“Maaf, di negara ini kan bebas berpendapat tapi tolong jangan menyudutkan satu instansi karena mungkin saja hasil analisa kamu salah dan belum kamu ulik sepenuhnya lebih dalam lagi. Bisa-bisa kamu kena kasus pencemaran nama baik, jika curhatan kamu ini tidak seperti kenyataan.” Ketik Afsha dalam kolom komentarnya di blog saya.
Ketika
saya coba klik nama Afsha sebagai si pengirim komentar, ternyata akun miliknya
anonim. Akun itu baru aktif Juli 2016 dan dipergunakan untuk mengomentari
tulisan yang saya unggah Januari 2017 berjudul (Bukan Esai) Iming-iming
Penerbit Indie (Masih Ada). Manipulatif, satu kata itu yang saya pikirkan
ketika membaca komentar Afsha yang sebenarnya terdiri dari empat paragraf.
Saya
sendiri mulai mengelola blog semenjak 2009, hanya saja saya berganti-ganti
alamat hingga 2013 saya menetap di http://semangkaaaaa.blogspot.com. 2017
adalah tahun ke empat saya menjadi narablog dan sayangnya masih saja saya
menemukan modus lomba menulis yang hanya menguntungkan penerbit. Masalahnya
bukan hanya menyoal oknum penerbit indie yang berlaku curang, tapi juga menyoal
ada saja teman sekitar saya yang ternyata tidak kunjung melek mengenai modus
serupa. Padahal, di tahun 2015 saya sempat menulis esai berjudul Iming-iming Antologi Ala Penerbit indie yang diterbitkan di koran lokal. Tulisan sejenis
yang lebih mendalam pun bermunculan seperti Jalur Instan Itu Bernama Kedodolan.
Tulisan
(Bukan Esai) Iming-iming Penerbit Indie (Masih Ada) sendiri, bermula dari adik
tingkat bernama N yang menandai saya dalam pengumuman lomba puisi penerbit PL.
Secara garis besar, saya menarik kesimpulan mengenai ketentuan lomba yang
sebagai berikut:
1. Peserta
mengirimkan naskah
2. Naskah
pemenang dan nominasi akan dibukukan
3. Pemenang
dan nominasi mendapat potongan harga buku dan harus mengeluarkan biaya sendiri
ketika membeli
4. Buku
diperjualjualbelikan tanpa royalti kepada penulis, untuk umum
N yang membagikan informasi lomba. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Persyaratan lomba. Saya copy paste dari website bersangkutan. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Berhubung
saya dulu belum belajar UU ITE dan di masa itu saya masih meledak-meledak waktu
bicara kenyataan, jadinya ya… saya langsung terpantik untuk menulis persoalan
tersebut di blog. Apalagi, saya sempat berdebat dengan oknum penanggungjawab
alias PJ lomba yang cara bicaranya betulan tidak macam orang yang bergerak di
bidang literasi, jauh dari beretika. Oknum tersebut bernama R.
Salah satu percakapan dengan R selaku PJ even. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Jadilah
kemudian saya menulis mengenai penerbit PL dan oknum bernama R lengkap dengan
tangkapan layar segala keganjilan tanpa edit. Semua saya cantumkan jelas
beserta nama penerbit dan PJ yang asli. Setelah saya mengunggah tulisan
tersebut di blog, respon positif saya dapat dari teman-teman penulis, sebagian saya kenal dari Forum Lingkar Pena (FLP), Gramedia Writing Project (GWP), Citizen Reporter Harian Surya dan UKM Penulis UM. Teman-teman ternyata banyak yang merasakan kegeraman serupa terhadap oknum
demikian. Melecehkan profesi menulis adalah kalimat yang tepat bagi para oknum
tersebut.
Saya
tentu sebal ketika muncul akun anonim yang menyudutkan saya kemudian. Pikiran
buruk saya waktu itu mengatakan, bisa jadi ini dari pihak penerbit bersangkutan
yang merasa dirugikan dengan tulisan jujur saya tersebut. Atau bisa jadi, ada
oknum penerbit lain yang melakukan kecurangan sejenis dan juga merasa rugi
dengan unggahan demikian.
Komentar lengkap Afsha. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Sempat
juga saya curhat dengan mbak Puput, senior saya di FLP soal komentar
manipulatif tersebut. Mbak Puput saya ingat menanggapi begini,”Kamu mencemarkan
gimana? Mereka kan emang sudah cemar sendiri dari awal. Aku sama anak-anak FLP
dulu juga pernah kena kasus sejenis (bersinggungan dengan oknum penerbit indie
curang).”
Setelah
saya rasa tulisan tersebut sudah cukup disebarluaskan dan mendapat pembaca
yang tepat, pertengahan 2018 saya memutuskan menyembunyikan tulisan tersebut
dari blog. Traffic tulisan tersebut yang tinggi dan komentar yang masuk, menunjukkan banyak penulis memiliki kegelisahan serupa dan sama berusaha mencari tahu. Ini bukan berarti saya takut, namun saya berjanji akan menulis hal
sejenis dengan lebih cerdik. Tentu sebelum saya menyembunyikan tulisan
tersebut, saya sudah menyimpan tangkapan layar tulisan beserta komentar yang
masuk.
Begitu
banyak kasus dimana seseorang menceritakan fakta, namun ketika hal tersebut
ditulis dan dilempar ke ruang publik, orang tersebut justru menjadi salah di
mata hukum. Kita semua tentu ingat dengan kasus Prita Mulyasari dan komika Acho. Dengan cara menulis saya yang waktu itu lebih banyak mengajak pembaca
menelaah sendiri, posisi saya sebetulnya tidak lemah. Namun pada selanjutnya,
saya akan menulis kebenaran dengan lebih cerdik, jangan sampai ketika saya
menyebutkan nama pelaku yang bersangkutan, justru menjadi celah saya lemah di
mata hukum. Ya… UU ITE memang serba kikuk, bukan?
Bulan
Juni tahun ini, genap enam tahun saya menjadi narablog dan saya semakin
meyakini, bukan masalah bicara fakta melalui blog, kebenaran tidak pernah salah
ketika disuarakan. Blog sendiri tidak memiliki batasan tema dan gaya menulis,
sehingga lebih leluasa dipergunakan untuk bersuara. Namun dalam menyuarakan
kebenaran sekalipun, kita mesti cerdik. Maka saya tidak akan berhenti bersuara
dan akan jadi lebih cerdik ketika bicara fakta…
Tulisan ini disertakan dalam #KompetisiBlogNodi dengan tema Bangga Menjadi Narablog Pada Era Digital #NarablogEraDigital
Tulisan ini peringkat ke 59 dari 438 peserta. Total nilai 68.60. Itu pun, peringkat 59 dan 60 total nilainya sama hehe. Saya cuma menang abjad awal nama.
Penyelenggaraan kompetisi ini sangat profesional dan berkesan. Menghargai tulisan peserta dan edukatif juga. Usai kompetisi, seluruh peserta, mendapat komentar dari juri via email. Bahkan soal saya yang kurang teliti menulis kata 'dimana', tidak luput dari komentar.
Tulisan ini peringkat ke 59 dari 438 peserta. Total nilai 68.60. Itu pun, peringkat 59 dan 60 total nilainya sama hehe. Saya cuma menang abjad awal nama.
Penyelenggaraan kompetisi ini sangat profesional dan berkesan. Menghargai tulisan peserta dan edukatif juga. Usai kompetisi, seluruh peserta, mendapat komentar dari juri via email. Bahkan soal saya yang kurang teliti menulis kata 'dimana', tidak luput dari komentar.
Komentar juri. Sumber: Dokumentasi pribadi. |
Komentar juri. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Komentar juri. Sumber: Dokumentasi pribadi. |
3 comments:
Bener banget mbak, kebenaran harus disuarakan (dengan cara yg cerdik) jangan didiamkan saja, karena nanti korbannya makin banyak.
Saya juga pernah ikut event antologi menulis dari salah satu penerbit indie tapi memang nggak berminat beli bukunya jadi cuma dapat sertifikat saja. Ya masih mending yah saya dapat sertifikat daripada kejadiannya kayak yang mbak sebutkan di atas. Klu nggak beli bukunya nggak dapat sertifikatnya juga. Kan jadi miris ya, penerbit indienya yg untung padahal dalam buku itu ada karyanya kita. Setidaknya dihargailah dengan oemberia e-sertifikat.
Hai, Siska. Makasih ya sudah mampir ke blog saya.
Iya, memang serba kikuk. Kalau kita yang ikut even demikian menuntut yang sebenarnya hak, kita akan dituduh sebagai penulis yang bermental lemah dll. Dan mereka yang macam begini aslinya bukan betulan orang literasi, makanya nggak peduli hak dan kewajiban.
Saya akan mengunjungi balik blogmu. Salam kenal.
Saya sudah tobat dulu pernah ikut mbak... heheheeh artikel yang menarik. Semangat menulis terus ya mbak....
Post a Comment