Juara 3 Kategori Pustaka, Sayembara Menulis HUT ke-39 Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM). Dapat pula dibaca di Majalah Komunikasi edisi 309.
Sumber: Halaman Majalah Komunikasi UM |
Rahman dulu, baru rahim. Beres
cinta sosial dulu, barulah ketentraman cinta pribadi.
Istriku
Seribu, Emha Ainun Nadjib
Jika
sampeyan barangkali membaca
karya-karya cak Nun di era sembilan puluhan. Sampeyan bisa jadi menangkap
kegalakan-kegalakan yang ada dalam tulisan-tulisan cak Nun pada masa itu.
Dalam
Markesot Bertutur misalnya. Buku yang terbit kali pertama di tahun 1993 dan
1994 tersebut, berkali-kali menyindir salah seorang pejabat negara di era
pemerintahan Orde Baru yang khas dengan ucapan,”Menurut pentunjuk Bapak…”
ketika memberikan statement di depan
publik, mewakili kebijakan-kebijakan bapak presiden pada waktu itu.
Markesot
sendiri merupakan kumpulan esai bikinan cak Nun yang awalnya diterbitkan rutin
di salah satu surat kabar lokal di Surabaya. Pada saat itu, sampeyan bisa sungguh merasakan pribadi
cak Nun yang kereng[1], lurus, lagi tukang nyelentik[2].
Beda
Markesot, beda pula dengan Istriku Seribu. Buku yang terbit di tahun 2015
tersebut agaknya tampil cukup nggegirisi[3]
dengan membawa isu poligami. Setidaknya, isu tersebut seolah diwakili sampul
buku warna biru bergambar jari manis yang dililit ulat. Jari manis sesungguhnya
identik dengan jari yang biasa dipasangi cincin kawin toh?
Terdiri
dari dua puluh bagian cerita. Sampeyan
bakal dibikin tertipu matang-matang ketika memasuki cerita bagian pertama, Tiga
Negeri Poligami. Tulisan tersebut masih membawa kita pada percakapan si ‘aku’
bersama Yai Sudrun. Percakapan tersebut seputar poligami yang memang poligami.
Namun
setelahnya, sampeyan bukannya
disuguhi apa itu poligami dan salah benarnya soal poligami. Sampeyan malah akan disuguhi betapa perdebatan
penduduk di negeri si ‘aku’, menyoal poligami, begitu pelik dan tidak pernah
cukup mendalam hingga tidak juga berujung.
Pada
cerita-cerita berikutnya, sampeyan justru
akan makin disuguhi kelembutan-kelembutan yang mestinya memang gambaran proses
diri dari si tokoh ‘aku’. Tulisan cak Nun pada tulisan-tulisan berikutnya bukan
lagi seperti tulisan-tulisannya di awal sembilan puluhan. Justru sampeyan akan menemukan ramuan tulisan
yang penuh cinta, lurus akan tetapi tetap nyelentik.
Pada
bagian cerita Manajemen Kentrung misalnya. Makin jelas jika yang dimaksud istri
dalam Istriku Seribu, bukanlah perempuan bermata, berhidung, yang memiliki
rahim, yang lantas bisa sampeyan
poligami atau suruh macak[4]
sekalian manak[5].
Istri yang dimaksud dalam buku tersebut, justru malah merupakan gambaran jamaah
yang mesti diramut[6].
Dalam
Manajemen Kentrung, juga digambarkan betapa tidak mudah menjadi ‘aktor’ intelektual
atas sebuah ide besar, tanpa perasaan ingin menampakkan diri di depan publik.
Semua orang memiliki rasa ingin tampil. Bukan begitu toh?
Selebihnya,
sampeyan bisa jadi menuduh bahwa
Istriku Seribu sesungguhnya merupakan surat cinta terselubung buat keluarga dan
jamaah. Sampeyan bisa jadi juga
menyimpulkan bahwa buku bersampul biru tersebut begitu melow[7]nya.
Bahkan
dalam Istri Kepala Rumah Tangga, sampeyan
bisa rasakan bahwa sesungguhnya Novia Kolopaking jadi sentral ucapan cinta si
‘aku’. Peran-peran Novia seperti dibedah dalam cerita tersebut. Bahwa Novia
pada nyatanya juga ikut ngopeni[8]
jamaah meski tidak banyak tampil di depan panggung. Sampeyan bisa jadi bakal mberebes
mili [9]ketika
membaca bagian yang satu ini.
Istriku
Seribu pada dasarnya membawa kita pada hubungan antar sesama yang barangkali
nampaknya remeh temeh. Betul… hubungan antar sesama manusia yang barangkali dianggap
tidak se-njelimet[10]
perdebatan sampeyan soal mana syariat dan yang mana makrifat.
Judul : Istriku
Seribu
Penulis :
Emha Ainun Najib
ISBN : 978-602-291-117-3
Terbit : Agustus 2015
Ukuran :
18 cm
Halaman : 98
Penerbit : Bentang Pustaka
No comments:
Post a Comment