Nulis itu kadang emang perlu di paksa. Weittzzz bukan kadang tapi mesti sering di paksa buat orang macam saya ini yang males banget menyelesaikan tulisan kecuali dalam tekanan dan keterpaksaan -_- Semester satu lalu saya salut banget sama pemaksaan menulis yang di lakukan dosen salah satu mata kuliah saya, beliau adalah mr. Zamrud Khatulistiwa. Zamrud Khatulistiwa sebenarnya hanya salah satu nama pena bapak dosen yang menurut desas desus yang beredar antar teman dan kakak kelas paling pelit memberi nilai.
Nah, pemaksaan untuk menulis bebas
ini terjadi waktu UAS. Ngga seperti dosen lain yang waktu itu sebagian besar
menerapkan ujian tertulis waktu UAS, mr Zamrud Khatulistiwa malah menyuruh kami
menulis bebas. Ngga sepenuhnya bebas sih, karena ada batasan tulisan seperti
apa yang mesti di tulis, bisa di bilang bebas sendiri karena di dalamnya kami
bebas menuangkan teriakan ide- ide kami hohooo. Yang lebih asyik, tulisan yang
kami buat harus juga mengandung teori- teori yang telah di ajarkan di kelas dan
itu memang jauh lebih bisa bikin kami menghayati teori yang ada dari pada disodori
ujian tertulis berisikan nyanyian teori saja.
Waktu yang di berikan sekitar satu
minggu tapi dengan gaya sok seniman yang nunggu mood segala, saya dengan elegan
dan memesona malah menyelesaikan tugas tersebutsehari sebelum tanggal
pengumpulan #jangaaaan ditiru yaaa >,<
Di bawah ini adalah hasil tulisan
saya waktu itu dan alhamdulillah dapat apresiasi yang menggembirakan dari mr.
Zamrud Khatulistiwa ^,~
Bangku Angkot dan Ketukan Nurani
Tiga tahun yang lalu,
bermodalkan majalah ‘intisari’ hasil pinjaman dari tetangga, saya mendapati
sebuah artikel yang sangat menarik. Artikel tersebut terlihat sederhana, namun
benar- benar mengetuk nurani saya.
Bagaimana tidak?. Artikel
tersebut menceritakan pengalaman salah seorang pembaca majalah ‘intisari’
ketika menaiki angkutan umum. Ada kisah apa kiranya didalam angkutan umum
tersebut?. Ternyata pembaca tersebut menaiki angkutan kota yang benar- benar
penuh sesak dengan penumpang. Salah seorang penumpangnya adalah perempuan muda
dengan kaki kiri yang kurang sempurna, ia duduk di ambang pintu angkot.
Kejadian yang menghentak nurani namun sering tidak disadari oleh kebanyakan
orang adalah dalam keadaan angkutan kota yang penuh sesak, ada penumpang baru
masuk kedalam angkutan kota tersebut, penumpang- penumpang lain yang memang
telah masuk sedari tadi kedalam angkutan kota dan duduk di ambang pintu angkot,
semuanya bersikap tak acuh dengan kehadiran penumpang baru yang nampak
kebingungan mencari tepat duduk sedangkan angkutan kota tersebut hendak segera
berangkat. Dengan mimik tenang, perempuan muda dengan kaki kiri yang kurang
sempurna tadi rela menggeser tempat duduknya untuk penumpang baru tadi,
perempuan itu pun duduk lebih menjorok kedalam angkutan kota, bukan diambang
pintu seperti sebelum penumpang baru tadi masuk.
Beberapa meter dari lokasi
masuknya penumpang baru tadi, perempuan tadi ternyata turun dari angkutan kota.
Memang ia susah payah untuk turun dari angkutan kota dengan posisi duduknya
yang menjorok kedalam angkutan kota. Dari sana, hati penulis cerita tersebut
terketuk. Bagaimana empati kita saat ini benar- benar mati. Bagaimana banyak
dari kita menonjolkan individualisme tanpa perduli yang lain lagi. Kita bahkan
kalah dengan orang yang secara fisik kurang sempurna kaitannya dengan empati.
Didalam angkutan kota yang dikisahkan tersebut, para penumpang yang jarak
tempuh tujuannya sebenarnya lebih panjang dari perempuan tadi, enggan menggeser
sedikit posisi duduknya demi mempermudah penumpang yang baru masuk kedalam
angkutan kota karena enggan bersusah payah apabila nantinya keluar dari dalam
angkutan kota ditengah padatnya penumpang.
Setelah membaca artikel
tersebut, saya mulai bertanya pada diri saya sendiri. Saya masuk kedalam
golongan manusia yang mana?. Yang masih memliki empati ataukah yang secara
tidak sadar menerapkan prinsip individualisme dalam lingkungan sosial?.
Beberapa
saat kemudian, saya menukan jawabannya. Saya ternyata termasuk orang
yang menerapkan prinsip individualisme. Empati saya tidak tajam. Saya termasuk
pengguna aktif angkutan kota kala itu, namun saya dengan kesadaran penuh malah
melakukan hal yang sama dengan sebagian besar pemumpang yang diceritakan dalam
artikel tersebut. Saya belum mampu melakukan hal yang mengandung toleransi dan
empati tinggi seperti perempuan muda dengan kaki kiri yang tidak sempurna dalam
artikel tersebut.
Semenjak membaca artikel
tersebut, saya selalu menekankan diri saya untuk selalu mengasah toleransi
sekaligus empati dalam lingkungan sosial. Mengapa seorang dengan fisik kurang
sempurna seperti dikisahkan dalam artikel yang saya baca tersebut sanggup
melakukannya sedang saya tidak?. Itu sesuatu yang benar- benar membuat saya
sangat malu.
No comments:
Post a Comment