argumen. Misalnya kenapa ceritanya begitu dan nggak dibikin begini, dia akan jelaskan kenapa dibikin begitu.
Namun setelah mengamati kompetisi yang diikuti X dan bagaimana sikapnya sehari-hari, saya pun paham penyelenggara butuh orang yang bisa dibentuk selain tulisannya bagus. Ada industri di depan sana yang tidak bisa dimenangkan oleh karya yang bagus saja.
Beda lagi cerita dengan seorang selebgram yang sempat membagikan novel karyanya di Instagram. Perkara kaidah berbahasa? Banyak yang rumpang. Banyak celah juga dalam cara menulis, penokohan dan sajian lainnya.
Hingga seorang pengikut kritiknya dia bagikan lewat tangkapan layar di Instagram story. Pengikut ini membedah cara selebgram ini yang kurang baik dalam membuat deskripsi salah satunya dan ternyata yang bersangkutan membalas,”...semoga kamu kalau bikin novel bisa blablabla ya deskripsinya blablabla...” yang intinya, dia membalik kalimat pengikutnya tadi semacam ‘yo wis bikin novel sendiri sana kalau ini ga sesuai harapanmu.”
Setelahnya, selebgram ini beberapa kali masih di instagram story menulis kalimat yang entah untuk siapa dan isinya seputar,‘kalo karya masih biasa aja, gausah lah komen-komen karya orang’ juga,’heran sama orang yang ga diminta kritik tapi kritik’ masih lanjut,’blablabla... Kalau ga sesuai selera blablabla...”
Saya pun tergelitik membalas lewat DM,”Pengikutmu ngomongnya bener. Secara objektif memang kekurangan novelmu yang dia bilang. Itu bukan soal selera.” Percakapan kami pun cukup panjang hingga selebgram tersebut salah satunya mengatakan,”Aku lebih peduli sembilan suka karyaku ketimbang satu yang nggak.”
Sejak itu, saya berhenti mengomentari apapun karya si selebgram ini. Niat membeli novelnya pun gugur, apalagi dia kerap menyuarakan perkara self love dan boundaries yang kerap dipergunakannya untuk menangkal pendapat lain. Dapat dikatakan, saya jenis pembaca yang bukan masalah membeli karya dengan banyak celah namun pembuatnya punya karakter. Iya... Iya... Saya moralis.
X kini memilih mengikuti komunitas daring yang jauh dari penerbit mayor. Barangkali itu upayanya memertahankan idealisme. Sedang si selebgram itu mengumpulkan massa yang betul menyukai karyanya tanpa celah, menerbitkan karyanya secara indie pula. Dua orang yang defensif terhadap kritik dalam kasus yang berbeda ini telah menemukan ruangnya masing-masing.

No comments:
Post a Comment