Catut: igenya orang ini |
Menahun
hidup sebagai anak-anak yang dipenuhi label bodoh dan aneh (Baca Juga; Saya Intrapersonal feat Visual- Setiap Orang Istimewa Dengan Kecerdasan Masing-masing, Bodoh dan Malas, Pangkal Nilai Kademis Rendah?) betul-betul membuat saya tenggelam. Di
SMP, selain melarikan diri dengan membuat cerita dan menggambar, saya tidak
punya pekerjaan lain. Saya selalu mengantuk saat membaca buku pelajaran dan
sering membohongi mama, dengan jalan saya pura-pura membaca buku pelajaran padahal
di balik buku itu ada cerita yang saya tulis atau gambar yang saya selesaikan.
Koran dan berita di televisi juga lebih menarik saya ikuti dan kemudian saya
hafal informasinya. Saya betul-betul merasa tidak mampu soal akademis dan
tertekan dengan buku-buku pelajaran.
Para
guru melabel Zulfikar akan jadi orang besar di kemudian hari, pun mereka
melabel banyak teman-teman saya yang lain di SMP, bakal jadi ‘orang’. Padahal,
ketika saya kepo sosial media teman-teman, tidak semua anak yang dilabel bakal
bersinar itu terus bersinar. Tiga di antaranya, tidak kuliah. Dua lainnya
justru menikah muda. Tidak kuliah dan menikah muda tentu bukan sebuah akhir,
barangkali jalan mereka bersinar memang berbeda.
Nilai-nilai
akademis saya tidak menarik. Saya juga kikuk, tidak percaya diri dan lemah saat
pelajaran olahraga. Beda jauh dengan Zulfikar yang selalu bersinar dan jadi kesayangan
teman dan guru. Yang selalu saya ingat, justru bagaimana saya dan Zulfikar
sekelas selama tiga tahun. Zulfikar selalu memerlakukan saya baik.
Saat
pelajaran seni budaya, dia salah satu teman yang datang ke bangku saya dan
meminta saya membantunya membetulkan gambar bikinannya. Jujur saja, Zulfikar
terlihat sangat tidak berbakat dalam pelajaran kesenian, tapi dia selalu
berusaha mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan usaha penuh. Dia juga
yang membantu saya melihat nilai ujian yang ditempel di dinding
sekolah. Saat itu, kami kelas delapan dan nilai ujian selalu ditempelkan di
dinding sekolah. Hasilnya, seluruh siswa selalu saling serobot untuk melihat
nilai terlebih dahulu.
Saya
tidak pernah terlalu tertarik melihat nilai yang dipajang di dinding itu.
Namun, Zulfikar tiba-tiba mendatangi saya di depan kelas dengan napas
terengah-engah. Teman-teman mengerumuni dia dan dia menyebut nama sekaligus
nilai banyak teman. Terakhir, dia menoleh pada saya dan menyebut nilai saya.
Saya hanya mengangguk, tanpa tahu bagaimana cara mengucap terimakasih. Tidak
seperti teman lain yang memang sengaja meminta Zulfikar melihat nilai mereka
karena keuntungan tinggi Zulfikar yang lebih dari 170 cm dalam menerobos
kerumunan, saya tidak meminta bantuannya sama sekali. Tapi saya betul-betul
ingat bagaimana wajah bahagianya saat berkata, “Yeay… Poppy dapat 68.”
Barangkali,
saat itu angka 68 adalah angka yang terdengar ajaib bagi siswi yang dilabel
bodoh dan aneh seperti saya. Setidaknya, angka itu tidak mengharuskan saya
menambah daftar remidi untuk satu mata pelajaran. Barangkali, itu jadi sebab Zulfikar
kelihatan ikut senang sekali.
Kami
justru baru mulai dekat saat kelas sembilan. Obrolan kami jadi lebih serius dari sekadar obrolan tentang anime, ketika satu waktu, Zulfikar menarik
lembaran kertas yang tengah saya tulis. Saya hampir menariknya kembali, namun
kalah cepat dengan dia. Dia membaca satu paragraf yang saya tulis dan dia
bilang,”Kamu… ternyata bisa gini loh…”
Saya
sangat ingat bagaimana binar mata Zulfikar dan kata ‘bisa’ yang keluar dari
mulutnya saat itu. Binar mata dan kata itu, bahkan jauh lebih berharga
ketimbang peringkat pertama yang saya dapat saat SMK. Binar itu, sebuah
penghargaan yang begitu jarang saya dapat. Saya ingat, satu paragraf itu berisi
opini yang saya olah dari bacaan dan tontonan saya di luar buku pelajaran. Pada
tahun tersebut, media massa belum sebegitu mbingungi[1]
seperti sekarang, jadi saya gemar menonton berita dan ingat detail bagaimana
proses konversi kompor minyak menuju kompor gas.
Semenjak
saat itu, obrolan saya dan Zulfikar jadi jauh lebih mendalam. Bahkan, ocehannya
soal game yang baru dia selesaikan jadi menarik bagi saya, meski saya tidak
mengerti soal game sama sekali. Zulfikar berperan lebih dari teman bagi saya.
Meski sebaya, dia bisa berperan lebih matang sebagai coach, yang akan saya
ceritakan pada tulisan berikutnya.
Mimpi-mimpi
saya bukan lagi sekadar fantasi. Dulunya, saya sering berfantasi jadi ceria
seperti Nagisha dalam anime Pretty Cure dan juga berbakat seperti dia. Saya
sesungguhnya punya sisi cerdas, jika saya tidak cerdas bagaimana saya bisa mengelola
informasi jadi opini? Saya mulai berpikir, mereka yang melabel saya bodoh dan
aneh sepenuhnya keliru. Zulfikar benar… saya memang bisa. Dan soal akademis
saya pun sangat bisa mengejar, jika lebih tekun. Betul saja, sepeti saya
ceritakan dalam (Baca Juga: Saya Ternyata (Bukan) Siswi Bodoh, Pak Guru) di kelas penempatan try out, dari kelas 9-8 saya naik
menuju kelas 9-3 dari sembilan kelas! Namun, saya justru mendapat tatapan
curiga dari salah seorang guru saya dan sebagian teman.
Namun, saya justru terus memetakan
mimpi-mimpi saya setelahnya. Latar belakang saya yang dekat dengan hal-hal
berbau kejiwaan, membuat saya berpikir masuk SMK jurusan Pekerjaan Sosial akan
jadi sesuatu yang sangat tepat. Soal saya dan jurusan Pekerjaan Sosial, juga
akan saya ceritakan pada tulisan selanjutnya. Yang jelas, setelah lolos dari
label keliru dari sekitar, saya betul-betul berani merencanakan hidup. Saya ingin
jadi sesuatu, berani menentukan akan sekolah lanjutan jurusan apa, bahkan
berani berencana kuliah dan memimpikan suatu profesi, sesuatu yang jauh dari
bayangan saya sebelum saya ‘ditemukan’ oleh Zulfikar. Saya kembali jadi Poppy yang dulu, yang dengan
detail pernah berencana jadi kartunis saat kecil…
25
April 2017, Zulfikar Rachman genap 23 tahun.
1 comment:
sama. pernah d cap bodoh. kacaunya lagi, pas kuliah. ada mata kuliah yg ujian praktek plus tulis. saat ujian praktek saya selesai peringkat 3tercepat. tp saat ujian tulis, saya paling terakhir. dosen langsung nunjuk saya dan bilang saya nyontek. pdhl aku orng rerpasrah saat ujian. xixixi aku mihon2 minta ujian praktek upang. alhamdulillah cukup membuktikan. rasanya terlepas dari lebel pencontek
Post a Comment