Sumber: Gugel |
Saya selalu benci ketika dulu, ibu kerap membuat
negasi ketika saya nampak sedih dan luka. Kata ibu, banyak di luar sana yang
masalahnya lebih parah dan mestinya dan mestinya saya bersyukur.
Jadilah saya terbentuk tidak gemar bercerita pada ibu.
Apapun saya cerna, atasi dan simpan sendiri. Butuh waktu lama hingga saya
betulan bisa berkata pada ibu kalau ucapan demikian hanya menambah luka dan
kalau orang yang ada di hadapan sedang depresi, dia bisa langsung berangkat
bunuh diri.
Tapi toh ibu jelas bukan satu-satunya orang yang gemar
melakukan negasi demikian. Bab ibu ini saya pungkasi dengan; orang-orang jenis
ini tidak paham rentang waktu. Bahwa tidak ada masalah lebih berat atau lebih
ringan bagi seseorang. Yang beda hanya soal waktu. Ketika si A mendapat beban
luka 10 kg di usia 13 tahun, bisa jadi si B mendapat beban luka 23 kg di usia
yang sama. Tapi lain waktu, bisa jadi beban yang 23 kg itu dialami juga oleh A
kelak di usia 30 tahun.
Memahami ini bakal membuat kita tidak bakal terlalu
percaya diri bicara,”Oh, kalau aku sudah ngalamin sih masalah kayak gitu jaman SMA...”
Lain ibu, lain pula abangnya seorang teman. Waktu si teman ini patah
hati, abangnya itu berkata,”Maaf bilang gini ya. Berdasar dari pengalamanmu,
kamu tuh nggak spesial. Bahkan orang lain di dunia ini bisa jadi masalahnya
lebih buruk.”
Bau-bau nihilis...
Ya, dia emang
Aku dulu iya
Aku pikir dia nihilis, tapi percaya Tuhan
Meski hampir mengeluarkan kalimat nyaris serupa, ibu
saya memang mengeluarkan kalimat itu karena sekali lagi, tidak memahami
rentang waktu, sedang kakak si teman itu memang seorang nihilis yang semacam yawis
manusia emang ya gitu-gitu aja. Kedua orang ini juga punya latar belakang
perjalanan hidup yang berbeda meski mengeluarkan kalimat hampir serupa.
Meski saya dulunya sempat jadi nihilis dan hanya
kesampaian berpikir manusia hidup atau tidak ya begitu saja, saya jadi
membayangkan ucapan ibu saya dan abangnya si teman diterapkan pada penyintas
kekerasan...
Oh, kamu kena sampai petting doang. Aku
nih sampai fingering.
Ealah, kamu kena sama dijebak doang. Dia tuh sampai nggak bisa kabur.
Merinding.
Yang jelas, justru ketika berkali hampir mati saya malah melihat dengan terang... Kita, manusia berhak merasa punya rasa sakit yang paling berat pada satu waktu. Perasaan demikian tentu saja valid dan memang harus diakui. Namun pada waktu-waktu yang yang lain, setelah kita berhasil mengatasi rasa sakitnya... Bahkan dalam hati pun kita tidak berhak merasa lebih berjuang ketimbang orang lain. Hingga sebagai orang yang tidak paham rentang waktu, tidak akan ada ucapan macam ibu saya dan sebagai nihilis macam kakaknya si teman itu... Ya, tapi kalau nihilis memang gitu lah ya wqwq.
Bagian ini klise tapi percayalah, ceritamu berharga. Tidak ada pengalaman personal manusia yang sama persis satu sama lain...
Dah yes, yang berusaha sok berbeda dan rebel, dengan
menegasikan pengalaman orang lain, melipir dulu setelah baca paragraf barusan. Karena
kita yang menuduh orang lain membahas hal seragam, lebih jauh tanpa beda dengan yang lain, sesungguhnya akeh pisan kok tunggalanmu.
No comments:
Post a Comment