Sumber: Gugel |
*Dibuat dan diposting sebelum heboh kasus plagiasi. Yang bersangkutan mengakui satu tulisan plagiat dari sekitar tiga temuan warganet.
Kebetulan,
awal tahun ini saya membaca postingan Afi Nihaya Faradisa alias Asa Firda
Inayah di grup Komunitas Bisa Menulis (KBM). Dalam grup tersebut, Afi
memerkenalkan diri sebagai anggota tim penguak berita hoax. Masih dalam perkenalan tersebut, Afi juga menyebut soal
tulisannya yang viral dan jumlah followernya
yang ribuan. Perkenalan tersebut membuat saya tertarik melihat profil facebook
Afi. Dan benar followernya memang
aduhai. Namun, saya justru sengaja tidak mengikuti akun facebooknya si Afi ini. Saya lebih memilih melihat status-statusnya
secara manual, alias ketik dulu namanya, klik profilnya, baru baca statusnya.
Toh sesungguhnya, postingan teman-teman di beranda facebook saya sudah sangat bermacam-macam dan mewakili tulisan si
Afi ini. Dan lagi, saya memang mengenal langsung teman-teman ini. Lebih baik
saya sumbang like dan komentar, pada
status milik teman sendiri biar mereka bahagia.
Barangkali,
ada banyak sebab mengapa Afi kedatangannya jadi dirindukan. Pertama, Afi masih
berstatus sebagai pelajar SMA dengan tahun kelahirannya yang 1998. Kita sebagai
pribadi yang masih kagetan, melihat anak SMA yang rajin membaca, berpikiran dan
menulis serapi Afi adalah hal waow. Padahal, yang sejenis Afi, lebih tajam dan
lebih muda barangkali tentu ada. Bedanya, kebetulan mereka tidak mengungkap
pemikirannya dengan jalur seperti Afi, atau kalaupun sejalur, kebetulan mereka
tidak beruntung jadi viral.
Kedua,
Afi memerlihatkan identitas keislamannya. Kebetulan, islam merupakan agama
mayoritas di Indonesia. Tulisan soal perdamaian dan toleransi dari yang
mayoritas, tentu dirindukan baik dari minoritas maupun dari mayoritas itu
sendiri.
Betapa
di hari-hari sebelumnya, Tere Liye yang jelas memiliki identitas islam, dibully luar biasa karena dinggap
mengecewakan. Tere Liye sempat terpeleset jari ketika menulis soal sejarah dan
menyerempet pada SARA. Kutipan bijak soal cinta dan kehidupan yang jauh lebih
banyak jumlahnya dari satu kesalahan itu, agaknya tidak membuatnya bebas dari
cacat. Ada lagi Felix Siauw yang buku merah jambunya sempat hits luar biasa. Twitnya soal bela
negara dibanding khilafah, banyak dipermasalahkan. Rasa kebangsaan Felix
dipertanyakan di sana, apalagi dengan identitas islam yang dirinya bawa.
Ketiga,
Afi datang di saat yang tepat. Media massa yang tengah getol memberitakan
Indonesia sebagai negara darurat toleransi, membuat kita berebut jadi paling
responsif di media sosial. Meski Afi mengaku tulisan pertamanya yang viral adalah
soal pendidikan, agaknya cap dirinya sebagai penulis toleransi dan perdamaian lebih
kuat, karena momen yang tepat.
Terus
terang, saya justru merasa ngeri dan
justru kasihan pada Afi, melihat begitu banyak orang membanjiri statusnya
dengan like dan komentar yang
menyetujui isi statusnya. Saya sendiri dua kali membagikan status Afi, soal hoax dan satu lagi status singkat dengan
gaya guyonan berkelas darinya. Afi juga manusia biasa yang kadang terpeleset
jari, hingga suatu saat dianggap cacat dengan satu kali terpeleset tadi. Banyak
orang seolah membebankan harapan yang kelewat-lewat pada diri Afi.
Kelak,
meski saya juga tidak berdoa atau berharap. Hendaknya, kita sebagai pribadi
kagetan ini, juga tidak kecewa dan kelewat mengamini kecacatan Afi, apabila
suatu saat dirinya betul terpeleset jari. Jangan lupakan hal baik yang lebih
banyak dia tulis sebelumnya. Mari, pelan-pelan kendalikan diri masing-masing
yang masih kagetan ini. Gembira boleh, berharap boleh, tapi mbok ya… jangan kelewat-lewat…
No comments:
Post a Comment