Dimuat dan dapat pula dibaca di Konde.co
Jangan salah fokus untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual. Dengan berbagai alasan, pelaku sering meminta korban untuk diselesaikan secara damai atau diproses hukum secara berbelit-belit. Maka, jangan pernah salah fokus, tetap fokus ke penuntasan dan hak korban!
Upaya meruntuhkan para korban untuk menuntaskan kasusnya sudah banyak kita dengar. Dengan berbagai alasan, pelaku sering meminta korban untuk:
“Diproses saja secara hukum.”
“Diselesaikan saja secara kekeluargaan.”
“Diselesaikan saja secara damai.”
“Menjegal” para korban untuk menuntaskan kasusnya dengan proses hukum yang berbelit-belit memang mempersulit korban. Mereka harus mencari pendamping yang bisa mendukung, mencari psikolog sambil menuntaskan kasus hukumnya. Bisa saja kasusnya harus dibawa ke polisi, lalu ke pengadilan. Banyak sekali tenaga dan waktu yang harus digunakan korban untuk menuntaskannya. Belum lagi mengobati rasa sakit dan trauma yang belum tentu bisa hilang dalam hidupnya
Sayangnya, banyak yang masih beranggapan bahwa sebuah kasus tidak akan valid jika tidak diproses secara hukum. Meski sesungguhnya, ada dua jalur yang dapat diambil dalam kasus kejahatan termasuk kejahatan seksual, yaitu melalui jalur litigasi (pengadilan) dan non litigasi (di luar pengadilan). Penyerahan kasus atas permintaan pelaku pada korban melalui jalur hukum kadang hanya agar kasus ini lama diselesaikan dan pelaku terlepas dari sorotan publik
Perlu diingat, jalur non litigasi artinya bukan berdamai dengan pelaku, apalagi mempertemukan paksa antara pelaku dengan korban. Jalur non litigasi salah satunya dapat dilakukan dengan mengajukan berbagai bukti yang telah divalidasi melalui lembaga kredibel, agar pelaku mendapatkan sanksi dari tempatnya bekerja atau lembaga tempatnya mengenyam pendidikan. Sanksi dari lembaga pendidikan salah satunya dapat diajukan melalui jalur etik. Upaya ini dilakukan agar setidaknya di salah satu lingkungannya, pelaku berhenti mencari mangsa.
Selain penjegalan pada para korban, penjegalan juga sering dialami pendamping korban. Ternyata banyak kasus atas upaya penjegalan pada para pendamping korban ini, para pendamping korban juga ada yang menerima kekerasan mental dan fisik secara langsung, penghancuran karakter pendamping juga pernah terjadi dan kerap pula dilancarkan pelaku dan para pendukungnya agar publik tidak lagi berpihak kepada korban.
Belajar dari kasus intimidasi dan kekerasan fisik terhadap pendamping korban yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Jombang, kasusnya memang sudah bergulir semenjak 2019 di ranah hukum dan kini pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka, namun kekerasan terhadap pendamping masih terjadi pada Mei 2021. Kronologi tersebut beredar melalui Instagram Front Santri Melawan Kekerasan Seksual atau @for.mujeres. Saat kejadian, pendamping korban didatangi enam orang laki-laki dewasa yang mengancam hingga membenturkan kepalanya ke dinding.
Lebih jauh, upaya semacam ini tentu saja menyasar tidak hanya terhadap korban/ penyintas, namun juga menyasar hingga lembaga yang menaungi penanganan kasus. Seperti apa saja upaya penjegalan yang kerap dilakukan pelaku?
Apa saja informasi yang dihembuskan oleh pelaku kepada lingkungan korban dan pendampingnya?
1.Pelaku menghembuskan informasi tentang kecacatan moral korban
Pelaku dan para pendukungnya menghembuskan kabar soal kecacatan moral korban. Mereka akan mencari-cari bagaimana gaya berpacaran korban hingga interaksi korban dengan lawan jenis. Faktanya akan digiring sedemikian rupa hingga publik menyimpulkan korbanlah yang mengundang kekerasan seksual tersebut bisa terjadi. Akhirnya, publik akan menormalisasi perbuatan pelaku.
2.Pelaku mencari kejelekan pendamping korban
Pelaku dan para pendukungnya kerap juga mencari-cari latar belakang organisasi, ideologi, hingga orientasi politik pendamping. Para pendamping dicitrakan secara buruk dan punya dendam pribadi
3.Pelaku mencitrakan dirinya sebagai orang yang berjasa
Pelaku membentuk citra seolah ia adalah figur yang sangat berjasa di lingkungannya, meski sesungguhnya semua hanya citra dan demi mencari mangsa. Publik yang semula mendukung penuh korban, lama-kelamaan sebagian mulai menarik dukungan. Mereka mulai menyangsikan sepak terjang korban dan pendampingnya, sehingga fakta kejahatan pun diragukan pernah ada. Lama-kelamaan publik mengartikan ini sebagai validasi bahwa kejahatan itu tidak pernah ada.
Kita semua tentu juga berharap, publik selalu berpikir kritis, yaitu tetap berpijak pada fakta bahwa kekerasan atau pelecehan seksual itu ada, jangan mau dibelokkan dengan informasi yang dibuat-buat dan tak relevan.
Mengandalkan perangkat hukum semata tentu tidak mudah dalam mengakhiri lingkaran kekerasan semacam ini. Sebagai bagian dari masyarakat, kita mesti turut andil menjadi sistem pendukung karena penyintas adalah kita semua yang berani bersuara!
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)
POPPY TRISNAYANTI PUSPITASARI
Pegiat perempuan muda dan aktif di Jaringan Gusdurian
Catatan:
Tulisan sudah disunting dengan gaya khas Konde