Monday, September 28, 2015

Negeri Empati

(Baca Juga; Negeri Piagam)
Sheila, teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri Empati. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat aku dan seluruh orang di negeriku yang memiliki jumlah kakak dan adik yang sama, lima belas.
Hari pertama kami isi buat pergi ke toko buku. Letaknya ada dalam sebuah mall. Kami mesti menyeberang dua jalan besar buat sampai di sana. Sheila ingin tahu, buku-buku apa yang laris di negeriku.
Lewat lima belas detik setelah kami menginjakkan kaki di trotoar jalan besar yang kedua, dua buah motor kelihatan tergeletak bersama pengemudinya di tengah jalan. Aku menangis, berlari dan bergabung dengan banyak orang lainnya mengerubungi dua pengemudi motor yang ternyata tewas. Sheila heran melihatku yang lama-lama turut histeris seperti banyak orang lainnya.
Suasana makin riuh hingga aku dan lututku yang lemas terdorong ke banyak arah. Sheila menarik aku kembali ke pinggir trotoar. Dia berucap,”Ada apa denganmu dan orang-orang di negerimu? Kesedihan mereka seolah setara dengan keluarga yang ditinggal mati. Luar biasa, aku kagum dengan orang-orang di negerimu.”
Aku menggeleng, menolak ucapan Sheila seluruhnya. Aku terus diam, hingga sebuah telepon yang mengabarkan salah seorang saudariku telah meninggal sampai di kupingku.
“Apa kamu sekarang mulai paham?” tanyaku pada Sheila. Sheila menggeleng hingga orang-orang yang tadinya berkumpul di sekitaran dua orang yang tewas tadi mulai sibuk dengan ponsel masing-masing, menerima telepon dan kemudian makin hiteris. Mereka mendapat berita yang sama seperti aku.
“Untuk itu, negeriku dinamakan Negeri Empati.” Lanjutku. Sheila lagi-lagi menggeleng, dia belum juga mengerti.
Kami pun balik berlari pulang. Kami tinggal melewati satu jalan besar lagi buat sampai di rumah. Sheila dan aku begitu terburu waktu hingga kami berdua terserempet sebuah mobil. Badan kami rubuh di tanah. Si empunya mobil menghambur kearah kami sambil histeris. Makin banyak orang mengerumuni kami. Mereka juga histeris. Mata Sheila berbinar heran melihat orang-orang di sekelilingnya. Mereka berebut membalut kaki kami yang tergores.
“Aku kagum dengan orang-orang di negerimu. Mereka begitu peduli pada sesamanya.” Ucap Sheila setelah kakinya yang tergores sudah dibalut. Aku membalas ucapannya dengan senyum sinis.
Beberapa orang mulai kelihatan sibuk membalut luka seseorang yang ada di sebelahnya. Sheila bertanya kenapa mendadak mereka terluka, sedangkan tidak ada benda tajam atau apapun yang melukai mereka.
“Mereka membalut luka keluarganya. Keluarga mereka mengalami hal yang sama dengan kita. Oleh sebab itu, negeriku diberi nama negeri Empati. Apa kamu masih belum juga paham?”
Sheila mendelik. Dia menggigit bibir bawahnya yang gemetaran. Agaknya dia mulai memahami, sebab semua orang di negeriku yang seolah begitu berempati pada luka orang yang lainnya.
***
Aku berkunjung ke negerinya Sheila hari ini. Dia teman yang aku kenal dari akun Instagram. Lima menit setelah aku duduk di meja ruang tamunya, aku membaca sebuah koran berisi berita pengeroyokan. Pengeroyokan dilakukan terhadap seorang koordinator warga desa yang menuntut hak atas tanahnya. Aku menangis, kemudian histeris. Bayangan salah seorang keluargaku yang tewas dengan cara serupa, terus berkelebat.
Sheila yang sedang membawa baki minuman memergoki histerisnya diriku.
“Ini tidak terjadi di negerimu. Tidak akan terjadi hal serupa pada keluargamu.” Ucap Sheila sambil meletakkan baki minuman di hadapanku.
Ucapannya meredam sedikit histerisnya aku. Kemudian aku bertanya,”Bagaimana kelanjutan kasus pengeroyokan itu?” bagaimanapun Sheila berusaha meredam histeris yang menyerang aku, tetap saja perasaan terbiasa merasakan penderitaan orang lain, kadung terpatri pada diriku.
“Melawan penguasa dan uang? Ah, yang penting hidupmu sendiri kenyang dan aman. Jangan neko-neko dengan resiko melawan. Toh, yang tewas bukan keluargamu, bukan?”
Aku mendelik dan melongo.
“Semoga negerimu tertimpa azab serupa seperti negeriku. Azab dari Tuhan di mana semua keluarga bakal merasakan sakit dan luka yang sama.” Balasku.
Sheila tersenyum sinis. Binar matanya mengisyaratkan bahwa aku doa-doa burukku, mesti buru-buru minggat dari negerinya.

No comments: