(Baca Juga; Negeri Piagam)
Sheila,
teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri
Empati. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat aku dan seluruh orang di
negeriku yang memiliki jumlah kakak dan adik yang sama, lima belas.
Hari
pertama kami isi buat pergi ke toko buku. Letaknya ada dalam sebuah mall. Kami
mesti menyeberang dua jalan besar buat sampai di sana. Sheila ingin tahu,
buku-buku apa yang laris di negeriku.
Lewat
lima belas detik setelah kami menginjakkan kaki di trotoar jalan besar yang
kedua, dua buah motor kelihatan tergeletak bersama pengemudinya di tengah
jalan. Aku menangis, berlari dan bergabung dengan banyak orang lainnya
mengerubungi dua pengemudi motor yang ternyata tewas. Sheila heran melihatku
yang lama-lama turut histeris seperti banyak orang lainnya.
Suasana
makin riuh hingga aku dan lututku yang lemas terdorong ke banyak arah. Sheila menarik
aku kembali ke pinggir trotoar. Dia berucap,”Ada apa denganmu dan orang-orang
di negerimu? Kesedihan mereka seolah setara dengan keluarga yang ditinggal
mati. Luar biasa, aku kagum dengan orang-orang di negerimu.”
Aku
menggeleng, menolak ucapan Sheila seluruhnya. Aku terus diam, hingga sebuah
telepon yang mengabarkan salah seorang saudariku telah meninggal sampai di
kupingku.
“Apa
kamu sekarang mulai paham?” tanyaku pada Sheila. Sheila menggeleng hingga
orang-orang yang tadinya berkumpul di sekitaran dua orang yang tewas tadi mulai
sibuk dengan ponsel masing-masing, menerima telepon dan kemudian makin hiteris.
Mereka mendapat berita yang sama seperti aku.
“Untuk
itu, negeriku dinamakan Negeri Empati.” Lanjutku. Sheila lagi-lagi menggeleng,
dia belum juga mengerti.
Kami
pun balik berlari pulang. Kami tinggal melewati satu jalan besar lagi buat
sampai di rumah. Sheila dan aku begitu terburu waktu hingga kami berdua
terserempet sebuah mobil. Badan kami rubuh di tanah. Si empunya mobil
menghambur kearah kami sambil histeris. Makin banyak orang mengerumuni kami.
Mereka juga histeris. Mata Sheila berbinar heran melihat orang-orang di
sekelilingnya. Mereka berebut membalut kaki kami yang tergores.
“Aku
kagum dengan orang-orang di negerimu. Mereka begitu peduli pada sesamanya.”
Ucap Sheila setelah kakinya yang tergores sudah dibalut. Aku membalas ucapannya
dengan senyum sinis.
Beberapa
orang mulai kelihatan sibuk membalut luka seseorang yang ada di sebelahnya.
Sheila bertanya kenapa mendadak mereka terluka, sedangkan tidak ada benda tajam
atau apapun yang melukai mereka.
“Mereka
membalut luka keluarganya. Keluarga mereka mengalami hal yang sama dengan kita.
Oleh sebab itu, negeriku diberi nama negeri Empati. Apa kamu masih belum juga
paham?”
Sheila
mendelik. Dia menggigit bibir bawahnya yang gemetaran. Agaknya dia mulai
memahami, sebab semua orang di negeriku yang seolah begitu berempati pada luka
orang yang lainnya.
***
Aku
berkunjung ke negerinya Sheila hari ini. Dia teman yang aku kenal dari akun
Instagram. Lima menit setelah aku duduk di meja ruang tamunya, aku membaca
sebuah koran berisi berita pengeroyokan. Pengeroyokan dilakukan terhadap
seorang koordinator warga desa yang menuntut hak atas tanahnya. Aku menangis,
kemudian histeris. Bayangan salah seorang keluargaku yang tewas dengan cara
serupa, terus berkelebat.
Sheila
yang sedang membawa baki minuman memergoki histerisnya diriku.
“Ini
tidak terjadi di negerimu. Tidak akan terjadi hal serupa pada keluargamu.” Ucap
Sheila sambil meletakkan baki minuman di hadapanku.
Ucapannya
meredam sedikit histerisnya aku. Kemudian aku bertanya,”Bagaimana kelanjutan
kasus pengeroyokan itu?” bagaimanapun Sheila berusaha meredam histeris yang
menyerang aku, tetap saja perasaan terbiasa merasakan penderitaan orang lain,
kadung terpatri pada diriku.
“Melawan
penguasa dan uang? Ah, yang penting hidupmu sendiri kenyang dan aman. Jangan neko-neko dengan resiko melawan. Toh,
yang tewas bukan keluargamu, bukan?”
Aku
mendelik dan melongo.
“Semoga
negerimu tertimpa azab serupa seperti negeriku. Azab dari Tuhan di mana semua
keluarga bakal merasakan sakit dan luka yang sama.” Balasku.
Sheila
tersenyum sinis. Binar matanya mengisyaratkan bahwa aku doa-doa burukku, mesti
buru-buru minggat dari negerinya.
No comments:
Post a Comment