Aku
namai dia Landas. Usianya lebih muda dariku dan aku selalu menyukai dia.
Matanya manis dan cerdas. Menyimpan rekaman luka-luka di masa terdahulu, dekat
dengan ketakutan yang suka ujug-ujug
datang, tapi jauh dari rapuh. Ah, itu semua cuma rekaanku saja. Perkiraan ngawur buat alasan bahwa aku tidak bakal
melepasnya. Kami harus memiliki ikatan, harus jadi teman baik!
Selanjutnya,
kami hanya mengetahui bahwa kami berdua cocok buat saling mengobrol. Aku
menangkap bahwa Landas mampu memimpin orang lain, bekerja dan memengaruhi. Hanya
sebatas itu. Sampai status-status facebooknya
bikin aku merinding. Dia matang-matang memaki kaum borjuis. Oh, aku merinding
bukan karena itu kali pertama aku baca status macam itu. Tapi aku merinding
karena aku bisa merasakan bahwa apa yang dia tulis punya latar belakang yang
mestinya unik, bukan cuma keren-kerenan
sok jual teori berat. Tentu soal luka. Luka yang harus aku paksa hentikan.
“Aku
habis baca kitab Karl Marx.” Jawab landas cekak waktu aku tanya latar belakang
status-status ‘ekstrim’ yang dia tulis.
“Ah,
bukan cuma perkara itu, kan?” Aku mendesak Landas dengan tatapanku yang hangat.
Ini tatapan andalan yang aku yakin bakal menyentuh hatinya. Soal dia, aku harus
tahu, tapi bukan buat sekadar tahu lantas bangga dengan apa yang aku ketahui.
Landas
diam. Dia menarik napas dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. Yes! Hatinya
tersentuh. Tentu saja, itu memang keahlianku.
Mata
Landas kembali menatap wajahku, kali ini bola matanya makin berair. Lidahnya
mulai bergerak, berceloteh soal luka-luka dan bagaimana dia bisa mendadak
tersesap dalam kitab Karl Marx. Bola matanya terus digenangi air, tapi air-air
yang mestinya buru-buru tumpah menuju pipinya itu, seperti terganjal di
cekungan kantung matanya yang bengkak.
Cerita-cerita
panjang dari Landas, akhirnya bisa aku rangkum dalam dua kalimat.
1. Ibunya
kerja di luar negeri.
2. Bapaknya
kawin lagi.
Landas
marah dengan keadaan dimana kebutuhan perut sebegitu melilitnya, hingga ibunya
mesti pergi jauh. Sosok lelaki baik juga tidak ada dalam bayangannya, dia tidak
punya pakem bagaimana seorang lelaki bisa dianggap baik. Dia punya bibit dan
bakat jadi seorang pembenci. Bakal jadi kolaborasi yang manis bila berpadu
dengan kebisaannya memimpin, bekerja dan memengaruhi. Ruam miliknya bisa
sengaja dia tebar…
Aku
mestinya waktu itu menangis. Tapi Landas tidak boleh tahu. Melalui dia, aku
mesti melatih diri berpura-pura jadi yang paling kuat. Latihan yang aku yakin
bakal menjadikan aku sungguh-sungguh kuat.
“Baca
cerpen Seno Gumirah Aji, judulnya Manusia Kamar. Cerpen itu aku baca kali
pertama di kelas empat.” Ucapku seperti memberi pungkasan yang tidak memuaskan
bagi cerita panjang Landas.
Kening
Landas mengerut. Ya, dia kelihatan tidak puas betul dengan pungkasan dariku
atas cerita panjangnya. Bagimana sebuah cerita yang begitu panjang hanya
dibalas dengan sebuah pekerjaan rumah tambahan? Mencari cerpennya SGA, Manusia
Kamar.
“Akan
aku cari.” Balas Landas. Meski sebal, nada bicaranya kelihatan cukup meyakinkan
bahwa dia memang bakal menyelesaikan pekerjaan rumah dariku itu.
***
“Aku
sudah membaca cerpen itu, terimakasih. Aku seperti ditampari. Bukan cerpen itu
yang menampari aku. Tapi kamu.” Landas berucap sambil menarik kursi buat
tempatnya duduk.
Aku
terkekeh pendek sambil berkata,”Sama-sama…” tangan aku ulur padanya. Landas
memandangi tanganku, tidak juga menyambutnya. Dia seperti mencari titik berat
maksut uluran tanganku. Waktu normal menunjukkan putaran pikirannya buat
memaknai uluran tanganku hanya beberapa belas detik. Tapi, buatku itu kelewat
lama. Aku menarik tangannya. Dia kaget dan lagi-lagi seperti sedang mencari
titik berat, makna dibalik tanganku yang menarik paksa tangannya.
“Kamu
tidak bakal lepas. Kita adalah teman!” tegasku sepihak dalam batin.
Tentang
Manusia Kamar? Secara singkat, cerpen itu bercerita soal seorang tokoh yang
memiliki pikiran kelewat super, cerdas, liar dan mendalam soal teori isme-isme
hingga hidup. Tokoh tersebut terus mengembara dalam pemaknaan yang dia ramu
sendiri hingga pelan-pelan menarik diri dari lingkungan sosial. Sebelum dia
benar-benar lenyap, hanya tulisan-tulisannya yang terjejak melalui media massa.
Hubunganku
dengan Landas makin kuat, setelahnya. Aku terus menyukainya. Matanya yang manis
dan cerdas itu tidak pernah berubah. Bagaimana dia lari dari luka-lukanya
dengan cara bergiat di berbagai tempat berbeda juga memikat aku.
Kami
dengan ringan bisa saling bercerita,”Oh, aku juga pernah berniat bunuh diri di
usia sembilan tahun.”
Aku
berusaha memudahkan sedikit hidupnya, dengan apa yang aku punya. Kupingku untuk
menampung ceritanya, makananku meski tidak banyak buat mengganjal perutnya.
Luka tidak boleh menjadikan dia pembenci. Luka merupakan tempaan yang begitu
membanggakan. Bukan ruam yang mesti dibagi lagi pada yang lain. Luka akan berhenti
pada aku juga pada Landas.
Ini
seperti dulu, mbak Zizi dan mendiang bu Nurul yang memudahkan sedikit hidupku
dengan meminjamkan mata hangat dan kupingnya buat aku. Pertemuanku dengan
mereka berdua yang bikin aku yakin bahwa luka itu cukup berhenti pada diriku. Mereka
membabat bibit pembenci yang ada pada aku.
“Siapa
kamu? Kamu cuma tokoh fiksi, aku yakin.” Ucap Landas satu waktu. Aku lupa sudah
yang berapa kali dia berucap seperti itu sejak hubungan kami makin lekat.
Aku
menggoyang pelan badanku ke kiri dan ke kanan. Itu membuat motor yang dia
kemudikan sedikit oleng ke arah aku menggoyangkan badan.
“Lihat,
motor ini aku yang bikin oleng. Aku nyata kan?”
“Aku
tidak percaya ada orang seperti kamu. Mungkin aku seperti tokoh yang ada dalam
film, bicara di atas motor dengan orang yang sebenarnya hanya ada dalam
kepalaku, orang yang aku harap benar-benar ada. Kamu terlalu menyenangkan buat
ada.” Balas Landas. Lagi-lagi ucpannya yang satu itu sudah berkali-kali dia
ulang sepanjang hubungan kami.
Aku
tergelak panjang dan yakin Landas bakal mengulang dua ucapan pamungkasnya itu
lagi, lain waktu.
Kuping
dan makananku bakal bikin Landas yakin bahwa ruam-ruam miliknya itu harus
berhenti pada dirinya saja…
No comments:
Post a Comment