Thursday, May 25, 2017

Berkat Bu Irma, Si Nakal Ismail Jadi Pahlawan Puisi Di Sekolah



Sejak Ismail pindah ke sekolah, kalau tidak salah saat kelas 3, saya tidak pernah mengobrol dengannya. Ismail tidak pernah mengganggu saya, sebaliknya saya juga tidak pernah tahu bagaimana nyambung mengobrol dengan dia. Berkat obrolan saya dengan Desi dan Putri, adik perempun Desi di rumah mereka semalam, ada satu nama yang saya ingat selain Ismail, yaitu bu Irma.
Saat SD, saya ingat bagaimana saya menceritakan Ismail dan bu Irma dengan gaya paling semangat saat di rumah. Saya tidak ingat bagaimana tanggapan ibu saya, namun saya terus menceritakannya.
Ismail terkenal senang membuat perkara sejak awal kedatangannya. Cap nakal menyebar luas dari semua orang di sekolah, hingga wali murid. Mr. A menghabisi karakter Ismail tiap saat. Saya saja, yang tidak pernah bermasalah di sekolah dan hanya mengalami masalah belajar yang tidak bisa saya selesaikan sebagai anak-anak pun, oleh Mr. A juga dihabisi secara karakter, apalagi yang seperti Ismail.
Saya ingat bu Nurul pernah betul-betul marah pada Ismail sekali, saat dirinya kelewatan menggoda Icha, teman sekelas kami yang memang lebih istimewa. Icha saat itu sampai kalap dan tangannya terkena cutter. Itu kasus terbesar Ismail di sekolah. Dengan keadaan Icha yang istimewa, tentu gangguan dari orang lain bisa jadi masalah besar. Entah bagaimana ceritanya, sekolah sepakat tidak menaikkan Ismail satu tahun. Jadilah Ismail lulus satu tingkat di bawah saya.
Setelah Ismail tidak naik kelas, saya justru melihatnya berlatih puisi dengan bu Irma di sekolah. Bu Irma merupakan koreografer tim bendera drum band sekolah. Beliau juga pembina teater, selain juga sebagai guru bahasa Indonesia di sekolah.
Ismail memiliki suara lantang dan rasa percaya diri yang luar biasa. Tenaganya juga seperti tidak kunjung habis. Entah bagaimana, Ismail yang katanya nakal itu, kelihatan selalu mendengarkan arahan dari bu Irma. Selanjutnya, saya mengetahui Ismail berulangkali dikirim lomba membaca puisi mewakili sekolah. Saya tidak begitu merekam apa dia berhasil membawa kemenangan. Namun, bagaimana bu Irma mengarahkan tenaga Ismail yang sangat besar itu, selalu terekam dalam ingatan saya.
Hingga bu Irma akhirnya tidak lagi mengajar di sekolah kami, Ismail terus mengikuti berbagai acara puisi mewakili sekolah. Dirinya semakin percaya diri. Cap Ismail yang nakal tetap ada, namun saat itu juga berbarengan dengan cap dirinya, sebagai pembaca puisi ulung. Hukuman hingga dirinya tidak naik kelas, atas kesalahannya dan pengakuan dari bu Irma, agaknya membuat Ismail jadi lebih seimbang.
Semenjak saat itu, saya makin memahami jadi guru pasti sangat berat. Saya belum tentu bisa jadi seperti bu Irma, apalagi lebih baik ketimbang beliau. Pengakuan diri Ismail dari bu Irma, semoga terekam selamanya pada diri Ismail. Hal ini mengingatkan saya dengan Tetsuko Kuroyanagi, dalam bukunya yang berjudul Totto Chan Gadis Cilik Di Jendela. Baginya, Mr. Kobayashi yang selalu meyakinkannya sebagai anak baik dan memercainya, menjadikannya gagal menjadi penjahat.
Sayangnya, untuk mencari kontak bu Irma di sosial media, saya betul-betul lupa siapa nama lengkap beliau. Semoga pada waktu yang tepat, tulisan ini sampai pada njenengan, Bu…

1 comment:

Anonymous said...

Semofa ketemu.. :)