Kemarin,
saya pergi ke rumah seorang saudara yang memiliki anak usia dini. Namanya
Rizki. Rizki senang berjalan dan jarang duduk diam. Di samping itu, Rizki
seorang anak yang kritis dan mandiri. Di usianya yang ke empat, dia sudah bisa
makan-makanan berkuah sendiri dengan menu utama ceker ayam. Ceker ayam biasanya
termasuk menu yang sulit, jika mesti disantap tanpa bantuan oleh anak usia
dini. Rizki juga bisa mengomentari cucian di rumah saya yang berantakan dan
memertanyakan kenapa saya belum pernah pergi ke rumahnya. Selanjutnya, saya
enangkap Rizki yang hobi bercerita dan mengritisi banyak hal.
Namun,
kemarin mama Rizki dengan sedih menceritakan bagaimana seseorang mengomentari
anak-anaknya yang menurut si komentator, seperti set. Set dalam bahasa Indonesia
berarti belatung. Bagaimana Rizki yang jarang duduk diam dianggap menyerupai
sifat belatung.
Saya
kemudian ingat bagaimana orang-orang di sekitar saya dulu mengomentari diri
saya ketika saya masih usia balita. Saya sangat kalem dan super pendiam. Saya
tidak menyenangi aktivitas fisik dan cenderung takut pada orang-orang asing.
Hal ini, dianggap keanehan bagi para komentator.
Saya
kemudian juga ingat, bagaimana lincahnya Aurel, anak tetagga di depan rumah
saya. Rizki yang jarang bisa duduk bukan apa-apa jika disbanding kelincahan
Aurel saat balita. Saya kali pertama mengenal Aurel saat usianya 1,5 tahun. Semenjak
itu, Aurel hampir setiap hari pergi ke rumah saya, makan di rumah, mandi di
rumah, ikut mencuci baju bersama saya, menaik turunkan benda-benda dan hanya
mau duduk diam cukup lama saat bermain boneka.
Sebaliknya,
Danis adik Aurel, diakui mama saya sangat mirip dengan saya ketika balita. Aurelsi
super aktif ternyata memiliki adik yang super kalem. Bedanya, Danis mudah
berbaur dengan orang asing, beda dengan saya dulu.
Saya, Danis dan Aurel. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Mama
Aurel dan Danis ketika kecil pun mendapat pelabelan dari sekitar. Mama Aurel
dan Danis yang memiliki sikap kalem pernah diejek dengan kalimat,”Telek mbok
idek yo ora penyet, Vit…[1]”
yang menggambarkan betapa terlalu kalemnya mama Aurel dan Danis, hingga itu
patut dijadikan ejekan oleh para komentator.
Dengan
banyak macam karakter anak-anak, pantas kah para komentator sibuk mengomentari
mereka? Seberapa merepotkan anak-anak itu bagi para komentator? Apa anak-anak
itu meminta uang susu pada mereka? Apakah anak-anak itu menuntut makan setiap
hari pada mereka? Jika memang merasa terganggu, bisa kah para komentator itu
diam-diam pergi saja tanpa meninggalkan label macam-macam?
Lebih
berbahaya, ketika ibu dari si anak yang dilabel lingkungan mengamini label
tersebut. Bisa jadi, anak yang mendapat label akhirnya turut mengamini label
tersebut dan merasa tidak punya harga.
Saya
sendiri, di usia balita, mampu menangkap label-label dari orang sekitar. Hingga
pada hari-hari berikutnya, saya terus bertanya-tanya,”How to be normal like
them, God?”
No comments:
Post a Comment