Sumber: Gugel |
Ibu saya mulai berkarir sejak saya berusia dua tahun, menjadi guru di beberapa sekolah swasta. Oleh sebab itu, saya akhirnya dititipkan pada seorang nenek yang rumahnya cukup berjarak dari rumah kami. Nenek tersebut membuka jasa penitipan anak, ya… sekadar menjaga anak-anak yang ditinggal bekerja orang tuanya, bukan betul-betul tempat penitipan yang kamu banyak lihat seperti sekarang.
Kamu
tidak bisa salahkan ibu saya yang memilih bekerja, ketimbang menjaga saya.
Perdebatan antara ibu rumah tangga atau wanita karir tidak akan pernah ada
habisnya. Yang jelas, ibu saya bekerja tujuannya adalah untuk membantu memenuhi
kebutuhan keluarga, selain dengan ayah saya yang bekerja.
Sepanjang
ingatan saya, nenek yang menjaga saya itu usianya lebih tua dari nenek saya.
Nenek saya sendiri, letak rumahnya sekitar 30 menit memergunakan motor dari
rumah kami. Barangkali, jarak yang lumayan ini jadi pertimbangan orang tua saya
juga. Bisa jadi, jarak tersebut memengaruhi kesehatan saya yang masih berusia
dua tahun.
Saya
ingat, nenek yang menjaga saya itu saya panggil mbah. Mbah sesungguhnya adalah
orang yang telaten, saya selalu makan tepat waktu dan mandi pun hingga bersih.
Selain saya, ada lagi satu anak laki-laki yang ada di rumah itu, usianya
sedikit lebih besar dari saya. Namun, saya lupa apa anak itu cucu mbah atau
memang juga dititipkan di sana, karena saya lihat anak itu juga membawa bekal
makanan sendiri seperti saya.
Ibu
dan ayah saya, mulai merasakan keanehan saat saya jadi lebih penakut dan
pendiam dari sebelumnya. Saya betul-betul ingat, bagaimana hampir setiap hari,
mbah memeringatkan saya yang sedang berdiri menghadap jendela. Kata mbah, saya
tidak boleh keluar rumah karena di luar sana ada orang gila. Gaya bicara mbah
yang mencekam, membuat saya yang masih dua tahun, membayangkan orang gila
adalah sosok jahat dan saya mesti menjauhinya.
Barangkali,
mbah menakuti saya karena hanya ingin menjaga keselamatan saya, meski menurut
keluarga kami, sejak kecil saya ini hanya lincah bicara namun tidak lincah soal
fisik. Ibu saya sempat mengomel, saat bercerita di rumah nenek. Ibu tidak
terima karena saya ditakuti sedemikian rupa, toh saya bukan tipe anak yang
lincah katanya.
Pada
akhirnya, saya tidak lagi dititipkan pada mbah. Orang tua saya memilih
wara-wiri mengantar saya ke rumah nenek, sebelum keduanya pergi bekerja. Butuh
waktu lama untuk menghilangkan trauma saya. Bahkan, saya masih ingat bagaimana
rasa ngeri yang kadung tertancap itu
hingga sekarang. Ibu dan nenek saya memaksa saya berkumpul dengan anak-anak
perempuan sekitar rumah nenek, mencoba agar saya segera pulih, namun saya masih
ingat bagaimana saya hanya duduk diam dengan memangku boneka dengan perasaan
yang betul-betul ketakutan.
Saya
mungkin tidak lincah seperti anak-anak pada umumnya, namun di usia dua tahun
saya sudah lancar berbicara dan memahami percakapan orang dewasa di sekitar
saya. Hingga sekarang, saya bahkan masih mengingat secara rinci trauma yang
saya alami pada saat tersebut, tanpa orang tua atau nenek saya mengulang
ceritanya. Barangkali, kemampuan menangkap informasi itu, yang membuat saya
sangat terpengaruh dengan ucapan mbah, soal orang gila yang ada di luar rumahnya.
Perdebatan
mengenai mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga memang tidak
pernah selesai. Tapi, kamu bisa bayangkan bagaimana kondisi keluarga saya andai
saja ibu saya tidak bekerja dan ayah saya terkena stroke. Kamu juga bisa
bayangkan bagaimana teman kerja ayah saya, yang seorang perempuan dan ditinggal
suaminya meninggal dunia. Andai saja teman ayah saya ini tidak terbiasa
bekerja, bagaimana keadaan keluarganya? Kita semua tidak pernah berharap
kemungkinan terburuk terjadi. Namun, setidaknya kita mesti mulai berhenti
berdebat soal mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga.
Masing-masing
orang tua, selalu mengusahakan apa yang terbaik, pun kedua orang tua saya yang
akhirnya memilih wara-wiri mengantar saya ke rumah nenek sebelum pergi bekerja,
di bawah asuhan nenek saya memang lebih aman. Meski nenek tidak lulus SD, nenek
mengajak saya makan teratur, doa sehari-hari, menghafal nama presiden hingga
mengafal lagu-lagu nasional.
Trauma
yang terjadi pada diri saya pun, bisa menjadi pengalaman bahwa ucapan sekecil
apapun, bakal memengaruhi jiwa anak-anak. Melalui trauma tersebut, minat saya
pada dunia anak-anak juga lebih terasah. Cara mendidik pun, ternyata tidak bisa
sama antara satu anak dengan lainnya. Barangkali, ketika ditakuti hal serupa,
anak-anak lain bisa jadi tidak akan terpengaruh, namun bagi saya itu justru
sangat berpengaruh. Susah betul memang jadi orang dewasa, apalagi orang tua,
ya?
Jadi,
kapan mau mulai berhenti berdebat?
1 comment:
Great read, thank you.
Post a Comment