Saturday, September 12, 2015

Kangen Jannah


Jannah, teman saya itu, dia mulai sekelas dengan saya ketika kelas empat. Asalnya dari Lombok dan selama sekelas dengan saya, dia tinggal di sebuah panti asuhan. Sama seperti saya, Jannah pendiam akut. Kamu tidak bakal menemukan kami berlama-lama mengobrol dengan teman sekelas yang lainnya. Nilai pelajarannya juga tidak terlalu menonjol, pun saya.
Saya lupa bagaimana awalnya, Jannah tiba-tiba duduk sebangku dengan saya hingga kelas enam. Kami bisa saling mengobrol dengan durasi sangat panjang dan bertukar tawa. Barangkali semua terjadi karena kami sama-sama bukan orang yang terlalu penting di kelas. Bukan favorit teman-teman yang populer ketika memilih kelompok kerja; kami dianggap lamban, bukan juga unggulan para guru karena nilai ulangan yang mengangumkan; bagi para guru, barangkali nilai tinggi dianggap sebagai keberhasilannya mengajar, meski pada kenyataannya banyak teman-teman saya waktu itu mendapat nilai tinggi karena memiliki dasar kecerdasan yang baik, dengan atau tanpa guru.
Beberapa guru masih memerhatikan keberadaan kami, almarhumah bu Nurul salah satunya. Satu waktu, beliau bilang pada mama bahwa saya duduk bersama Jannah, seorang siswi yang sama pendiam akutnya dengan saya. Bu Nurul tidak paham bagaimana saya berkomunikasi ataukah saya dan Jannah pernah berkomunikasi. Beliau cuma melihat bahwa saya duduk sebangku dengan Jannah dan selalu rukun.
Awal semester di kelas enam. Jannah tidak pernah kembali lagi ke bangku kami. Saya sedih. Teman-teman berceloteh, saling sahut bahwa Jannah kabarnya kembali ke Lombok, ada juga yang mengatakan bahwa keluarganya terlalu rumit dan bermasalah sehingga Jannah tidak lagi bisa tinggal di panti, celoteh lain mengatakan bahwa Jannah hidup bersama ibunya entah di bagian bumi sebelah mana. Kabar-kabar ini seperti menyumpal pertanyaan saya soal kemana Jannah, namun hanya sementara.
Saya rindu Jannah dan persahabatannya yang tanpa tendensi. Rindu saya juga untuk cubitan Jannah di pipi saya setiap hari. Dia sangat suka pipi saya yang gembung,”Pipimu lucu.” Ucapnya tiap mencubiti pipi saya.
Kami sama-sama bukan orang yang terlalu berguna saat itu. Pertemanan kami diawali karena mau saling mendengarkan dan bercerita. Jannah menghormati saya bukan karena tulisan saya dalam ujian Psikologi Sosial di puji pak Guntur, dosen sekaligus penyunting yang sudah pensiun beberapa tahun lalu itu. Dia juga mau mendengarkan saya, bukan karena Karya Tulis Ilmiah (KTI) saya sama sekali tidak mendapat revisi hingga disambut tepuk tangan heboh dari seluruh kelas. Pengertian Jannah terhadap saya, juga bukan karena kebisaan saya membuat sebuah pertunjukan atau karena tulisan saya yang dimuat di media massa. Jannah berteman dengan saya sebelum saya diketahui memiliki guna, pun saya pada Jannah.
Mimpi saya, satu waktu saya punya akses untuk menyentuh semua yang memiliki otoritas. Saya sendiri tidak minat memiliki otoritas itu sendiri di hari depan, kapasitas saya tidak tepat. Dengan begitu, menemukan Jannah tidak bakal jadi susah.
Saat ini, Poppy yang kehilangan Jannah bukan satu hal yang menarik bagi mereka yang punya otoritas. Tidak punya nilai jual di layar kaca, barangkali. Kadar kemenarikannya jauh dan jauh lebih kecil ketimbang Julia Perez (JuPe) yang menangisi bapaknya yang pengguna narkoba itu atau Andrea Hirata dengan ungkapan cintanya pada bu Mus atau Raffi Ahmad yang meratapi papanya yang tidak bisa menggendong Rhafatar.
Saya kangen Jannah dan kami pasti bakal terus saling ingat.

1 comment:

Sang kutu buku said...

...jadi rindu sahabat kecilku yang sekarang entah dimana