Guru
saya, bu Nurul Aula suatu hari melempar pertanyaan di depan kelas,”Menurut
kalian, bagaimana jika ada maling yang dihakimi warga?”
Pertanyaan
bu Nurul tentu sangat berkaitan dengan pelajaran Kewarganegaraan yang
diajarnya. Kami semua waktu itu kelas tiga, era internet belum sungguhan masuk.
Ponsel pun masih sangat mahal pada tahun tersebut. Bagi kami, pertanyaan bu
Nurul begitu asing dan perlu waktu cukup lama untuk kami berpikir.
Dalam
pikiran saya, main hakin sendiri tidak saya benarkan. Bukankah ada polisi?
Setidaknya, ayah saya tinggal di daerah merah (rawan kriminalitas) semasa
kecilnya di Malang. Ayah berkali bercerita betapa mengerikannya warga yang main
hakim sendiri.
Beberapa
teman mulai berani mengawali mengangkat tangan. Bu Nurul memersilahkan mereka
semua bicara satu persatu. Jawaban yang serupa bermunculan,”Tidak apa-apa… dia
kan sudah mencuri.”
Bu
Nurul hanya tersenyum dan terus memersilahkan semua yang mengangkat tangan
bicara. Beliau sepertinya sedang mencari sesuatu. Saya bukan seorang anak yang
punya rasa percaya diri yang baik. Dada saya betul-betul berdebar saat hendak
mengangkat tangan. Saya tahu, jawaban teman-teman lain tidak memuaskan. Semua
jawaban seragam.
Sebentar
kemudian, saya betul-betul mengangkat tangan. Bu Nurul memersilahkan saya
bicara dan dari wajahnya, terlihat mata beliau mengharap jawaban yang berbeda
dari saya.
“Saya…
saya… tidak setuju, Bu. Karena kadang orang mencuri untuk anaknya.” Begitu ucap
saya.
Oh,
tidak… saya tidak mengerti mengapa jawaban yang saya keluarkan justru keluar
dari hati dan begitu kedengaran rapuh. Padahal, saya ingin menjawab apa yang
kali pertama keluar dalam kepala saya, bahwa main hakim sendiri itu salah,
mestinya kirim saja ke polisi.
Desi Nilamsary, pemiliki brand sepatu Remora. |
“Main
hakim sendiri itu tidak baik, Bu. Maling itu harus diserahkan ke polisi.” Jawab
Desi, setelah bu Nurul memersilahkannya bicara.
Ada
kelegaan dalam wajah bu Nurul. Teman-teman saling toleh, mungkin merasa ganjil
dengan jawaban Desi yang jauh berbeda dari jawaban sebagian besar anak di
kelas. Jawaban seperti Desi, bahkan tidak keluar dari teman kami yang langganan
juara satu di kelas.
Saya
makin menyukai Desi sejak saat itu. Saya berusaha terus mengajaknya bergabung,
bersama teman-teman panti asuhan favorit saya ketika bermain. Desi si anak baru,
memang belum begitu banyak bergaul dengan teman perempuan selain saya,
teman-teman dari panti asuhan dan satu lagi anak perempuan dari keluarga
menengah yang juga pindah saat kelas tiga.
Bu
Nurul membahas jawaban Desi pada akhirnya. Seluruh kelas tidak lagi saling
pandang dengan ganjil. Mereka mengetahui, jawaban dari Desi yang paling benar. Jawaban
yang memang terlalu matang untuk anak usia delapan tahun.
No comments:
Post a Comment