Bolehlah kamu panggil aku Rembuk. Rembuk
saja, tak apa Rembuk saja tanpa embel- embel yang lain karena aku memang tidak
punya nama lain. Bolehlah lidahmu menjulur depan mukaku sambil berkoar nama ini
aneh. Boleh.. sangat boleh.. toh aku tak akan mampu melawan kamu, toh aku juga
tak ada kerabat buat bantu melawan kamu. Nama ini pun bukan nama yang di beri
sanak kerabat atau apa siapa yang terkasih buat menandai wujud diriku. Nama ini
kupilih sendiri, karena sering kudengar orang- orang memanggil golongan kami
begitu..
***
Kalau kamu mau tahu, ketika buka mata
tahu- tahu aku ada disana. Satu tempat berlantai kardus warna coklat, satu
tempat berdinding kardus warna coklat, satu tempat beratap kardus warna coklat.
Waktu itu, aku dilempar kesana berbarengan dengan golonganku. Diluar ruangan,
riuh suara manusia bercakap ini itu tak mampu kutangkap intinya. Tahu- tahu,
ruangan ini bergoncang dan aku mulai menutup rapat kelopak mata takut melihat
apa yang setelahnya terjadi. Goncangan dalam ruangan makin keras, kemudian
ruangan ini terasa seperti dihempas badai besar hingga ketika aku beranikan
diri membuka mata, wajahku tak lagi mampu memandang langit- langit ruangan ini
karena seluruh wajahku malah sudah mencium lekat- lekat langit ruangan. Aku
merasa sesak, nyata terasa aku tertindih golonganku sendiri, semua gelap.. tak
ada suara.. Aku teriak sebisanya aku tapi tidak ada suara lain membalas
teriakanku yang bisa pastikan aku bakal baik- baik saja. Aku terlalu kecil..
jantung dan paru- paruku terasa sangat panas seperti ingin meledup, sekali lagi
aku berteriak sekuatnya aku, aku ingin ada satu suara lain membalas teriakan
ini, biar pasti aku tidak akan apa- apa disini. Ini tenaga terakhirku buat
menjerit.. aku merasa sangat pusing kemudian menutup mata, sejenak aku merasa
hening..
***
“Kau berteriak berlebihan.. kau laki-
laki bukan? Penakut sekali!,” ucap sinis satu sosok yang kurasa berada di
samping kiriku. Kali itu, wajahku tak lagi mencium langit- langit. Wajahku
sudah mampu memandang langit- langit dengan normal dari atas lantai tempatku
merentangkan tubuh.
“Kau siapa! Tentu.. tentu aku sangat
takut! Aku bahkan tak ingat berapa lama
aku tak melihat cahaya!, apa kau tidak merasa satu rasa yang sama denganku?!
Bukankah kita satu golongan?!,” aku berteriak di kupingnya sambil menahan air
mata yang nyaris tumpah dari kantong mataku.
“Jangan sok! Dari mana kau tahu
cahaya?,” dia balik membentak aku.
“Sebelum tangan- tangan itu menjamah
tubuhku kemudian melempar aku kesini, aku melihat cahaya putih terang di depan
mataku,” ucapanku melembut.
“Kau merasa sedih? Kau merasa hampa? Kau
merasa kecewa? Kau merasa ada satu hal yang hilang,” tanyanya mendadak juga lembut.
“Tentu! cahaya itu begitu cantik, ramah
dan hangat di tubuhku! Apa kamu tidak pernah bertemu dia? Aku begitu berat
mencintai dia! Dia.. dia satu wujud pertama dan yang ku kira terakhir seumur
hidupku yang sungguh mampu merangkul aku,” air mata dalam kantung mataku tak
lagi terbendung.
“Aku tak pernah bertemu dia, maka aku
tak tahu harganya meski seandainya aku berhak untuk dirangkulnya,” dia menjawab
cepat kemudian memalingkan wajah membelakangi mukaku.
Kami diam beberapa saat.
“Hey!,” bentakku karena rasa sebal tak
di gubris lama oleh dia.
“Kita ini abdi.. kita cuma abdi.. jadi
diam dan jalani sebaik mungkin,” dia tetap memunggungi mukaku.
Tiba- tiba terjadi guncangan hebat
dalam ruangan itu. Gaduh kudengar suara manusia bercakap- cakap tanpa aku mampu
menangkap inti percakapan tersebut. Langit- langit ruangan ini tiba- tiba
terbuka, cahaya terang seperti menusuk mataku karena begitu lamanya aku tak
melihat cahaya.
“Ingat.. kita hanyalah abdi.. lakukan
sebaik mungkin,” sebuah tangan sudah menarik tubuh teman bicara pertama dalam
hidupku itu dengan cukup cepat.
“Kau tahu! Itu cahaya! Sesuatu yang
masuk ketika langit- langit itu dibuka, sesuatu yang masuk sebelum tangan
tangan itu menjamahi kita lagi! Itu!,” teriakku padanya.
“Cahaya? Sangat menyakitkan bola
mataku, cahaya tidak menyenangkan.. ,” dia tersenyum tipis buatku sebelum
benar- benar menghilang bersama tangan- tangan itu.
Guncangan dalam ruangan terjadi lagi.
Langit- langit ditutup lagi, sekelilingku gelap lagi.. aku menutup rapat- rapat
kelopak mataku lagi.. aku mengulang pernyataan gadis tadi.. benarkah golongan
kami cuma abdi?.
..BERSAMBUNG..
..BERSAMBUNG..
No comments:
Post a Comment