Friday, April 9, 2021

Validasi Maskulinitas dan Upaya Perempuan Menyatakan Perasaan

 

Sumber: Gugel


Ketika mahasiswa baru, sempat saya sering jalan bareng dan berdiskusi dengan seorang sahabat lelaki yang juga satu offering. Ia di masa itu pernah menceritakan bagaimana semasa MAN ada kakak kelasnya menyatakan perasaan terlebih dahulu hingga akhirnya mereka berpacaran. Masih kakak kelas itu juga yang memberi hadiah kitab suci ketika si sahabat ini berulang tahun. Dari mata si sahabat ini, ada sinar kebanggaan dan kepuasan yang berbeda meski ketika bercerita, status dengan kakak kelasnya itu sudah menjadi mantan. Batin saya waktu itu,"Ini ada yang ganjil, tapi apa ya?"

Perasaan ganjil yang belum mampu saya ungkap kala itu ternyata, soal perempuan yang menyatakan perasaan terlebih dahulu. Sinar mata sejenis itu belum pernah saya temukan dari teman perempuan yang mendapat pernyataan perasaan terlebih dahulu dari lelaki. Tapi mengapa demikian?

Di akhir kuliah, pernah juga saya mengobrol dengan teman lelaki yang ternyata satu SMP dengan yang namanya Andin. Saya, Andin dan lelaki ini pernah satu TK dan beda satu tingkat saja. Di antara obrolan kami, ia kemudian mengatakan bahwa Andin pernah suka dengannya semasa SMP. Lagi-lagi ada sinar mata penuh kebanggaan. Sinar mata itu, sama persis dengan sahabat lelaki yang saya ceritakan di awal tadi.

Sebaliknya, Andin justru sama sekali tidak pernah menyinggung soal menyukai kakak kelasnya di SMP. Kali terakhir kami berjumpa ketika pertengahan kuliah, ia justru menceritakan laki-laki lain yang tengah dekat dengannya. Saya menengarai, teman lelaki kami itu menganggap kejadian Andin yang suka dengannya sebagai kejadian monumental. Monumental karena baginya, perasaan Andin yang seorang perempuan ternyata bisa sangat kentara hingga banyak orang di SMP tahu. Sebaliknya Andin yang ternyata menganggap kisah demikian hanya soal hari yang telah lalu, hingga bahkan tidak menarik lagi diceritakan. Tapi bagaimana bisa?

Saya pun mundur pada waktu yang lebih panjang lagi, ketika SMK. Ibu pernah mengatakan perempuan tidak boleh menyatakan perasaan lebih dahulu. Hal yang tidak pernah saya amini ini bukan dilatarbelakangi cara ibu membedakan tugas lelaki dan perempuan. Semua ternyata bersumber dari kisah teman perempuannya sendiri semasa sekolah dulu. Teman ibu menyatakan cinta terlebih dahulu pada lelaki dan ditolak. Sayangnya, lelaki tadi malah mengumumkan nama teman ibu ke seantero sekolah sehingga temannya tadi kerap diejek beramai-ramai. Jika memang tidak menyukai seorang gadis dan merasa berhak menolak, mengapa ia merasa menang dan lagi merasa layak membikin malu? Teman ibu tidak mencuri kas kelas apalagi korupsi uang negara. Jadi bagaimana bisa?

Semakin bertambah usia, saya akhirnya pun memahami. Pengalaman buruk teman ibu ketika menyatakan perasaan terlebih dahulu bukan salahnya. Kesalahan juga bukan milik si lelaki dan anak-anak lain di sekolah yang merasa berhak menertawakan keputusan teman ibu. Keputusan yang barangkali jauh melebihi jamannya. Keputusan yang barangkali mudah dicap sebagai murahan. Tugas perempuan adalah menunggu dan tugas lelaki adalah memilih. Ah, ini dia. Ini dia konsep yang mencuci pemahaman dalam kepala hampir semua dari kita selama ini.

Konsep ini pula yang agaknya diwariskan generasi terdahulu dari sahabat hingga teman lelaki saya itu. Mereka pada akhirnya meyakini pesona mereka tentu luar biasa, hingga perempuan yang mereka yakini memiliki kodrat menunggu, sampai menunjukkan perasaannya terlebih dahulu. Ada piala yang seolah mereka dapat dari ini semua. Piala yang memberi validasi maskulinitas mereka, kelelakian mereka.

Meski sebetulnya, lelaki maupun perempuan, salah satunya juga tidak perlu diberi tepuk tangan berlebih apabila berani menyatakan perasaan lebih dahulu. Tidak perlu merendahkan, namun juga tidak perlu mengunggulkan berlebihan. Prosesi merendahkan atau memuji berlebihan bagi perempuan yang mengungkap perasaannya lebih dahulu misalnya, hanya akan membuat kukuh konsep soal perempuan menyatakan perasaannya lebih dahulu adalah eksklusif.

Dan benar, teman dan sahabat lelaki yang saya ceritakan di atas tadi pun sama-sama korban. Korban dari konsep turun temurun bahwa lelaki semestinya begini dan perempuan semestinya begitu. Upaya para lelaki ini untuk mencari validasi maskulinitas dengan perasaan menang dan mempermalukan, tidak begitu saja hadir dengan tiba-tiba...

No comments: