Monday, November 7, 2016

STOP! Mengomentari (Melabel) Seorang Anak


Kemarin, saya pergi ke rumah seorang saudara yang memiliki anak usia dini. Namanya Rizki. Rizki senang berjalan dan jarang duduk diam. Di samping itu, Rizki seorang anak yang kritis dan mandiri. Di usianya yang ke empat, dia sudah bisa makan-makanan berkuah sendiri dengan menu utama ceker ayam. Ceker ayam biasanya termasuk menu yang sulit, jika mesti disantap tanpa bantuan oleh anak usia dini. Rizki juga bisa mengomentari cucian di rumah saya yang berantakan dan memertanyakan kenapa saya belum pernah pergi ke rumahnya. Selanjutnya, saya enangkap Rizki yang hobi bercerita dan mengritisi banyak hal.
Namun, kemarin mama Rizki dengan sedih menceritakan bagaimana seseorang mengomentari anak-anaknya yang menurut si komentator, seperti set. Set dalam bahasa Indonesia berarti belatung. Bagaimana Rizki yang jarang duduk diam dianggap menyerupai sifat belatung.
Saya kemudian ingat bagaimana orang-orang di sekitar saya dulu mengomentari diri saya ketika saya masih usia balita. Saya sangat kalem dan super pendiam. Saya tidak menyenangi aktivitas fisik dan cenderung takut pada orang-orang asing. Hal ini, dianggap keanehan bagi para komentator.
Saya kemudian juga ingat, bagaimana lincahnya Aurel, anak tetagga di depan rumah saya. Rizki yang jarang bisa duduk bukan apa-apa jika disbanding kelincahan Aurel saat balita. Saya kali pertama mengenal Aurel saat usianya 1,5 tahun. Semenjak itu, Aurel hampir setiap hari pergi ke rumah saya, makan di rumah, mandi di rumah, ikut mencuci baju bersama saya, menaik turunkan benda-benda dan hanya mau duduk diam cukup lama saat bermain boneka.

Sebaliknya, Danis adik Aurel, diakui mama saya sangat mirip dengan saya ketika balita. Aurelsi super aktif ternyata memiliki adik yang super kalem. Bedanya, Danis mudah berbaur dengan orang asing, beda dengan saya dulu.
Saya, Danis dan Aurel. Sumber: Dokumentasi pribadi
Mama Aurel dan Danis ketika kecil pun mendapat pelabelan dari sekitar. Mama Aurel dan Danis yang memiliki sikap kalem pernah diejek dengan kalimat,”Telek mbok idek yo ora penyet, Vit…[1]” yang menggambarkan betapa terlalu kalemnya mama Aurel dan Danis, hingga itu patut dijadikan ejekan oleh para komentator.
Dengan banyak macam karakter anak-anak, pantas kah para komentator sibuk mengomentari mereka? Seberapa merepotkan anak-anak itu bagi para komentator? Apa anak-anak itu meminta uang susu pada mereka? Apakah anak-anak itu menuntut makan setiap hari pada mereka? Jika memang merasa terganggu, bisa kah para komentator itu diam-diam pergi saja tanpa meninggalkan label macam-macam?
Lebih berbahaya, ketika ibu dari si anak yang dilabel lingkungan mengamini label tersebut. Bisa jadi, anak yang mendapat label akhirnya turut mengamini label tersebut dan merasa tidak punya harga.
Saya sendiri, di usia balita, mampu menangkap label-label dari orang sekitar. Hingga pada hari-hari berikutnya, saya terus bertanya-tanya,”How to be normal like them, God?”



[1] Kotoran kamu injak juga tidak bisa pipih, Vit.

No comments: