Thursday, June 6, 2013

"Rembuk" bagian 2

“Ingat.. kita hanyalah abdi.. lakukan sebaik mungkin,” sebuah tangan sudah menarik tubuh teman bicara pertama dalam hidupku itu dengan cukup cepat.
“Kau tahu! Itu cahaya! Sesuatu yang masuk ketika langit- langit itu dibuka, sesuatu yang masuk sebelum tangan tangan itu menjamahi kita lagi! Itu!,” teriakku padanya.
“Cahaya? Sangat menyakitkan bola mataku, cahaya tidak menyenangkan.. ,” dia tersenyum tipis buatku sebelum benar- benar menghilang bersama tangan- tangan itu.
Guncangan dalam ruangan terjadi lagi. Langit- langit ditutup lagi, sekelilingku gelap lagi.. aku menutup rapat- rapat kelopak mataku lagi.. aku mengulang pernyataan gadis tadi.. benarkah golongan kami cuma abdi?.
***
Terpaksa kubuka mataku ketika kurasa gaduh percakapan manusia diluar ruangan menusuki kupingku. Ketika mulai membuka kelopak mata, rasa sakit luar biasa menjalar pada seluruh saraf mata milikku. Aku paham rasa ini.. rasa ketika aku kembali bertatap muka dengan cahaya setelah sekian lama kami berpisah..
***
“Tak usah teriak berlebihan nak.. suaramu sangat menjijikkan!,” kakek tua yang tubuhnya bersandar di dinding dekat kursi tempatku duduk dengan formasi barisan yang entah siapa menentukan bersama golonganku agaknya berusaha mengajak aku berbicara.
“Kau tak tahu apa yang kurasakan, tempat apa ini?! Cahaya begitu berlebihan, mataku seperti terbakar!,” balasku dengan nada membentak pada kakek itu.
“Nanti juga kamu akan tahu nak, tapi sebelum itu tutuplah mulutmu dulu. Kamu punya isi mulut yang sungguh menjijikkan,” kakek itu membalas bentakanku dengan datar dan tenang hingga aku merasa kikuk.
Aku melihat ke arah depan, ada warna- warna golongan yang asing bagiku ada di depan mata. Aku berusaha menggoyangkan badanku, berusaha menunjukkan bahwa aku ada.
“Hey! Lihat sini! Hey! Apa kita bakal disini selamanya?,” teriakku ke arah depan.
Salah satu anggota golongan yang berada di depanku menatap aku dengan marah.
“Diamlah! Kita cuma abdi! Jangan sok kritis kamu di tempat ini!,” teriaknya padaku.
“Apa maksudmu kita cuma abdi? Apa?!,” tanyaku padanya seperti tak perduli lagaknya yang tak mau menerima kehadiranku.
Dia yang kulempar pertanyaan cuma diam kemudian memalingkan muka dari pandanganku.
“Ssst diamlah nak, simpan api- apimu yang meletup tak karuan itu. Tatap sekelilingmu, nanti kamu akan tahu nak,” suara kakek yang tubuhnya bersandar di dinding tadi berusaha menenangkan segala rasa penasaranku.
Aku menata napasku yang berantakan sambil menahan banyak pertanyaan dalam kepalaku. Sesekali kulirik kakek tadi, dia memejamkan kelopak mata keriputnya erat- erat tak ingin lagi sepertinya ku ganggu dengan banyak tanya dariku.
***
“Dop di ambil! Dop di ambil!,” gaduh kudengar suara dari sekelilingku.
“Buka lebar- lebar matamu nak..! ” teriak si kakek tua dengan tubuh yang tetap bersandar di dinding.
Aku melihat sosok yang di teriaki sebagai Dop itu di jamahi tangan- tangan yang sangat banyak. Setelahnya, Dop menghilang.
“Kakek! Kakek! Dimana sosok yang diteriaki dengan nama Dop tadi?,” tanyaku buru- buru.
“Dia berangkat untuk mengabdi nak..,”
“Mengabdi apa Kakek? mengabdi apa?,”
“Aku sebenarnya benci kata- kata itu, kita bukan abdi manusia,” kakek itu tertunduk.
“Suatu hari, kau pasti juga di ambil. Bolehlah kau mengabdi dengan melakukan segala yang jadi tugasmu dengan baik tapi jangan anggap manusia itu Tuhanmu,” lanjut kakek itu.
“Aku tidak paham Kakek..”
“Kita mungkin seperti abdi selama di muka bumi tapi kita sebenarnya adalah kepercayaan Tuhan sebagai saksi..”
“Aku.. ,” belum lengkap aku berbicara, Kakek itu sudah bicara lagi.
“Kau suatu hari pasti diambil, beda dengan ku. Aku.. bebas..” kakek itu mulai berjalan menjauhi dinding, kukira karena punggungnya ngilu banyak bersandar di dinding tapi ternyata ia hendak pergi.
Sebelum kakek itu beranjak makin jauh, aku merasakan sebuah tangan menjamahi tubuhku. Aku meronta sekuatnya aku.
“Kakek! kenapa aku di ambil sedang kau tidak?!,” aku berteriak sekuatnya demi pertanyaan terakhirku.
“Karena aku..debu.. aku bebas nak.. ingat kita adalah kepercayaan Tuhan, kita saksi- saksi kepercayaanNya nak.. ,” Kakek itu terbang di bawa angin. Angin ringan sekali membawa tubuh tipis milik kakek itu. Kakek itu adalah teman bicara keduaku..
***
Tangan itu melempar aku ke atas sebuah lantai warna abu- abu yang sangat dingin. Setelahnya, tangan yang lain menyoroti aku dengan lampu warna merah yang entah apa namanya.
“Tiga ribu dua ratus mbak.. ,” si penyorot lampu warna merah itu mulai berucap pada seseorang di depannya.

“Iya terimakasih kunjungannya,” si penyorot lampu berucap lagi setelah menerima suatu benda dari seseorang di depannya. Kemudian ia memasukkan aku pada sebuah kantong putih yang baunya pengap namun ketika ada di dalamnya, aku bersukur masih mampu menemukan cahaya di dalamnya. Kantong tempatku di lempar ini menyerupai ruangan putih yang berguncang- guncang cukup keras seperti disentuh badai padahal gerakan ini menurut tangan pembawanya.

No comments: