Monday, June 17, 2019

Tali Merah (1)

Coreted by: @unartifisial

Semuanya ada sepuluh orang dan kamu bisa melihat mereka sampai ke dalam tulang, gajih dan aliran darah. Namun yang satu itu beda, perempuan pula. Kecuali soal hitung menghitung dan fisika, semua yang kamu miliki, pula dimiliki gadis itu. Tidak, bukan cuma itu. Ia, gadis berambut cepak itu bahkan mampu membaca kenyataan lebih darimu. Yang satu itu kelak membuatnya punya nama, kehormatan dan duit melimpah. Kamu ingin menerkam dan mencekik gadis itu diam-diam, segera setelah bilang padamu,”Rambutmu standar industri banget, ini nggak keramas tiga hari sih aman. Nggak macam rambutku.” Receh, tidak penting, sekaligus ada ketulusan yang menggetarkan inti nuranimu. Ketulusan yang justru makin membuatmu ingin mematahkan tangan dan kaki gadis yang nyaris tidak memiliki alis itu, tepat hari itu, di hari pertama kalian berjabat tangan. Ah, tepatnya dia yang memaksa menjabat tanganmu lebih dulu.

Semasa Sekolah Dasar, kamu dicap sangat pintar dan punya teman begitu banyak. Disayang guru dan lulus dengan rata-rata sangat tinggi membikinmu masuk sekolah yang dicap favorit oleh masyarakat ketika sekolah menengah dan bahkan ketika kuliah pun, kamu dengan mudah masuk universitas impian orang banyak. Tapi gadis itu tidak, dia...

Dia menjalani hidup dengan tertatih-tatih, bahkan sesaat sebelum kalian bertemu. Jika hasil tes IQmu jenius, dia rata-rata bawah. Tapi, bagaimana bisa gadis seberbahaya dia IQnya hanya segitu? Bahkan jika tidak lebih dulu melempar ramuan itu di belakang punggungnya, kamu tidak yakin gadis itu akan menunduk ketika memandang matamu. Kelak ramuan itu, akan membuat gadis itu gelisah saban hari, menanti-nanti kamu sekeras hatinya dan meski Tuhan bilang jawabannya bukan kamu, dia akan ngeyel dan hancur pelan-pelan.

Maka ramuan itu mulai memunculkan tali tipis berwarna merah. Kamu mengaitkan tali itu lagi-lagi di punggung si gadis, segera setelah dia mengajakmu bercanda di depan kamar mandi. Dia berlalu saja, bahkan tanpa sakit hati ketika kamu tidak menggubris candaanya. Saat dia memunggungimu dan berlalu, segera kamu mengaitkan tali merah itu selapis demi selapis hingga berbulan-bulan berikutnya gadis itu kira dia mencintaimu; lelaki yang gemar minum, jauh dari imej relijius, seks sebelum nikah dan bahkan seksis setengah mati, sama sekali bukan tipenya dan bagaimana bisa ia lumpuh dan tetap merasa mencintaimu? Ramuan dan tali merah itu...

“Ini gambarmu? Wih, bagus ya...” ucap gadis itu bersemangat, ketika melihat buku catatan yang di bagian belakangnya terdapat gambar karyamu. Gambar yang ngasal saja sebenarnya.

Kamu tahu, perlakuan si gadis, apapun itu tidak istimewa. Ia berlaku sama pada delapan orang lainnya. Dan di hari terakhir acara tersebut, kamu melihatnya nyaris menangis waktu mempresentasikan ketertarikannya terhadap gender. Dia satu-satunya orang yang menaruh minat pada bidang itu, presentasinya disertai cerita bagaimana teman sekitarnya menanggung luka akibat perkosaan halus. Sekali lagi, dia menyentuh inti nuranimu dan jika saja membunuh seseorang tidak memiliki landasan hukum, kamu pasti mengambil pisau dari dapur terdekat dan merobek mulut gadis itu, mencacahnya jadi delapan belas bagian, lantas merayakan kemenangan. Empati... Sesuatu yang bahkan sulit menyentuh inti nuranimu sebanyak apapun membaca soal itu. Gadis itu, ia memilikinya...

Si gadis, bisa melihat delapan orang lainnya dengan jelas, sedalam tulang, gajih dan darah, kecuali dirimu. Kamu menyampuli dirimu rapat-rapat dengan jati diri yang lain; yang setia kawan, yang apa adanya dan yang... Ya, pokoknya sampul sekelas yang kamu buat saat itu, belum mampu ditembus si gadis.

Menahun kamu menaati tata cara beragama, demi mendapat pintu-pintu paling dekat dengan Tuhan. Pikirmu dulu, Tuhan paling sayang padamu dengan anugrah kedua bola mata yang mampu membaca dua halaman buku, hingga kelancaran akademis juga kamu kira bentuk kasih sayangNya. Namun rangkaian kesusahan dalam hidup gadis itu membuatmu sadar, Tuhan lebih sayang padanya. Dicap bodoh semasa sekolah, nilai kelulusan pas-pasan yang selalu membuat susah mencari sekolah hingga cap tidak normal dari sekitar karena kesusahan bergaul. Ketika masuk dan melihatnya sejauh itu, kelebat tepuk tangan dan pelukan hangat sangat riuh, berdesakan dan itu jauh... Jauh di masa depan gadis itu.

Ia autentik. Skenario pengalaman buruk dari Tuhan, membuatnya autentik. Jika kemampuan musik, menghapal ratusan buku dan menyelesaikan rumus-rumus fisika milikmu ternyata dimiliki jutaan orang serupa, tidak dengan gadis itu. Namun satu hal, pengalaman membunuh yang bukan cuma sekali membuatmu yakin bisa melumpuhkan gadis bergigi kuning itu. Meski diam-diam kamu menyesali mengapa pula belajar kelewat jauh. Jika saja kamu tidak bisa masuk dan melihat lintas waktu, bukankah itu tidak akan membuatmu secemas itu? Bukankah hidup akan jadi kejutan-kejutan manis dan sakit selagi kamu terus berlari dan dibodohi sesuatu yang namanya harapan?

Maka benar, jika kamu tidak ingin membunuh gadis itu. Kamu ingin membuatnya rusak dari dalam, pelan-pelan. Matamu tersenyum setiap kalian bertemu, semakin lama mengulur waktu kematiannya. Ya, meski tali merah itu bukan hanya pada gadis itu kamu lilitkan. Pada berikutnya, kamu betul mengulurnya 360 hari penuh. Dan masih kamu, yang habis-habisan mengaburkan peringatan dari Tuhan padanya atas kesakitan yang sedang dan akan kamu timbulkan.

Tali merah itu lama-lama berubah menjadi hitam, melilit dalam tulang, gajih dan darah si gadis. Otak dan hatinya pun makin sewarna, mulanya abu-abu dan ia mulai kesulitan menulis, hobi yang serupa milikmu, namun bagaimana cerita-cerita sehari-hari gadis itu bisa jauh memikat orang banyak ketimbang tulisan-tulisan hasilmu menghapal ratusan buku? Itu tidak adil.

Saban hari, tali-tali itu kian pekat disertai kelegaan luar biasa dalam batinmu. Satu orang lagi yang kelak bisa lebih cerah ketimbang dirimu, tengah menuju tamat dan ia... Adalah si gadis.

No comments: