Sunday, June 9, 2013

Kolor Aliman

Nama dia Aliman, kau panggil dia Iman saja biar mudah kalau- kalau kau mau mencari dia karena warga sekampung pun panggil dia Iman. Aliman bocah SMP akhir perawakannya dekil, mata bulatnya menonjol dari kelopak matanya dengan warna sembur merah seperti orang yang selalu lelah, tubuhnya kurus, kulitnya sawo matang, rambutnya cepak sedikit ikal dan agak kemerahan, tubuhnya pun tidak terlalu tinggi buat bocah seusianya. Bapak Aliman guru sejarah dengan status PNS yang di perbantukan di sebuah sekolah swasta di kampung sebelah yang berjarak dua kilo dari rumah keluarga Aliman. Ibu Aliman salah satu buruh rakit kardus sabun mandi dari ratusan perempuan seprofesi di kampungnya. Keluarga Aliman sendiri tingal di rumah yang cukup luas, berdinding bata dengan pagar tanaman yang mengelilingi sekitaran rumah.
***
“Man.. jangan lupa bungkusan hijau dekat penggorengan,” kata ibu Aliman.
“Kenapa mesti aku wajib mengaitkan bungkusan itu di celana dalam Mak?,” Aliman mencoba sedikit mengelak.
“Sudahlah Man, kau tahu apa? Kau belum banyak makan asam garam, nurut sajalah sama Emak,” ibu Aliman menyahut dengan sedikit ketus dan tersinggung.
Aliman mengambil bungkusan hijau yang besarnya tidak lebih dari separuh jari kelingkingnya. Bungkusan itu sebenarnya tidak lagi berwarna hijau muda seperti awal Aliman membawanya kemana- mana. Bungkusan itu lebih seperti warna hitam kehijauan dengan peniti kecil yang juga jadi kehitaman karena warna aslinya yang keabuan sudah terkelupas saking lamanya sepasang benda ini jadi pegangan Aliman.
Teriakan kencang yang memekakan telinga Aliman terdengar tiba- tiba.
“Man.. cepat.. ini hari penting.. cepat berangkat.. abang ojek sudah tunggu kita,” ternyata itu teriakan ibu Aliman.
Aliman cepat- cepat memelorotkan celana birunya, ia segara mengaitkan bungkusan hijau beserta peniti kecil tersebut di celana dalamnya. Stelah bungkusan itu terkait, Aliman menaikkan kembali celana birunya sekaligus kemeja putih miliknya sebelum berlali menghampiri ibunya yang sudah berada di halaman.
***
“Man.. lulus Man lulusssss,” ibu Aliman memeluk tubuh Aliman yang tingginya hanya sekuping ibunya.
Aliman pandangan matanya kosong, ia merasa biasa saja apalagi melihat rata- rata nilainya yang cuma enam koma sekian. Aliman sendiri dalam keseharianya merasa selalu sakit kepala dengan keterangan guru di sekolahnya sekalipun ia berusaha sekuat hati memusatkan perhatian kepada seluruh keterangan guru, apa daya Aliman yang memang di lahirkan kedua dengan otak sangat pas- pasan. Beruntung saja dia masih banyak guru yang sayang pada dia karena kesehariannya yang rajin dan penurut meskipun untuk dapat nilai lima saja Aliman mesti peras keringat sekencangnya. Jadilah saya yakin bahwa yang menyelamatkan Aliman dari ujian nasional tahun ini adalah aliran doa dari guru- guru yang menyayangi dia meski tanpa doa ibu kandungnya sendiri. Ibu kandungnya tak mendoakan Aliman, kau percaya?.
***
“Bah, terimakasih.. terimakasi banyak atas bantuan doanya. Aliman lulus Bah,” ibu Aliman bicara dengan bola mata yang tampak sangat memuja pria berkulit kuning yang memaki baju taqwa sekaligus peci di hadapanya.
“Mana bungksan ijo itu Man?,” pria yang di panggil abah itu menatap Aliman tajam. Yang di tatap cuma balas memandang dengan padangan kosong.
“Ini, ini saya bawa Bah,” ibu Aliman menyodorkan sesuatu keatas meja, sesuatu itu agaknya bungkusan hijau yang biasa dikaitkan di celana dalam Aliman beserta dua lipatan kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai di bawahnya.
Pria yang di panggil Abah itu mulai mengambil spidol hitam, ia menulis lafal Al- Qur’an tanpa harakat di atas bungkusan hijau yang ia pegang stelah sebelumnya ia memindahkan dua linting kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai itu ke dalam saku baju taqwa yang ia pakai. Lafal tersebut menindas lafal sbelumnya yang pernah di tulis dan sudah pudar dimakan tahun.
Setelah selesai, bungkusan hijau tersebut di lempar pada Aliman. Aliman lengah hingga bungkusan itu jatuh ke lantai. Ibu Aliman mencubit keras paha kurus Aliman tanda supaya ia mestinya segera mengambil bungkusan tersebut dari atas lantai.
“Ayo.. segera di pasang di tempat biasa..,” bentak Abah pada Aliman.
Dengan malas Aliman mengambil bungkusan hijau yang tergeletak di lantai tanpa menggeser duduknya sama sekali. Setelahnya, Aliman segera berdiri untuk memelorotkan celana jeans abu- abunya dan mengaitkan bungkusan tersebut pada celana dalamnya  kemudian segera ia pakai lagi celana jeans tersebut dan ia pun segera kembali duduk dikursi.
“Kelakuan anakmu Luk!,” bentak Abah dengan pandangan mata terarah pada ibu Aliman.
“Man.. kamu lulus itu berkat bantuan doanya Abah, yang sopan lain kali,” ibu Aliman merangkul pundak kurus Aliman.
“Masa kamu ndak percaya doa Man? Percuma ibu dorong- dorong kamu ngaji tiap sore di laggar kalau begitu,” lanjut ibu Aliman. Aliman cuma diam dengan tatapn datar.
***
Sekarang Aliman sudah berusia dua puluhan. Namun, bungkusan hijau yang biasa ia kaitnya di celana dalamnya tetap sama, peniti pengaitnya pun sama. Hari ini Aliman akan mengikuti tes CPNS di aula balai kelurahan demi tujuanya masuk ke dinas kebersihan kabupaten.
Aliman ternyata berdebar tidak karuan. Aliman melajukan sepeda bebeknya perlahan sekali menuju balai kelurahan. Tiba- tiba seluruh bayang tiga hari yang lalu melintas di bayangan Aliman.
“Abah tahu kan bahwa putra saya ini otaknya pas- pasan.. jadi mohon bantuan doanya..,” suara ibu Aliman yang mendominasi awalan percakapan.
“Yo.. nanti anakmu bakal kuberi amalan surat- surat Luk. Tapi ada tata caranya sendiri dan dia mesti ikuti kalau memang mau lolos tes..,” sahut pria yang di panggil Abah.
“Kamu mesti mau ya Man?,” nada bicara bu Aliman terdengar memastikan. Aliman Cuma mengangguk berat. Dalam hatinya, Aliman menjerit sekuatnya menahan semua tekanan antara hati kecil atau permintaan sang ibu. Aliman ingat apa yang di ajarkan Cak Wawan tiap sore ketika ia masih rutin mengaji di langgar, Cak Wawan selalu bilang bahwa Tuhan itu cuma satu, Cak Wawan selalu bilang bahwa perantara hubungan kita pada Tuhan bukan lewat benda- benda bersampul ayat Al- Qur’an seperti yang selalu di pakai di celana dalam Aliman sejak usianya sepuluh tahun.
“Man.. dengar man.. ojo ngelamun Man..” hardikan Abah membuyarkan rekaman ingatan Aliman.
“Ngge.. Bah,” Aliman memberanikan diri menyahut hardikan Abah.
“Dengar.. Kamu baca surat **** 3 kali, surat **** 7 kali sambil memusatkan padangan mata pada bungkusan hijau ini, khusus hari itu.. taruh bungkusan hijau itu di meja tempat kamu tes ya Man. Kemudian segera setelah tes, pasang lagi bungkusan ini di celana dalam milikmu,” Abah mulai menerangkan.
“Ngge Bah..,” Aliman menyanggupi meskipun hatinya sakit karena pertentangan yang begitu kuat.
Sosok lelaki tua dengan pikulan berisi kelapa muda yang terguling di tengah jalan membuyarkan lamunan Aliman untuk tiga hari yang lalu. Aliman sesegera mungkin meminggirkan sepeda bebek warna merahnya di pinggir jalan dekat tenda warung- warung berjajar.
Oplet yang menyerempet tubuh renta kakek pembawa pikulan itu sudah ramai di kerubuti warga yang mengadang laju oplet itu sebagi usaha untuk kabur dari tanggung jawab. Aliman dan beberapa orang lainnya menghampiri kakek tua itu, beberapa orang menyelamatkan pikulan kakek itu sedang Aliman sendiri membopong tubuh kakek itu ke pinggir jalan. Tak sadar Aliman bahwa waktu untuk tes kurang dua puluh lima menit lagi.
“Sudah nak.. biar kakek di sini saja. Banyak yang mengurus kakek. Pergilah segera ke tempat tujuanmu,” bisik kakek itu di kuping Aliman. Aliman kaget sekali, ia tak menyangka bahwa kakek itu mengetahui ia tengah buru- buru mesti pergi.
“Mas, njenengan tolong kakek ini ya? Saya mesti buru- buru pergi ke balai kelurahan..,” teriak Aliman pada salah seorang pria di dalam warung. Pria tersebut segera menghampiri Aliman dan kakek tersebut. Aliman segera menghidupkan mesin sepedanya.
“Pasti berhasil nak. Aku mendoakanmu, terimakasih sudah membantu aku..,” teriak kakek tersebut ketika Aliman sudah mulai melajukan motornya.
Aliman mendengar itu, namun Aliman tak terlalu menggubris ucapan kakek tua itu. Aliman cuma ingin segera sampai di tempat tujuan, mengamalkan ucapan Abah kemudian mengerjakan soal tes.
***
Beberapa minggu kemudian, tetangga Aliman yang kebetulan bekerja di dinas kebersihan memberi bocoran pada Aliman bahwa ia lolos tes CPNS. Aliman dan keluarganya bersorak kemudian atas inisiatif Aliman untuk pertama kalinya ia mengajak sang ibu untuk pergi kerumah Abah dengan tujuan berterimakasih atas keberhasilan Aliman. Cepat- cepat Aliman menyalakan motor bebek warna merahnya kemudian ia lajukan motor tersebut dengan membonceng ibunya menuju rumah Abah.
Di tengah perjalanan, Aliman sadar ada sesuatu yang hilang. Ia sadar bungkusan hijau itu tidak terkait seperti biasa di celana dalamnya, yang terkait cuma peniti kusam pasangan bungkusan itu. Aliman gelisah luar biasa.. ia tiba- tiba merasa bahwa bungkusan itu merupaka juru selamatnya. Aliman tak sadar bahwa ada oplet berhenti mendadak di depan motor miliknya. Aliman menabrak oplet tersebut. Aliman terguling ke dalam parit sedangkan ibunya terlepar ke jalan raya bersama motor Aliman.
“Bungkusan itu..,” desah Aliman dalam napas- napas terakhirnya. Aliman pikir karena hilang bungkusan itu, ia dan ibunya jadi tertimpa sial. Di tengah kecamuk pikirannya yang seperti itu, Aliman berhenti bernapas.
“Imaaaaaaaaaaaaan!,” teriak ibu Aliman yang hanya terluka ringan di lengan kanannya ketika jenazah Aliman di angkut ke dalam Bajaj.

Aku di angkut bersama tubuh Aliman. Kau tahu? Aku lah yang paling dekat dengan Aliman selama ini, aku.. peniti bungkusan hijau yang biasa di kaitkan Aliman di celana dalamnya. Kelak aku adalah salah satu yang  berhak jadi saksi di depan Tuhan atas apa yang di perbuat Aliman selama di dunia..

..SELESAI..

No comments: