Wednesday, September 30, 2015

Skripsi dan Lokalisasi



“Kamu serius ingin ambil judul ini?” Bu Mami, dosen pembimbing skripsinya Seno itu berucap dengan keraguan yang mantap.
Seno mengangguk. Di antara sembilan mahasiswa, dia satu-satunya mahasiswa lelaki yang dibimbing oleh bu Mami, yang katanya master pendidikan keluarga dan parenting. Ini sudah kali kedua, Seno ngeyel mengajukan judul yang begitu diragukan oleh bu Mami, soal WTS (Wanita Tuna Susila).
“Bahasan ini sudah ketinggalan, Seno. Apa yang mau kamu tindak lanjuti? Bahasan serupa dan ide brilian banyak yang hanya numpang lewat dalam kasus WTS. Ini perkara mental, bukan wacana pelatihan, bukan juga wacana penelitian yang macam-macam.” Lanjut bu Mami.
Argumen Seno berikutnya berusaha menghantam keraguan bu Mami. Teman-teman Seno yang lain, hanya menyimak dan kesulitan menangkap argumen-argumen yang diungkapkan oleh Seno, apalagi menuliskannya kembali, bahasanya berat ala Senonisasi. Setelah semua argumen dari Seno tamat diutarakan, mata teduh bu Mami malah seolah mengatakan,”Oh, kalau memang itu maumu, baiklah.”
***
Seno pergi ke sebuah lokalisasi yang terkenal sebagai bahan gojlokan jorok di kotanya, Gang Maria namanya. Maria sesungguhnya adalah nama orang bule pendiri lokalisasi itu berpuluh tahun lalu. Sebuah nama yang sekarang jadi bahan gojlokan karena dianggap identik dengan sebuah gang yang penuh dengan perempuan berbayar yang mengangkang.
Tidak jarang, orang-orang menyebut Gang Maria dengan lambang sensor di sosial media. Layaknya berkata jan*cok, Gang Maria juga diketik dengan cara; Gang Mari*a.
Remaja-remaja banyak yang saling gojlok antar sebayanya soal Gang Maria. Semisal teman mereka seorang lelaki yang kelewat lama berstatus jomblo, maka mereka bakal mengetik gojlokan di sosial media,”Halah! Ente cari aja cewek-cewek di Gang Mari*a. Bayar langsung bawa. Daripada jomblo seumur hidup.”
            Jadilah Seno memesan satu bilik kamar dan satu orang perempuan. Usianya empat tahun diatas Seno. Dia masuk dalam bilik kamar dengan perasaan berdebar gila-gilaan. Bukan karena ini kali pertama dia bakal melepas keperjakaan, tapi karena ini kali pertamanya berada dalam satu bilik dengan seorang perempuan yang belum pernah dia rayu sebelumnya.
Senyum lembut perempuan yang Seno pesan menyambutnya ketika dia membuka pintu bilik. Dengan tangannya yang gemetaran, Seno kembali menutup pintu bilik.
Perempuan itu duduk di pinggiran kasur. Dia mengamati potongan tubuh Seno. Kemudian, dia berkata,”Sampeyan wartawan atau mahasiswa yang mau penelitian, Mas?”
Seno tergagap. Tangannya makin gemetaran.
Perempuan itu terkekeh sinis sebelum melanjutkan ucapannya,”Sudah ratusan wartawan dan mahasiswa yang merekam cerita saya di sini, Mas. Hanya merekam, kemudian menuliskannya kembali. Saya merasa tidak tertolong. Saya seperti dibayar buat mengocehkan cerita soal hal-hal yang mengundang tangis, kemudian mereka meninggalkan saya tanpa menyentuh kulit saya sedikit saja. Jijik barangkali.”
Empati Seno seperti dirogoh. Perempuan itu terus berceloteh tanpa bergerak dari pinggiran kasur, pun seno dari depan pintu.  Asal perempuan itu dari keluarga miskin, perawannya direnggut sang paman dan keberadaannya sebagai WTS akibat dari jebakan seorang teman. Seno makin gemetaran. Di akhir kisah yang dituturkan perempuan itu, Seno mulai berani bertanya, apakah cerita yang sama juga perempuan itu sajikan buat wartawan dan mahasiswa peneliti lain yang ingin mendengar kisahnya?
Perempuan itu lagi-lagi terkekeh. Dia berkata,”Sama? Tentu saja sama.”
Seno kembali bertanya, jika sama, kenapa perempuan itu tetap menceritakan kisahnya pada dia?
“Kamu berbeda, Mas. Sejak saya tahu bahwa kamu memesan saya beserta bilik ini, saya tahu kamu orang yang berbeda. Kamu akan membawa sinar yang berbeda. Kamu orang yang memiliki empati yang juga beda kadar kedalamannya.”
Ketika ditanya Seno darimana perempuan itu tahu, perempuan itu menunduk sambil berkata.”Saya tahu begitu aja. Saya biasa diperlakukan buruk sehingga peka ketika merasakan keberadaan orang baik.”
Tulang Seno terasa mumur. Ada rasa bangga menyemat di dadanya karena telah dipercaya perempuan yang hendak dia jadikan bahan skripsi. Dia merasa berhasil melakukan pendekatan hingga dipercaya. Sejak hari itu, empati Seno resmi dirogoh. Perempuan itu menuntunnya ke kasur sambil mulai menciumi Seno.
***
Dengan bangga yang meluap, Seno menceritakan pengalamannya pada adik tingkatnya di kampus. Adik-adik merasa kagum. Terlebih ketika Seno mengatakan bahwa untuk membuat seorang WTS percaya dan mau bercerita, diperlukan pendekatan yang tidak sembarang orang bisa.
Seno dielukan oleh banyak adik-adik. Dia tidak peduli dengan bu Mami yang belum juga setuju dengan judul skripsinya. Teman-teman Seno yang lain mulai mengetik skripsi masing-masing. Seno lebih asyik mengunjungi perempuan di lokalisasi itu, secara tidak tertulis dia adalah pelanggan perempuan itu. Alasannya? Cuma demi penelitian, dia tidak bakal larut, dia sudah janji pada diri sendiri.
“Kak, saya ingin mengikuti jejak kakak. Saya ingin meneliti soal WTS. Kakak telah menginspirasi semua untuk melakukan pembaharuan dalam dunia skripsi. Sesuatu yang mencerahnya dan berbeda.” Ucap salah seorang adik tingkat Seno yang namanya Arthur.
Ucapan Arthur disambut Seno dengan anggukan dan perasaan bangga yang makin terkembang lebar.
***
“Kamu berbeda, Mas. Sejak awal saya tahu bahwa kamu memesan saya beserta bilik ini, saya tahu kamu orang yang berbeda. Kamu akan membawa sinar yang berbeda. Kamu orang yang memiliki empati yang juga beda kadar kedalamannya.” Ucap perempuan pesanan Arthur itu di akhir percakapan.
“Kamu berusaha memikat lelaki selalu dengan cara yang begini? Murahan…” Arthur terkekeh mengingat semua cerita yang disuguhkan perempuan itu sama persis dengan apa yang Seno ceritakan.
Mata perempuan itu kelihatan terluka. Dia pandang Arthur yang berdiri di depan pintu. Pandangannya kelewat lekat sampai membuat tulang Arthur seperti mumur.
Perempuan itu kembali berucap,”Saya diperintahkan berlaku demikian oleh atasan saya, Mas. Jika tidak, saya bakal dapat siksaan hebat. Semua hanya untuk memertahakan pelanggan. Soal yang ini, saya hanya ceritakan pada kamu. Saya percaya pada kamu, Mas.”
Arthur jatuh terduduk. Dia gemetaran. Empatinya benar-benar dirogoh oleh ucapan terakhir perempuan itu. Arthur percaya, dia berhasil melakukan pendekatan pada perempuan itu hingga dia mendapat informasi yang tidak didapat Seno. Rasa bangganya terkembang. Dia diam saja ketika perempuan itu mulai menciumi dan menuntunnya ke atas kasur.
***
Arthur tergelak bangga menceritakan pengalamannya bersama WTS yang dia sewa. Dia bercerita pada adik-adik tingkatnya di kampus, pun pada Seno. Binar kagum mereka mulai berbalik dari Seno menuju Arthur. Seno merasa cemburu. Bukan soal WTS yang mereka sewa itu. Tapi soal kehebatannya yang mulai dibuat mumur oleh Arthur.
Teman-teman Arthur mulai menulis skripsi masing-masing. Dosen pembimbingnya belum juga setuju dengan judul yang dia ajukan.
Diam-diam Seno menyiapkan sebuah belati di balik kemejanya. Dia atur pertemuan dengan Arthur di dalam kampus. Sebelum adik-adik tingkat memenuhi pelataran kampus yang dijanjikan sebagai tempat diskusi oleh Seno dan Arthur, belati sudah diayun Seno menuju leher Arthur. Napas Arthur berhenti.
Diskusi hari itu dibatalkan.
WTS yang disewa oleh Seno dan Arthur tidak bakal ingat, bahwa satu pelanggannya sudah berkurang.
***
“Kak, saya ingin mengikuti jejak kakak. Saya ingin meneliti soal WTS. Kakak telah menginspirasi semua untuk melakukan pembaharuan dalam dunia skripsi. Sesuatu yang mencerahnya dan berbeda. Setelah Kak Arthur tidak ada, hanya kakak jujukan saya untuk berbagi terkait semua ini.” Ucap salah seorang adik tingkat Seno yang namanya Bobby.

WTS yang disewa oleh Seno dan Arthur tidak bakal ingat, bahwa setelah ini satu pelanggan akan bertambah dalam biliknya…

No comments: