Satu sore. Aku masuk di pelataran sebuah rumah ibadah. Mereka yang bergiat dalam rumah ibadah tersebut, menamai dirinya jamaah Cinta Tuhan Selamanya.
Baru
sebelah kaki yang aku injakkan di pelataran. Para jamaah yang sedang
mendengungkan puji-pujian buat Tuhan, mendadak hampir seluruhnya menoleh ke
arahku. Tuhan mereka, aku yakin sama dengan Tuhan yang biasa aku yakini. Aku
tidak terlalu asing dengan puji-pujian yang mereka dengungkan.
Salah
seorang dari mereka mendadak berdiri. Jubah longgarnya menyapu lantai dan kain
panjang menutup kepala hingga dadanya. Dia menjerit,”Demi Tuhan! Dia sudah
gila! Dia sudah gila.”
Banyak
suara saling tumpang tindih mengamini kegilaanku setelahnya. Hanya ‘gila’.
Tidak ada yang menjelaskan di mana letak kegilaanku. Dua diantara pemilik suara
itu mendadak punya inisiatif mendekatiku. Dua lenganku dijepit. Badanku
setengah ditarik biar menjauhi pelataran. Suara-suara yang mengamini kegilaanku
pelan-pelan berganti lagi dengan puji-pujian pada Tuhan.
Jepitan
di kedua lenganku mengendur. Aku mengerjapkan mata dua kali, kemudian mendadak
ingat mengapa aku berjalan mendekati pelataran rumah ibadah tadi. “Krukkk…
krukkk…” suara asing seperti menggaruk lambungku. Aku keroncongan dan lapar.
Perginya aku ke rumah ibadah ini disebabkan mendiang emak yang begitu yakin,
jika mereka yang ada di dalam sana, bakal mengabulkan kenyang bagi orang-orang
yang seperti aku.
“Tuhan
memerintahkan mereka mengabulkan kenyang bagi orang seperti kita. Maka mereka
bakal mengabulkan kenyang bagi orang seperti kita.” Ucapan emak berdengung
cepat di kupingku.
“Jangan
kembali lagi ke tempat kami!” bentak seseorang yang tadinya menjepit lengan
kiriku. Setelah melepaskan jepitan di kedua lenganku, kedua orang itu kembali
masuk dalam rumah ibadah. Puji-pujian pada Tuhan kembali mereka dengungkan.
Tuhan yang sungguh, aku masih percaya, memang sama dengan yang aku yakini saban
hari.
“Aku
lapar!” jeritku.
“Demi
Tuhan! Orang ini sudah gila! Perbaiki dirimu, saudaraku!” Jerit salah seorang
dari mereka di tengah puji-pujian yang terus berdengung.
“Aku
lapar!”
“Demi
Tuhan! Perbaiki dirimu! Perbaiki dirimu!” orang tersebut berlari menghampiri
aku. Kakinya menyaruk belasan sandal yang ada di pelataran. Tangan kirinya
menyambar sebuah sandal berbahan kayu. Dilemparnya sandal itu hingga keningku
memar.
Sebelum
dia bersiap melempar sandal sejenis buat kedua kalinya, aku buru-buru berlari
menjauh sambil menangis.
“Perbaiki
dirimu!” orang yang melempari aku dengan sandal itu masih sempat berteriak. Aku
menoleh sebentar sambil melambatkan lariku. Telunjuk orang itu menuding ke arah
kain penutup kepalanya yang menjulur sepanjang kepala dan dadanya, juga jubah
yang menyapu tanah. Dia seolah membandingkan antara ketelanjanganku dengan
bagusnya cara dia berbaju. Aku kembali berlari dengan tetap membawa lapar.
Ucapan
emak lagi-lagi berdengung cepat,”Tuhan memerintahkan mereka memahami bahwa
kenyang mesti dikabulkan terlebih dahulu ketimbang cara berbaju. Maka mereka
akan mengabulkan kenyang bagi orang seperti kita…”
No comments:
Post a Comment