Sanguin
berjalan berjingkat-jingkat dan makin dekat dengan posisi Melankolis berdiri.
Berkali-kali dia meneriakkan suku kata depan nama Melankolis,”Mel! Mel!”
Dua
tangan melankolis menutup kupingnya. Dia senang atas kedatangan Sanguin, tapi
dia benar-benar tidak ingin Sanguin mengetahui perasaannya yang jujur.
Melankolis takut benar jika Sanguin mengejek kejujurannya.
Sampai
di depan Melankolis dengan terengah-engah, Sanguin tetap melanjutkan
ucapannya,”Hei… Hei… bagaimana kalau kita membeli siomay lalu kita ngobrol
bersama? Semacam kencan gitu.
Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?” mesti napasnya terengah-engah, kalimat
Sanguin sama sekali tidak terpenggal bahkan malah beruntun seolah tanpa tanda
baca koma apalagi titik.
Kening
Melankolis mengerut. Dia gembira benar dengan ajak Sanguin. Dia ingin mengobrol
dengan Sanguin berlama-lama. Tapi tunggu! Bagaimana jika Sanguin mengejek rasa
jujurnya itu jika dia tahu? Begitu pikir Melankolis. Melankolis menyusun
kalimat yang sebisa mungkin menyembunyikan rasa jujurnya pada Sanguin.
“Hmm…
Maaf, aku belum bisa. Mungkin lain waktu saja, ya? Aku masih ada acara lain.”
Ucap Melankolis.
Bibir
Sanguin manyun. Mukanya kelihatan
tidak berusaha menutupi rasa kecewanya. Tapi, bagi Sanguin, ajakannya itu bisa
dia ulang lain waktu. Bila yang terjadi penolakan sekali lagi, dia akan tetap
mengulangnya. Hei?! Apa Sanguin tidak punya rasa malu dan sakit hati? Tentu
saja rasa semacam itu ada. Namun, rasa penasaran buat mencari celah hati Melankolis
terlalu menyenangkan dan mengalahkan rasa malu juga sakit hatinya.
“Oke,
baiklah. Bukan masalah.” Sanguin pergi menjauh.
Muka
Melankolis makin kelihatan cemas. Dia sungguh ingin menerima ajakan Sanguin.
Sayang dia memutuskan buat berkata hal yang sebaliknya. Dalam batin dia
merutuk,”Hei! Apa kamu tidak ingin mengajak aku sekali lagi? Ayo, berusaha dong!”
Sanguin
makin menjauh dari posisi Melankolis berdiri. Rutukannya tentu tidak didengar
oleh Sanguin.
“Hei!
Ayo lah! Coba ajak aku sekali lagi, aku pasti tidak bakal menolak ajakan kamu
kok! Ayo… kembali kesini, Sanguin!” Teriak Melankolis dalam hati.
Sayangnya,
Sanguin tidak dianugrahi kemampuan membaca batin orang lain. Langkah kakiknya
tidak juga berhenti.
No comments:
Post a Comment