Saturday, November 26, 2016

Romadhon, Kesatria Kursi Merah (Rekam Mundur TK, Tahun 1999)


“Kenangan selalu hapal jalan pulang.”
Djoko Saryono

Saya sekolah di TK Perwira, satu-satunya Taman Kanak-Kanak yang ada di daerah saya pada 1999. Kursi warna warni jadi tempat duduk kami semua setiap hari. Namun, kursi merah anehnya jadi sakral bagi hampir kami semua. Saya menganggapnya ganjil, tentu saja.
Setiap hari, anak-anak berebut mengambil kursi merah bagi diri mereka sendiri. Jumlah kursi merah tentu tidak banyak. Ingat saya, bahkan tidak sampai lima. Saya bahkan sering terusir jika kebetulan sedang duduk di kursi merah. Saat itu, kursi berwarna apa saja saya anggap sama.
Foto rapor saya saat TK. Sumber: Dokumentasi pribadi
Bahkan, seorang teman perempuan yang setiap hari menempel pada saya untuk bermain bersama, juga berkali-kali mengusir saya dari kursi merah yang hanya kebetulan saya dapat. Saya selalu memersilahkannya. Dia duduk di bangku belakang meja saya. Sering juga dia memamerkan betapa kursi merah itu lebih lembut dari kursi-kursi lainnya. Tapi saya hanya membalasnya dengan tatapan kosong. Bagi saya, semua kursi itu sama dan ucapannya sangat tidak masuk akal.
Teman perempuan saya itu, juga memiliki perasaan lebih pada seorang anak laki-laki bertubuh kurus yang selalu duduk di sampingnya, Eki. Tentu, pada masa itu saya belum memahaminya. Saya hanya merasa ada sesuatu yang ganjil dari sikap teman perempuan saya itu. Setiap hari, dia mendahulukan kursi merah yang dia dapat untuk Eki. Setelahnya, dia baru memburu kursi merah untuk dirinya sendiri, merebutnya dari siapa saja.
Ada juga seorang anak laki-laki yang juga rela bertengkar dengan siapa saja demi kursi merah. Namanya Romadhon. Saya waktu itu hanya setinggi kupingnya. Warna kulitnya seperti saya dan rambut ikalnya selalu nampak berantakan jika sedikit saja lebih panjang.
Romadhon tidak sembarang merebut kursi merah. Dia merebut kursi merah dari teman-teman yang mengusir saya dari kursi istimewa yang kebetulan saya dapat itu. Saya ingat, anak laki-laki itu begitu kuat. Dia selalu memenangkan semua pertengkaran, tanpa menangis atau mengadu pada guru. Saya hanya diam dan memandangnya. Setelah kursi merah didapat, dia menyuruh saya minggir. Dia ambil kursi sembarang warna saya duduki sebelumnya dan dia ganti dengan kursi warna merah. Saya sendiri, sering mendapatinya duduk di kursi sembarang warna. Dia sepertinya juga tidak sebegitu peduli dengan kursi merah yang bagi sebagian besar dari kami begitu sakral.
Saya (tengah) dan teman sekelas waktu TK. Kami melakukan perjalanan naik delman dari TK sampai PPPTK Karangploso. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Romadhon tidak pernah benar-benar mengobrol dengan saya. Tapi saya senang memandanginya yang berlarian, aktif dan punya banyak teman. Saya ingin seperti dia, namun saya tidak pernah bisa benar-benar lebih banyak bicara. Saya bahkan ingat betul bagaimana namanya disebut, bukan Ramadhan tapi Romadhon.
Sampai di akhir kelulusan TK, saya dan Romadhon tidak pernah benar-benar bicara atau duduk bersama. Saya sebenarnya selalu mengingat nama dan wajahnya dan begitu ingin bicara dengan dia, namun saya tidak pernah tahu mesti mulai dari mana. Saya juga sering berpikir, jangan-jangan dengan sikap saya yang kesusahan mengungkap perasaan dan berekspresi itu, Romadhon pikir saya tidak mau berteman dengannya. Dan itu kedengarannya menakutkan.
Namun, hingga hari-hari terakhir kami di TK, Romadhon tetap si ahli bertengkar yang kuat. Dia membentak siapa saja yang merebut kursi merah yang kebetulan saya dapat. Dia melakukannya, meski saya tidak pernah mengucap terimakasih.
Apa kita bisa bertemu lagi? Saya hanya ingin bilang terimakasih, Kesatria Kursi Merah.

“Karena kenangan, punya kecerdasan spasial yang tinggi.”

Poppy Trisnayanti Puspitasari

No comments: