“Kalau capek ngetik, pakai Google Voice aja ya...” kata gadis itu sambil memencet menu-menu di ponselnya sampai layar menayangkan aplikasi yang dimaksud dan memeragakan contoh suara yang ia lupa apa isinya.
“Kalau mulutku tipo? Kayak Inosuke Demon Slayer nak kepala babi manggil temannya?”
Lagi-lagi ia lupa gadis berkulit kuning langsat menuju sawo matang itu menyahut apa setelahnya. Toleransi rasa sakit di badannya barangkali cukup tinggi hingga terpaksa menggeser fitur-fitur lain dalam tubuh.
Selanjutnya, si gadis membetulkan selimut yang melenceng dari kakinya. Membuat ia berkata,”Dari selimutku dibenerin gitu udah bisa kutulis jadi cerita lho. Otakku secanggih itu.”
Ekspresi tanggapannya? Ia tidak ingat. Namun perkara narsisnya, si gadis sudah mengonsumsinya sehari-hari. Belum over dosis sih memang.
Ya, badan manusia itu cerdas. Ketika mengalami rasa sakit fisik, badan manusia bisa mengurangi kecepatannya dibanding hari-hari biasa.
Jadi misalnya, seorang manusia jalan ke kamar mandi sambil kebelet pup dengan kecepatan 60km/jam. Tapi dengan menahan pup yang sama, namun sambil mengalami sakit fisik, dia bisa jalan ke kamar mandi dengan kecepatan 20cm/jam, sambil menahan-nahan pupnya barangkali.
“Mekanisme bertahan hidup.” Gadis itu bilang.
Jadi mungkin memori yang digugurkan hari ini, adalah mekanisme bertahan hidup buat badan lelaki bermata bulat itu. Fungsinya dikurangi, untuk menambal fungsi badan yang lain-lain.
Tapi setidaknya, ia masih ingat bersama gadis itu selalu saling mencintai. Moga saja obat penghilang rasa sakit nggak tutup pabriknya.
Suara kelambu yang ditutup terdengar kasar. Seorang perawat mendorong rak beroda berisi cairan injeksi.
Surat elektronik dari kantor, pemberitahuannya muncul di ponsel dengan getaran halus.