Lembar
Pertama
Kamu…
Saya
ingat, kamu dulu pernah bicara soal memori di kepala manusia yang terbatas.
Sejak
kamu bicara soal itu, saya setuju penuh. Meski pada nyatanya, saya belum paham
penuh soal kata-katamu itu.
Sekarang,
saya mulai paham. Pemahaman saya mulai penuh.
Saya
sering mencoba mengingat hal-hal baik waktu kita masih bareng. Tapi sayang,
ingatan yang muncul pertama selalu soal bagaimana kita saling menyakiti.
Sepertinya,
jika menurut urutan folder dalam kepala saya, bagaimana kita saling menyakiti
masih disimpan dala susunan paling depan.
Maka,
saya sedih. Mengingat hal buruk bukan kesukaan saya, bukan niat saya. Kamu
kenal saya, kan?
Folder-folder
dalam kepala seperti sepakat berkhianat buat melawan saya. Melawan inginnya saya
mengingat hal-hal baik soal kita.
Maka,
saya benci. Mengingat hal baik benarnya jadi kesukaan saya, jadi niat saya.
Kamu kenal saya, kan?
Lepas
nanti akan ada pertemuan kembali antara kita atau tidal, saya akan terus
berusaha mengingat hal-hal baik yang terdahulu. Hal-hal yang sesal saya sudah
saya bakar dan robek waktu saya mulai kalap pada kamu.
Lembar
Kedua
Kamu…
Selamat
berjalan. Jangan lupa pakai sandal biar kakimu ndak kena batu.
Hal-hal
baik menyertai kamu setelah ini.
Saya ndak harap surat ini ada balasannya kok.
Kamu simpan aja sudah syukur-syukur. Saya ngerti kok, kamu ndak suka baca, ndak suka
puisi, apalagi nulis surat beginian.
Sebenernya,
terapi nulis itu bagus buat orang yang tipe kepribadiannya kaya kamu. Saya
rekomendasikan terapi macam itu biar kamu lebih mudah jujur dan kenal siapa
dirimu sendiri.
Bareng
surat ini, saya coba sertakan hal baik antara kita. Dokumentasi yang tersisa.
Syukur-syukur kalau kamu rela simpan.
Saya
benci mengingat hal buruk… saya ucapkan sekali lagi.
Poppy.
Lembar
Ketiga
Kamu…
Bukan
kali pertama, saya bertanya pada Tuhan soal…
“Mengapa?”
“Mengapa
hal-hal baik antara kita, bisa berubah jadi hal-hal yang saling menyakiti?”
Saya
tidak perlu tanya pada kamu, apakah kamu pernah coba tanya hal yang sama. Tidak
perlu. Meski sungguh saya ingin.
Karena
‘tidak’ bisa jadi ‘iya’ dan ‘iya’ bisa jadi ‘tidak’ jika lewat lidahmu. Jadi,
saya tidak pernah terlalu suka betanya pada kamu.
Yang
penting, saya sudah merangkai jawabannya meskitidak sendiri, tapi dengan
berbagai kejadian dari Tuhan yang terus saja menggiring.
Tuhan
pasti tahu, kita susah diletakkan pada jalan masing-masing selama kita terus
bareng. Cuma dengan saling menyakiti, kita kemudian bisa tegas berada di jalan
masing-masing.
Jika
saja, saling menyakiti itu tidak pernah ada, barangkali kita akan makin lebur
dalam nyaman dan lupa mencari jalan masing-masing.
Jika
saja, saling menyakiti itu tidak pernah ada, barangkali kita akan kelewatan
saling membela. Kita bakal lupa, mestinya masing-masing dari kita kita
menguatkan diri masing-masing, bukan menerus saling bela.
Lembar
Keempat
Karena
Tuhan baik pada kita, Kamu…
Sangat
baik.
Dia
tidak membiarkan kita berdua terus melemah, ingin terus bareng tanpa berani
mengambil masing-masing jalan yang sesuai…
Kamu,
terimakasih…
Terimakasih
buat pertemuan kita.
Terimakasih,
orang baik.
Saya
sedang berusaha merekam dan mengingat hal-hal baik. Semoga kamu juga… saya
sedang memaksamu.
Eh…
saya sudah siap jawaban bila aja kamu nanya kenapa surat ini kertanya kuning,
tintanya ijo.
Ini
warna favorit. Ndak ada niat apa-apa.
Kamu pasti ingat, warna-warna ini juga warna baju yang sering saya pakai dulu.
Mungkin norak bagi kamu, tapi lucu bagi saya.
Poppy.
No comments:
Post a Comment