Wednesday, September 23, 2015

Gila!!!



Satu sore. Aku masuk di pelataran sebuah rumah ibadah. Mereka yang bergiat dalam rumah ibadah tersebut, menamai dirinya jamaah Cinta Tuhan Selamanya.
Baru sebelah kaki yang aku injakkan di pelataran. Para jamaah yang sedang mendengungkan puji-pujian buat Tuhan, mendadak hampir seluruhnya menoleh ke arahku. Tuhan mereka, aku yakin sama dengan Tuhan yang biasa aku yakini. Aku tidak terlalu asing dengan puji-pujian yang mereka dengungkan.
Salah seorang dari mereka mendadak berdiri. Jubah longgarnya menyapu lantai dan kain panjang menutup kepala hingga dadanya. Dia menjerit,”Demi Tuhan! Dia sudah gila! Dia sudah gila.”
Banyak suara saling tumpang tindih mengamini kegilaanku setelahnya. Hanya ‘gila’. Tidak ada yang menjelaskan di mana letak kegilaanku. Dua diantara pemilik suara itu mendadak punya inisiatif mendekatiku. Dua lenganku dijepit. Badanku setengah ditarik biar menjauhi pelataran. Suara-suara yang mengamini kegilaanku pelan-pelan berganti lagi dengan puji-pujian pada Tuhan.
Jepitan di kedua lenganku mengendur. Aku mengerjapkan mata dua kali, kemudian mendadak ingat mengapa aku berjalan mendekati pelataran rumah ibadah tadi. “Krukkk… krukkk…” suara asing seperti menggaruk lambungku. Aku keroncongan dan lapar. Perginya aku ke rumah ibadah ini disebabkan mendiang emak yang begitu yakin, jika mereka yang ada di dalam sana, bakal mengabulkan kenyang bagi orang-orang yang seperti aku.
“Tuhan memerintahkan mereka mengabulkan kenyang bagi orang seperti kita. Maka mereka bakal mengabulkan kenyang bagi orang seperti kita.” Ucapan emak berdengung cepat di kupingku.
“Jangan kembali lagi ke tempat kami!” bentak seseorang yang tadinya menjepit lengan kiriku. Setelah melepaskan jepitan di kedua lenganku, kedua orang itu kembali masuk dalam rumah ibadah. Puji-pujian pada Tuhan kembali mereka dengungkan. Tuhan yang sungguh, aku masih percaya, memang sama dengan yang aku yakini saban hari.
“Aku lapar!” jeritku.
“Demi Tuhan! Orang ini sudah gila! Perbaiki dirimu, saudaraku!” Jerit salah seorang dari mereka di tengah puji-pujian yang terus berdengung.
“Aku lapar!”
“Demi Tuhan! Perbaiki dirimu! Perbaiki dirimu!” orang tersebut berlari menghampiri aku. Kakinya menyaruk belasan sandal yang ada di pelataran. Tangan kirinya menyambar sebuah sandal berbahan kayu. Dilemparnya sandal itu hingga keningku memar.
Sebelum dia bersiap melempar sandal sejenis buat kedua kalinya, aku buru-buru berlari menjauh sambil menangis.
“Perbaiki dirimu!” orang yang melempari aku dengan sandal itu masih sempat berteriak. Aku menoleh sebentar sambil melambatkan lariku. Telunjuk orang itu menuding ke arah kain penutup kepalanya yang menjulur sepanjang kepala dan dadanya, juga jubah yang menyapu tanah. Dia seolah membandingkan antara ketelanjanganku dengan bagusnya cara dia berbaju. Aku kembali berlari dengan tetap membawa lapar.

Ucapan emak lagi-lagi berdengung cepat,”Tuhan memerintahkan mereka memahami bahwa kenyang mesti dikabulkan terlebih dahulu ketimbang cara berbaju. Maka mereka akan mengabulkan kenyang bagi orang seperti kita…”

No comments: