Friday, June 10, 2016

Sebuah Surat Buat Mengingat Hal Baik

Lembar Pertama
Kamu…
Saya ingat, kamu dulu pernah bicara soal memori di kepala manusia yang terbatas.
Sejak kamu bicara soal itu, saya setuju penuh. Meski pada nyatanya, saya belum paham penuh soal kata-katamu itu.
Sekarang, saya mulai paham. Pemahaman saya mulai penuh.
Saya sering mencoba mengingat hal-hal baik waktu kita masih bareng. Tapi sayang, ingatan yang muncul pertama selalu soal bagaimana kita saling menyakiti.
Sepertinya, jika menurut urutan folder dalam kepala saya, bagaimana kita saling menyakiti masih disimpan dala susunan paling depan.
Maka, saya sedih. Mengingat hal buruk bukan kesukaan saya, bukan niat saya. Kamu kenal saya, kan?
Folder-folder dalam kepala seperti sepakat berkhianat buat melawan saya. Melawan inginnya saya mengingat hal-hal baik soal kita.
Maka, saya benci. Mengingat hal baik benarnya jadi kesukaan saya, jadi niat saya. Kamu kenal saya, kan?
Lepas nanti akan ada pertemuan kembali antara kita atau tidal, saya akan terus berusaha mengingat hal-hal baik yang terdahulu. Hal-hal yang sesal saya sudah saya bakar dan robek waktu saya mulai kalap pada kamu.

Lembar Kedua
Kamu…
Selamat berjalan. Jangan lupa pakai sandal biar kakimu ndak kena batu.
Hal-hal baik menyertai kamu setelah ini.
Saya ndak harap surat ini ada balasannya kok. Kamu simpan aja sudah syukur-syukur. Saya ngerti kok, kamu ndak suka baca, ndak suka puisi, apalagi nulis surat beginian.
Sebenernya, terapi nulis itu bagus buat orang yang tipe kepribadiannya kaya kamu. Saya rekomendasikan terapi macam itu biar kamu lebih mudah jujur dan kenal siapa dirimu sendiri.
Bareng surat ini, saya coba sertakan hal baik antara kita. Dokumentasi yang tersisa. Syukur-syukur kalau kamu rela simpan.
Saya benci mengingat hal buruk… saya ucapkan sekali lagi.

Poppy.

Lembar Ketiga
Kamu…
Bukan kali pertama, saya bertanya pada Tuhan soal…
“Mengapa?”
“Mengapa hal-hal baik antara kita, bisa berubah jadi hal-hal yang saling menyakiti?”
Saya tidak perlu tanya pada kamu, apakah kamu pernah coba tanya hal yang sama. Tidak perlu. Meski sungguh saya ingin.
Karena ‘tidak’ bisa jadi ‘iya’ dan ‘iya’ bisa jadi ‘tidak’ jika lewat lidahmu. Jadi, saya tidak pernah terlalu suka betanya pada kamu.
Yang penting, saya sudah merangkai jawabannya meskitidak sendiri, tapi dengan berbagai kejadian dari Tuhan yang terus saja menggiring.
Tuhan pasti tahu, kita susah diletakkan pada jalan masing-masing selama kita terus bareng. Cuma dengan saling menyakiti, kita kemudian bisa tegas berada di jalan masing-masing.
Jika saja, saling menyakiti itu tidak pernah ada, barangkali kita akan makin lebur dalam nyaman dan lupa mencari jalan masing-masing.
Jika saja, saling menyakiti itu tidak pernah ada, barangkali kita akan kelewatan saling membela. Kita bakal lupa, mestinya masing-masing dari kita kita menguatkan diri masing-masing, bukan menerus saling bela.

Lembar Keempat
Karena Tuhan baik pada kita, Kamu…
Sangat baik.
Dia tidak membiarkan kita berdua terus melemah, ingin terus bareng tanpa berani mengambil masing-masing jalan yang sesuai…
Kamu, terimakasih…
Terimakasih buat pertemuan kita.
Terimakasih, orang baik.
Saya sedang berusaha merekam dan mengingat hal-hal baik. Semoga kamu juga… saya sedang memaksamu.
Eh… saya sudah siap jawaban bila aja kamu nanya kenapa surat ini kertanya kuning, tintanya ijo.
Ini warna favorit. Ndak ada niat apa-apa. Kamu pasti ingat, warna-warna ini juga warna baju yang sering saya pakai dulu. Mungkin norak bagi kamu, tapi lucu bagi saya.


Poppy.

No comments: