Kemudian
kita ngobrol-ngobrol panjang sekali. Termasuk soal ketidakpercayaan dirimu
ketika melihat lelaki-lelaki lain di sekitar. Si anu yang sudah pergi ke luar
negeri, si ini yang kuliah di universitas yang katanya ternama dan banyak
lain-lain.
Motor
yang kita naiki mendadak kamu lambatkan, bahkan nyaris berhenti.
“Eh?
Ada apa?” tanya saya.
Kamu
justru diam beberapa saat dan nyaris membungkukkan badan. Saya kemudian lihat
ada ambulance dengan sirine menyala yang tanpa suara, melaju terburu-buru dan
berlawan arah.
“Saya
itu begitu kalau ada ambulance atau mobil pemadam kebakaran atau sejenisnya
lewat. Saya berdoa…” jawabmu setelah ambulance yang kamu maksud berlalu
melewati kita.
“Oh,
mendoakan korban?” balas saya tidak menduga.
“Ya…
semacam itu. Biasanya saya bikin tanda salib juga kalau nggak lagi bonceng
manusia…” sambungnya.
Motor
kembali melaju dan mendadak kamu melambatkannya kembali, nyaris berhenti.
“Ada
apalagi?” tanya saya.
“Itu…”
jawabmu dengan tangan yang menunjuk pada satu keluarga yang tengah menyeberang
terburu-buru. Meski ya… sebenarnya kamu pun bisa terus melaju seperti
motor-motor lain, ada banyak kesempatan.
Saya
diam beberapa saat dengan ingatan soal ketidakpercayaan dirimu, yang kamu
nyatakan terang-terangan. Apa mereka yang pernah pergi ke luar negeri atau
kuliah di universitas yang katanya ternama itu, bakal melakukan hal serupa
dengan kamu? Berdoa untuk siapapun yang ada ambulance, berdoa untuk korban
kebakaran dan melambatkan motor untuk memberi kesempatan pejalan kaki
menyeberang. Ah, andai saja kamu bisa lihat apa yang saya lihat…
No comments:
Post a Comment