Ada kasus kekerasan seksual...
Aku nggak ngerti psikologi...
Nggak ngerti hukum...
Bukan aktivis...
Nggak punya akses membantu...
Lalu aku harus gimana?
1. Nggak usah menegasikan kasus
Kita nulis di media sosial isinya,’Kalau aku nggak ikut bahas yang lagi ramai ya.’
Kalau nggak mau ikut bahas, diam. Penyintas ada di sekitar kita dan cara menulis macam demikian hanya membuat mereka merasa kejadiannya nggak valid. Ada perasaan,’Temanku menganggap ini nggak penting, berarti akunya aja yang bawa perasaan.’
Yakinlah di sekitar kita ada penyintas. Penyintas ini bahkan bisa dari teman terdekat kita sendiri atau orang yang nggak kita duga-duga. Mereka sedang melihat keberpihakan kita dan berani bersuara tergantung dari itu semua.
2. Kita berhubungan baik dengan pelaku? Rem dulu
Selagi belum ada kejelasan nasib penyintas, nggak usah tunjukkan kedekatan dengan pelaku. Misalnya habis ngopi bareng lalu bikin story atau membagika karya tulis pelaku di media sosial kita.
Ingat, para penyintas ada di sekitar. Bisa jadi itu teman terdekat kita sendiri ataupun orang yang nggak diduga-duga.
Menunjukkan hubungan baik dengan pelaku sangat tidak strategis bagi kondisi psikologis penyintas. Penyintas akan berpikir,’Temanku berteman baik dengan pelaku, jadi aku nggak boleh ngomong daripada merusak pertemanan mereka.’ Atau,’Temanku ngopi dan promo karya pelaku, berarti dia ada di pihak pelaku.’
3. Punya cukup keberanian? Mari, tunjukkan sikap...
Yang berat ini sih. Apalagi kalau pelaku punya hubungan baik dengan kita, lebih-lebih yang selama ini hubungannya merasa pakai simbiose. Jadi ini hanya bisa dilakukan untuk kita yang cukup punya keberanian, yaitu dengan membagikan kasus pelaku di media sosial.
Mau kasih caption atau pernyataan sikap tapi berat? Nggak usah pakai pun nggak mengapa, cukup bagikan. Demikian membuat penyintas percaya diri untuk bersuara semacam,’Oh, temanku membagikan kasus ini. Berarti dia percaya denganku.’
Mengutip Anindya Restuviani Holaback Jakarta via Asumsi.co...
“Percaya pada korban sebelum terbukti sebaliknya adalah kunci utama, bukan malah menuduh aduan tidak berdasar. Butuh waktu dan kekuatan yang besar bagi korban untik mengungkap kejadian yang mereka alami.”
4. Nggak punya kapasitas tapi kepo? Rem dulu...
Berapa banyak dari kita yang ketika kasus naik, malah kepo seiapa yang menaikkan kasusnya dan siapa penyintasnya? Kalau ada perasaan seperti ini, tahan dulu. Apalagi tujuannya hanya kepo, tanpa kapasitas mendampingi secara psikologis maupun hukum.
Memangnya selain memenuhi rasa penasaran kita, hal apa sih yang dicari dari kepo-kepo begini? Kalau sudah tahu siapa yang menaikkan kasusnya lalu apa? Kalau sudah tahu profil penyintasnya lalu apa? Dijadikan bahan obrolan di tempat kita nongkrong supaya terlihat,’Aku lho yang paling tahu banyak informasi.’ Begitu?
Jadi hal apapun yang kita rasa nggak menyumbang pemulihan penyintas, baiknya direm dulu.
Catatan: Pernah diunggah di Instagram story dan feed, pertengahan 2020.
No comments:
Post a Comment