Thursday, September 14, 2017

Ibu Saya Wanita Karir dan Trauma di Tempat Penitipan Anak


Sumber: Gugel

Ibu saya mulai berkarir sejak saya berusia dua tahun, menjadi guru di beberapa sekolah swasta. Oleh sebab itu, saya akhirnya dititipkan pada seorang nenek yang rumahnya cukup berjarak dari rumah kami. Nenek tersebut membuka jasa penitipan anak, ya… sekadar menjaga anak-anak yang ditinggal bekerja orang tuanya, bukan betul-betul tempat penitipan yang kamu banyak lihat seperti sekarang.

Kamu tidak bisa salahkan ibu saya yang memilih bekerja, ketimbang menjaga saya. Perdebatan antara ibu rumah tangga atau wanita karir tidak akan pernah ada habisnya. Yang jelas, ibu saya bekerja tujuannya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, selain dengan ayah saya yang bekerja.
Sepanjang ingatan saya, nenek yang menjaga saya itu usianya lebih tua dari nenek saya. Nenek saya sendiri, letak rumahnya sekitar 30 menit memergunakan motor dari rumah kami. Barangkali, jarak yang lumayan ini jadi pertimbangan orang tua saya juga. Bisa jadi, jarak tersebut memengaruhi kesehatan saya yang masih berusia dua tahun.
Saya ingat, nenek yang menjaga saya itu saya panggil mbah. Mbah sesungguhnya adalah orang yang telaten, saya selalu makan tepat waktu dan mandi pun hingga bersih. Selain saya, ada lagi satu anak laki-laki yang ada di rumah itu, usianya sedikit lebih besar dari saya. Namun, saya lupa apa anak itu cucu mbah atau memang juga dititipkan di sana, karena saya lihat anak itu juga membawa bekal makanan sendiri seperti saya.
Ibu dan ayah saya, mulai merasakan keanehan saat saya jadi lebih penakut dan pendiam dari sebelumnya. Saya betul-betul ingat, bagaimana hampir setiap hari, mbah memeringatkan saya yang sedang berdiri menghadap jendela. Kata mbah, saya tidak boleh keluar rumah karena di luar sana ada orang gila. Gaya bicara mbah yang mencekam, membuat saya yang masih dua tahun, membayangkan orang gila adalah sosok jahat dan saya mesti menjauhinya.
Barangkali, mbah menakuti saya karena hanya ingin menjaga keselamatan saya, meski menurut keluarga kami, sejak kecil saya ini hanya lincah bicara namun tidak lincah soal fisik. Ibu saya sempat mengomel, saat bercerita di rumah nenek. Ibu tidak terima karena saya ditakuti sedemikian rupa, toh saya bukan tipe anak yang lincah katanya.
Pada akhirnya, saya tidak lagi dititipkan pada mbah. Orang tua saya memilih wara-wiri mengantar saya ke rumah nenek, sebelum keduanya pergi bekerja. Butuh waktu lama untuk menghilangkan trauma saya. Bahkan, saya masih ingat bagaimana rasa ngeri yang kadung tertancap itu hingga sekarang. Ibu dan nenek saya memaksa saya berkumpul dengan anak-anak perempuan sekitar rumah nenek, mencoba agar saya segera pulih, namun saya masih ingat bagaimana saya hanya duduk diam dengan memangku boneka dengan perasaan yang betul-betul ketakutan.
Saya mungkin tidak lincah seperti anak-anak pada umumnya, namun di usia dua tahun saya sudah lancar berbicara dan memahami percakapan orang dewasa di sekitar saya. Hingga sekarang, saya bahkan masih mengingat secara rinci trauma yang saya alami pada saat tersebut, tanpa orang tua atau nenek saya mengulang ceritanya. Barangkali, kemampuan menangkap informasi itu, yang membuat saya sangat terpengaruh dengan ucapan mbah, soal orang gila yang ada di luar rumahnya.
Perdebatan mengenai mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga memang tidak pernah selesai. Tapi, kamu bisa bayangkan bagaimana kondisi keluarga saya andai saja ibu saya tidak bekerja dan ayah saya terkena stroke. Kamu juga bisa bayangkan bagaimana teman kerja ayah saya, yang seorang perempuan dan ditinggal suaminya meninggal dunia. Andai saja teman ayah saya ini tidak terbiasa bekerja, bagaimana keadaan keluarganya? Kita semua tidak pernah berharap kemungkinan terburuk terjadi. Namun, setidaknya kita mesti mulai berhenti berdebat soal mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga.
Masing-masing orang tua, selalu mengusahakan apa yang terbaik, pun kedua orang tua saya yang akhirnya memilih wara-wiri mengantar saya ke rumah nenek sebelum pergi bekerja, di bawah asuhan nenek saya memang lebih aman. Meski nenek tidak lulus SD, nenek mengajak saya makan teratur, doa sehari-hari, menghafal nama presiden hingga mengafal lagu-lagu nasional.
Trauma yang terjadi pada diri saya pun, bisa menjadi pengalaman bahwa ucapan sekecil apapun, bakal memengaruhi jiwa anak-anak. Melalui trauma tersebut, minat saya pada dunia anak-anak juga lebih terasah. Cara mendidik pun, ternyata tidak bisa sama antara satu anak dengan lainnya. Barangkali, ketika ditakuti hal serupa, anak-anak lain bisa jadi tidak akan terpengaruh, namun bagi saya itu justru sangat berpengaruh. Susah betul memang jadi orang dewasa, apalagi orang tua, ya?
Jadi, kapan mau mulai berhenti berdebat?

1 comment:

Laura said...

Great read, thank you.