“Ingat.. kita hanyalah abdi.. lakukan
sebaik mungkin,” sebuah tangan sudah menarik tubuh teman bicara pertama dalam
hidupku itu dengan cukup cepat.
“Kau tahu! Itu cahaya! Sesuatu yang
masuk ketika langit- langit itu dibuka, sesuatu yang masuk sebelum tangan
tangan itu menjamahi kita lagi! Itu!,” teriakku padanya.
“Cahaya? Sangat menyakitkan bola
mataku, cahaya tidak menyenangkan.. ,” dia tersenyum tipis buatku sebelum
benar- benar menghilang bersama tangan- tangan itu.
Guncangan dalam ruangan terjadi lagi.
Langit- langit ditutup lagi, sekelilingku gelap lagi.. aku menutup rapat- rapat
kelopak mataku lagi.. aku mengulang pernyataan gadis tadi.. benarkah golongan
kami cuma abdi?.
***
Terpaksa kubuka mataku ketika kurasa gaduh
percakapan manusia diluar ruangan menusuki kupingku. Ketika mulai membuka
kelopak mata, rasa sakit luar biasa menjalar pada seluruh saraf mata milikku.
Aku paham rasa ini.. rasa ketika aku kembali bertatap muka dengan cahaya setelah
sekian lama kami berpisah..
***
“Tak usah teriak berlebihan nak..
suaramu sangat menjijikkan!,” kakek tua yang tubuhnya bersandar di dinding
dekat kursi tempatku duduk dengan formasi barisan yang entah siapa menentukan bersama
golonganku agaknya berusaha mengajak aku berbicara.
“Kau tak tahu apa yang kurasakan,
tempat apa ini?! Cahaya begitu berlebihan, mataku seperti terbakar!,” balasku
dengan nada membentak pada kakek itu.
“Nanti juga kamu akan tahu nak, tapi
sebelum itu tutuplah mulutmu dulu. Kamu punya isi mulut yang sungguh
menjijikkan,” kakek itu membalas bentakanku dengan datar dan tenang hingga aku
merasa kikuk.
Aku melihat ke arah depan, ada warna-
warna golongan yang asing bagiku ada di depan mata. Aku berusaha menggoyangkan
badanku, berusaha menunjukkan bahwa aku ada.
“Hey! Lihat sini! Hey! Apa kita bakal
disini selamanya?,” teriakku ke arah depan.
Salah satu anggota golongan yang berada
di depanku menatap aku dengan marah.
“Diamlah! Kita cuma abdi! Jangan sok
kritis kamu di tempat ini!,” teriaknya padaku.
“Apa maksudmu kita cuma abdi? Apa?!,”
tanyaku padanya seperti tak perduli lagaknya yang tak mau menerima kehadiranku.
Dia yang kulempar pertanyaan cuma diam
kemudian memalingkan muka dari pandanganku.
“Ssst diamlah nak, simpan api- apimu
yang meletup tak karuan itu. Tatap sekelilingmu, nanti kamu akan tahu nak,”
suara kakek yang tubuhnya bersandar di dinding tadi berusaha menenangkan segala
rasa penasaranku.
Aku menata napasku yang berantakan
sambil menahan banyak pertanyaan dalam kepalaku. Sesekali kulirik kakek tadi,
dia memejamkan kelopak mata keriputnya erat- erat tak ingin lagi sepertinya ku
ganggu dengan banyak tanya dariku.
***
“Dop di ambil! Dop di ambil!,” gaduh
kudengar suara dari sekelilingku.
“Buka lebar- lebar matamu nak..! ”
teriak si kakek tua dengan tubuh yang tetap bersandar di dinding.
Aku melihat sosok yang di teriaki
sebagai Dop itu di jamahi tangan- tangan yang sangat banyak. Setelahnya, Dop
menghilang.
“Kakek! Kakek! Dimana sosok yang
diteriaki dengan nama Dop tadi?,” tanyaku buru- buru.
“Dia berangkat untuk mengabdi nak..,”
“Mengabdi apa Kakek? mengabdi apa?,”
“Aku sebenarnya benci kata- kata itu,
kita bukan abdi manusia,” kakek itu tertunduk.
“Suatu hari, kau pasti juga di ambil.
Bolehlah kau mengabdi dengan melakukan segala yang jadi tugasmu dengan baik
tapi jangan anggap manusia itu Tuhanmu,” lanjut kakek itu.
“Aku tidak paham Kakek..”
“Kita mungkin seperti abdi selama di
muka bumi tapi kita sebenarnya adalah kepercayaan Tuhan sebagai saksi..”
“Aku.. ,” belum lengkap aku berbicara,
Kakek itu sudah bicara lagi.
“Kau suatu hari pasti diambil, beda
dengan ku. Aku.. bebas..” kakek itu mulai berjalan menjauhi dinding, kukira
karena punggungnya ngilu banyak bersandar di dinding tapi ternyata ia hendak
pergi.
Sebelum kakek itu beranjak makin jauh,
aku merasakan sebuah tangan menjamahi tubuhku. Aku meronta sekuatnya aku.
“Kakek! kenapa aku di ambil sedang kau
tidak?!,” aku berteriak sekuatnya demi pertanyaan terakhirku.
“Karena aku..debu.. aku bebas nak..
ingat kita adalah kepercayaan Tuhan, kita saksi- saksi kepercayaanNya nak.. ,”
Kakek itu terbang di bawa angin. Angin ringan sekali membawa tubuh tipis milik
kakek itu. Kakek itu adalah teman bicara keduaku..
Tangan itu melempar aku ke atas sebuah
lantai warna abu- abu yang sangat dingin. Setelahnya, tangan yang lain
menyoroti aku dengan lampu warna merah yang entah apa namanya.
“Tiga ribu dua ratus mbak.. ,” si
penyorot lampu warna merah itu mulai berucap pada seseorang di depannya.
“Iya terimakasih kunjungannya,” si
penyorot lampu berucap lagi setelah menerima suatu benda dari seseorang di
depannya. Kemudian ia memasukkan aku pada sebuah kantong putih yang baunya
pengap namun ketika ada di dalamnya, aku bersukur masih mampu menemukan cahaya
di dalamnya. Kantong tempatku di lempar ini menyerupai ruangan putih yang
berguncang- guncang cukup keras seperti disentuh badai padahal gerakan ini
menurut tangan pembawanya.
No comments:
Post a Comment