Sumber: Gugel |
Membayangi manusia sejak jadi segumpal darah, adalah takdir saya. Lucunya, saya pun diberi nama Takdir entah oleh siapa. Sang entah oleh siapa itu, yang memutuskan segumpal darah bakal diberiNya nyawa atau tidak. Sering juga, segumpal darah itu luruh begitu saja dari dinding rahim si ibu. Jika demikian, mati adalah takdirnya bahkan sebelum mencicipi dunia.
Dari sekian manusia yang saya bayangi, ada satu yang paling menarik hati. Seorang lelaki, belum 40 dan gemar memakai sepeda bebek kemana-mana. Belasan tahun lalu, ia lulus sarjana hukum. Saban malam, saya melihatnya bersujud kepada Dia yang menamai Takdir kepada saya. Betapa Dia menyayangi lelaki itu hingga satu waktu, peluru yang hampir menembus perut, diperintahkannya meleset. Tentu melalui jari-jari saya.
Di lain waktu, tali-tali hitam merajah darah dan nadi lelaki itu. Ia menggelepar di atas lantai dan nyaris kehilangan napas. Namun, Dia membuat seorang rekan jauh dari lelaki itu tergerak datang dan bantu menyembuhkan. Lagi-lagi, saya petugas lapangannya. Tali-tali hitam itu, saya buat sirna seketika melalui jari si rekan jauh.
Ketika saya menarik garis waktu yang panjang, si rekan jauh itu putrinya sempat menjadi korban pelecehan dan lelaki itu di masa yang lampau sekali, habis-habisan membela dengan ilmu hukum yang ia punya. Dan bahkan, lelaki itu tidak begitu ingat pernah membantu siapa saja dan atas sebab apa.
Di lain waktu, ia juga mengadvokasi para buruh dan merangkul rekan perempuannya yang jadi korban percobaan perkosaan. Kelegaan di antara rasa sesak dan kegelapan oang-orang yang ia bantu, telah menggetarkan tiang-tiang penyangga rumahNya, Dia yang telah memberi saya nama. Hal demikian membuatnya begitu beken di antara makhluk langit dan bahkan di antara makhluk kerak terdalam bumi. Ada inti dalam dada kami semua yang tergetar oleh karena ia. Tidak heran, Dia kerap memerintahkan saya membuat peluru meleset dari lelaki itu, hingga magi-magi hitam sekalipun.
Namun hari itu, saya mesti menjalankan satu hal yang lagi-lagi sesuai nama yang diberikanNya. Hanya saja, tugas hari itu sungguh membuat ingin menangis juga sesak. Lelaki itu, ditakdirkan mati pagi hari ketika naik pesawat. Saya mengintilinya sejak ia masuk dalam pintu pesawat. Perjalanan Jakarta-Amsterdam adalah yang terakhir buat dia. Saya gemetaran manakala malaikat maut berjalan pula berbarengan dengan saya.
“Jangan ndeso kamu. Ini bukan kali pertama kamu menyaksikan orang mati, bukan?” ucap malaikat maut cuek. Namun diam-diam, saya melihat kantung matanya penuh dengan air yang siap meluncur deras.
Maka lelaki itu pun sungguh mati, manakala memakan makanan yang disajikan di hadapannya. Malaikat maut buru-buru berlari setelah melaksanakan tugasnya. Air mata meleler di pipinya, pun saya yang berdiri dengan gemetaran menyaksikan lelaki itu dikerubungi seluruh kru pesawat dan penumpang.
Bisik-bisik para pembawa racun yang tengah menelepon seorang penyuruhnya, terdengar. Entah dari bagian pesawat yang mana. Dengan nada penuh keyakinan, si pembawa racun mengatakan bahwa misi yang ia emban memang selalu berhasil. Ia mendaku bahwa dirinya tidak seperti para pembawa misi yang terdahulu, yang mana mereka selalu gagal membunuh lelaki itu. Gigiku bergemeretak mendengar napasnya yang mendengus bangga. Makhluk yang demikian tidak bakal memahami, bahwa ia selama ini sedang berusaha memutus ketetapan Tuhan melalui diri saya. Adapun kegagalan dan keberhasilan, terjadi bukan karena ia. Dasar pembunuh jancuk…
Pihak berwenang melakukan penyelidikan alakadarnya dan menangkap pilot pesawat sebagai dalang kemudian. Saya bertanya padaNya, kenapa tidak diijinkanNya saya menangkapi semua bajingan yang sungguh menjadi dalang. Lantas Dia pun menjawab, semuanya sudah sesuai dengan nama yang diberikanNya pada saya.
Menahun berikutnya, kematian lelaki itu terus diperingati dan menjadi bahan bakar perlawanan, bukannya jadi ketakutan. Bahkan hingga hari ini… bahkan hingga hari ini…
Dan itu semua terjadi sesuai nama yang diberikanNya kepada saya, Takdir.
No comments:
Post a Comment