Sunday, September 1, 2019

Seni Memaklumi

Hasna terang-terangan menunjukkan rasa penasarannya terhadap cerpen-cerpen tulisan teman kami yang kebanyakan soal keperawanan. Dalam pernyataannya itu, ia bilang penasaran apa si penulis juga mengalami hal serupa. Intinya, dia ingin tahu teman penulis itu sudah berhubungan seks sebelum menikah atau tidak. Saya terhenyak dan merasa omongan Hasna di belakang si penulis itu tidak perlu. Cerpen ya cerpen saja, baca dan nikmati. Seperti yang dibilang si penulis dalam bedah bukunya, ia mengambil inspirasi dari mana saja. Termasuk dari seorang bapak yang membawa putri kecilnya ke warung kopi tengah malam. Ia pula mengembangkannya jadi cerpen. Bukan berarti, si penulis pernah pergi tengah malam ke warung kopi dengan bapaknya, bukan? Dan lagi, Hasna dengan getol menunjukkan foto-foto lama si penulis di facebook yang berkulit sawo matang. Hasna bilang,”Dia itu suntik putih loh. Dulu dia nggak stylish kayak sekarang. Pokoknya, setelah putus sama cowoknya yang satu itu, dia jadi ubah penampilan habis-habisan.”

Namun belakangan, teman saya yang lain, Savina, bercerita bagaimana teman-teman lelaki di lingkaran Hasna membicarakannya. Savina bilang, sudah banyak yang tahu bahwa Hasna dan pacarnya telah berhubungan seks dan lagi, relasi mereka terbuka. Artinya, Hasna membolehkan pacarnya berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya ia. Meski ternyata, Savina yang menceritakan semua tentang Hasna kepada saya itu, juga berhubungan jauh dengan para lelaki. Belakangan banyak saksi-saksi yang dapat dipercaya, menceritakan soal Savina. Bermesraan dengan laki-laki, bisa dilakukannya di depan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya, tidak peduli orang-orang ini nyaman atau tidak. Saksi-saksi ini juga berkata, bahwa Savina sesungguhnya takut kalah pamor dengan Hasna yang mulai mendapat porsi dari panggung ke panggung. Memang secara fisik, kedua orang ini standar industri juga, selain pandai mengolah kata. Malah pernah Savina bilang kepada saya,”Tahu nggak? Hasna itu nggak pintar. Hanya jago retorika saja sih.”

Savina bahkan, mengomentari cara berbaju seorang teman perempuan yang dikenal cerdas dan berpenampilan menarik. Caranya berkomentar yang berbau nilai moral, membuat saya bertanya pada teman-teman yang lain begini,”Menurutku, baju si anu itu biasa saja sih. Sopan-sopan saja tuh. Menurutmu memangnya bagaimana?” dan teman-teman lain sepakat bahwa pakaian si anu yang dikomentari Savina memang tidak bermasalah. Rok di bawah lutut dan memperlihatkan bahu sesekali, si anu itu tidak sedang merugikan siapa-siapa. Meski saya sempat bepikir, masa iya yang nggak bermoral itu aku?

Bagaimana Savina membahas moralitas orang lain, memang agaknya kontradiktif dengan sikapnya yang berani berkontak fisik dengan lawan jenis, di depan orang-orang yang tidak berkepentingan. Orang-orang ini tidak nyaman dan hanya bisa menyatakannya di belakang Savina. Namun menegurnya serba salah juga. Bisa jadi Savina akan bilang, kok kamu sok moralis gitu ya? Atau dia akan mendebat dengan ratusan buku yang pernah dibacanya. Bahkan berkat komentar-komentarnya terhadap pakaian si anu itu, salah teman seorang perempuan di lingkaran kami jadi menjauhi si anu dan mulai memandang dengan standar Savina yang ‘bermoral’ tadi. Padahal, si teman ini pada mulanya begitu dekat secara personal dengan si anu.

Dan si teman ini mengatakan, Savina itu keluarganya otoriter. Lantas saya bertanya, apa orang kayak dia emang nggak berhak mendapat cinta ya? Dan seorang teman tadi mengatakan, sebenarnya, dia sangat layak dicintai. Tapi dia menolak itu semua.

Sebelum disingkirkan oleh Savina dari begitu banyak lingkaran, Hasna terlebih dahulu menyingkirkan Rara. Mula-mula mereka berkomunitas di tempat yang sama, namun karena kepintaran dan pengalaman, orang-orang pada akhirnya lebih memberi ruang kepada Rara. Dan lagi, Rara ini standar industri pula pola komunikasinya mudah diingat orang. Popularitasnya lama-lama melejit melebihi Hasna yang pada mulanya mengenalkan ia pada bidang dan komunitas yang hingga kini ditekuninya. Rara kerap ditinggalkan ketika mereka menjadi rombongan pergi ke suatu tempat yang berkaitan dengan bidang yang ditekuni. Ya, terlalu banyak hal yang menjagal Rara dan merupakan upakara dari Hasna. Berlembar-lembar barangkali jika ditulis di sini.

Rara sendiri merupakan produk perceraian keluarga. Ia sempat melihat ayahnya yang tidak setia dan hidupnya jadi luka. Luka itu juga diakuinya memang ada. Serupa Rara, teman lain yang namanya Dian juga menyaksikan ketidaksetiaan ayahnya. Bedanya, keluarga Dian tidak bercerai. Namun jalan yang diambil Rara dan juga Dian ternyata berbeda.

Satu waktu, Dian mendekati Vivi yang punya banyak kenalan di komunitas. Vivi tidak melulu tampil di panggung, namun sangat mudah menjalin hubungan personal dengan orang banyak. Hari-hari Dian terus memepet Vivi dan melalui itu, ia jadi mengenal banyak orang beken di komunitas. Setelah tujuannya tercapai, Vivi yang telah menganggapnya seperti saudara pada akhirnya dibuang. Vivi sangat luka, tapi dia bilang, luka itu memang sakit kalau nggak diterima...

Dan bahkan Vivi sendiri tidak mengenal sosok ayahnya begitu lama. Ayahnya meninggal waktu dia masih sangat kecil. Hidupnya lebih banyak ditanggung sendiri. Ia luka? Ya. Bahkan pikiran bunuh diri kali pertama melintas di hidupnya ketika Sekolah Dasar. Dan Rara mengambil jalan serupa Vivi. Ia lebih banyak melakukan hubungan personal kepada banyak orang, bukannya mencari fungsi terlebih dahulu apalagi hubungan untung dan rugi. Meski Rara bilang, kadang aku kangen sama Hasna. Aku merasa dekat secara personal sama dia. Dan saya menanggapi, tapi maaf sih. Sayangmu ke dia sejak awal sebenarnya bertepuk sebelah tangan.

Lebih lanjut, Rara yang juga mengenal Dian, bercerita kepada saya bahwa perempuan itu berlaku kurang menyenangkan terhadap rekannya satu komunitas. Rekannya ini tidak disapa dan digubris ketika mengobrol dengan Dian. Saya sendiri, ketika awalnya dikenalkan oleh Vivi kepadanya, juga tidak digubris. Baru ketika teman-teman sering membagikan tulisan saya dan bertepuk tangan bersama, Dian menjelma teman lawas yang super perhatian dan manis kepada saya. Belakangan, saya mengamini ucapan Vivi soal Dian yang hanya mau berkenalan dengan orang-orang yang punya ‘sesuatu'.

Kita tentu tidak pernah tahu, detail apa saja yang sungguh dialami teman-teman yang saya sebut di atas. Namun apa yang mereka lakukan, sesungguhnya adalah upaya bertahan hidup. Kita tidak berhak menilai siapa yang lebih berat masalahnya atau siapa yang daya tahannya lebih kuat. Namun ya, tidak semua orang menyadari dirinya luka dan tidak semua orang juga perlu kita kejar untuk bantu disembuhkan.

Bagaimana Hasna dan Savina mengorek hidup orang lain dan mencari-cari kekurangannya, padahal mereka kabarnya melakukan hal yang lebih jauh dari orang yang dikorek-korek. Juga keluarga otoriter Savina yang rupa-rupanya membikinnya tidak punya peran dalam keluarga dan haus pengakuan di luar sana. Hingga bagaimana Dian hanya mau berteman dengan orang-orang yang dianggapnya punya sesuatu. Sesungguhnya, semua ini  juga adalah bentuk luka. Luka yang semoga saja diam-diam mereka akui kini atau kelak.

Pernah membaca tulisan saya yang judulnya Pernah Alami Body Shaming Sesama Perempuan? Mari Bercerita? Nah, teman yang saya ceritakan itu mengaku ia memang luka, setelah kami berdikusi soal tulisan tersebut. Ia kemudian menyadari dan memutuskan berhenti melukai orang lain juga. Body shaming yang ia lakukan, nyatanya adalah bentuk pertahanan diri atas krisis terhadap persepsi tubuhnya sendiri. Tipe yang begini, memang bisa diajak bergandengan tangan dan jalan bersama. Tapi toh yang saya hadapi bukan hanya dia. Pernah saya memiliki seorang teman lain yang sejak mahasiswa baru, kami sudah bersama. IQnya jauh di atas saya, pun nilai-nilai akademisnya. Selama bersamanya, saya kerap dilukai tapi tidak bisa membuktikannya langsung. Bahkan dia bisa memanipulasi untuk saya merasa bersalah sendiri dan tidak mendiskusikan apa yang dia lakukan. Hari-harinya selalu bertutur lembut dan perhatian terhadap saya. Ia juga pendengar yang begitu baik.

Si mantan teman ini ternyata punya masalah aktualisasi diri. Dia ingin punya panggung seperti semua orang. Toh, persoalan aktualisasi diri pula dialami saya. Namun ketika itu, saya yang masih juga dalam masa pencarian tidak begitu jelas menyadari kegelisahan si teman ini. Ketika saya mencari ruang aktualisasi sendiri, dia malah kebingungan bahkan hingga lulus. Pernah semasa kuliah, dia melihat teman kami yang mengikuti lomba-lomba karya tulis ilmiah, dia bergabung dan menang, tentu saja. Dia lebih dari mampu untuk melakukan itu. Tapi bukan kesenangan yang terlihat  ia dapat, melainkan kebingungan lain. Sebaliknya, si teman yang jagoan lomba tadi sangat mengenal siapa dirinya dan tegas mengambil jalur lomba untuk aktualisasi diri. Dia melakukannya hingga lulus dan banyak orang mengakui keberadaannya.

Ketika saya mendapat banyak sekali hubungan personal dari teman, senior dan dosen yang si mantan teman ini kagumi, ia merasa menginginkannya juga ternyata. Tapi selain kecerdasan logic dan bahasanya yang sangat bagus, intrapersonal dan interpersonalnya tidak begitu baik. Kami bahkan pernah tes bersama dan dia yang menyodorkan angketnya kepada saya. Dan dari cerita dia selama kami bareng, dia ini sangat menonjol di bidang akademis selama sekolah dan semua memerhatikannya karena itu. Tapi modal akademis serupa, tidak membuatnya mudah diingat orang-orang yang dia kagumi di kampus ternyata. Jadi bagaimana rasanya, ketika sudah mengikuti jejak prestasi si teman yang jago lomba tadi, namun hubungan personal tetap saya yang dapat? Saya yang secara akademis ada di bawahnya. Dosen statistik yang ia kagumi dan hormati misalnya, bahkan tidak meluluskan saya. Sering juga saya mendapat nilai jelek di mata kuliah satu ini. Tapi bagaimana rasanya? Ketika dosen senior tadi malah sangat akrab dengan saya dan tidak ingat sama sekali dengan si mantan teman ini, meski ia kerap mendapat nilai 100. 

Hingga kami lulus, dia terus memanipulasi untuk melukai. Terakhir soal pernikahannya. Di mana saya sengaja tidak diundang, tapi dibuat merasa bersalah karena dia bilang pada semua orang bahwa diundangnya saya ini. Bahkan dari orang-orang, saya baru tahu dari soal pernikahannya, berikut pengakuan telah mengundang. Dan setelah memutuskan memblokir saja semua sosial medianya, karena ketika coba membicarakan ini dia malah gaslighting dan membuat saya kembali meragukan diri. Saya masih berpikir-pikir, harusnya mungkin ketika memergokinya membicarakan saya di belakang panggung dengan salah seorang teman setelah operet kelas, seketika itu juga kami membahas semuanya dan menyelesaikannya di tempat. 

Bagaimana ketika semua orang bersorak bersama atas keberhasilan sekaligus kecacatan operet kelas itu, ia yang orang dekat justru tidak turut bergabung? Ya, saya yang membikin naskah dan mengedit audionya. Tapi semua hasil kerja bersama. Keberhasilannya pun punya sifat kolektif, makanya semua turut bersorak. Apa jika dari dulu saya berinisiatif membahas hal demikian kepada si mantan teman ini, hubungan kami tidak akan seburuk sekarang dan ia bisa diajak mengorek lukanya sendiri? Tapi baru ketika makin mantap memutuskan hubungan. Saya sadar, bukan nilai juara dari operet itu yang diinginkannya. Ia betul-betul hanya menginginkan sorakan dan pelukan personal dari teman sekitar. Menjadi paling pintar dan juara sudah ia miliki semua tanpa belajar keras. Namun hubungan personal...

Saya sendiri sesungguhnya juga orang yang luka. Pola pengasuhan yang saya dapat begitu buruk. Sangat buruk hingga saya berpikiran ingin mati di usia sembilan tahun. Orang-orang pikir, saya ceria dan hidup sempurna. Tapi Desi teman saya yang psikolog itu, mengungkap semua ini ketika kami melakukan sesi. Jadi mau bagaimana jika saya tidak mengakuinya? Bahkan saya tidak tahu, apa saya pernah melukaimu atau tidak. Dan segala hubungan personal yang saya jalin, adalah upaya menutup luka tadi. Saya bertahan hidup dengan cara demikian. Semasa sekolah pun, saya dibully teman dan dicap bodoh oleh para guru. Sebelum masuk SMK, saya hampir tidak memiliki teman bahkan.

Namun seperti kutipan status facebook penulis yang pernah dihujat karena melakukan plagiat, hanya orang luka yang melukai orang lain. Eh, tapi tunggu, bagaimana dengan Vivi dan Rara? Maka diralat saja jadi begini; hanya orang yang tidak menerima lukanya, akan pula melukai orang lain.

Catatan: judul diambil dari ucapan seorang teman,”Sejak aku kenal Savina, kemampuanku memaklumi orang jadi hilang.”

Catatan: Seluruh nama tokoh telah disamarkan

2 comments:

Anonymous said...

Aku bingung. Kalau aku kecewa, selalu kuputer apa yang salah dari diriku. Akhirnya memaksa aku untuk tidak kecewa dan menyalahkan diriku sendiri. Ealah, aku sakit sendiri tapi mau gimana lagiii. Selalu seperti ituuu, sebab kupikir orang2 yg bikin kecewa pernah baik ke aku.

Iki nahan sakit tenan. Tapi tetep ngunu.

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Tjuy. Mereka itu baiknya ke kamu tendensius tidak? Kamu nggak perlu merasa terbebani, jika tahu mereka baiknya tendensius.